Senin, 28 Juni 2010

KI AGENG PENGGING (1)

Setelah kehancuran Majapahit pada tahun 1478 masehi,maka berakhir pula kejayaan Majapahit. Berakhirnya masa kejayaan Majapahit ini, bukanlah saat diperintah oleh Prabhu Brawijaya VII seperti yang dibanyak diberitakan selama ini, namun saat di bawah pemerintahan Prabhu Brawijaya V atau Prabhu Brawijaya Pamungkas. Sebagai bukti, dibawah inilah nama Raja-Raja yang pernah memerintah Majapahit.


1. Raden Wijaya atau Bhree Wijaya atau Prabhu Brawijaya atau Shrii Kertarajasa Jayawardhana (1292-1309 M)

2. Raden Kala Gemet atau Prabhu Jayanegara atau Shrii Jayanegara (1309-1328 M).

3. Ratu Ayu Tri Bhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M)

4. Prabhu Hayam Wuruk atau Shrii Rajasawarddhana (1350-1389 M).

5. Prabhu Wikramawarddhana (1389-1492 M) Pada masa inilah terjadi Perang Paregreg. Dimana Adipati Bhree Wirabhumi atau Adipati Kebo Marcuet mengadakan pemberontakan ke Majapahit dan berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran atau Raden Gajah atau Minak Jingga.

6. Ratu Ayu Suhita atau Dewi Kencana Wungu (1429-1447 M), diperistri oleh Raden Parameshwara atau Raden Damar Wulan atau yang lantas setelah menjadi suami Ratu Ayu Suhita, memegang tampuk pemerintahan dengan gelar Bhree Wijaya I atau Prabhu Brawijaya I setelah berhasil mengalahkan Jaka Umbaran atau Raden Gajah atau Minak Jingga, penguasa Blambangan. Pengambilan gelar ini demi mengukuhkan kedudukannya sebagai keturunan Raden Wijaya.

7. Prabhu Kertawijaya atau Bhree Wijaya II atau Prabhu Brawijaya II (1447-1451 M)

8. Bhre Pamotan Sang Sinagara atau Bhree Wijaya III atau Prabhu Brawijaya II I(1451-1453 M)

Tiga tahun kosong karena perebutan tahta antara keturunan Kertawijaya dan Bhre Pamotan Sang Sinagara. Lantas yang terpilih dari keturunan Kertawijaya.

9. Hyang Purwawisesha (1456-1466M)

10. Bhre Pandansalas Bhree Wijaya IV atau Prabhu Brawijaya IV (1466-1468 M)

11. Prabhu Singawarddhana ( 1468-1474 M)

Lantas giliran keturunan Bre Pamotan Sang Sinagara yang menduduki tahta

12. Raden Kertabhumi atau Bhree Wijaya V atau Prabhu Brawijaya V atau Prabhu Brawijaya Pamungkas (1474-1478 M).


Pada masa pemerintahan Raden Kertabhumi inilah, Majapahit diserang oleh pasukan Demak Bintara. Diperingati dengan Surya Sangkala SIRNA ILANG KERTAning BHUMI.

(Sumber lain menyebutkan Raden Kertabhumi mulai memegang tampuk pemerintahan semenjak tahun 1473 Masehi. Sebelumnya dia adalah Raja bawahan di wilayah Majapahit.)

Semenjak kehancurannya, Majapahit kini harus tunduk kepada Demak Bintara. Majapahit menjadi negara kecil, bagian dari Demak Bintara. Tampuk pemerintahan Majapahit dipegang oleh seseorang yang ditunjuk langsung oleh Sultan Demak atau Raden Patah yang kini bergelar Sultan Syah Alam Akbar Jiem-Boenningrat I.

Dan anda semua pasti akan terkejut bila saya ungkapkan bahwa, pemegang tampuk pemerintahan Majapahit, setelah Prabhu Brawijaya V, adalah Nyoo Lay Wa! Seorang berdarah China yang lantas bergelar Prabhu Brawijaya VI (1478-1486 M). Dia memerintah dibawah kendali Demak Bintara.

Fenomena politik inilah yang memicu ketidak puasan dikalangan bangsawan Majapahit. Para bangsawan yang sudah terkoyak moyak harga dirinya setelah penyerangan Demak Bintara, kini harus kembali menelan pil pahit dengan dikukuhkannya Prabhu Brawijaya VI yang nyata-nyata bukan keturunan Makapahit, bahkan berdarah China.

Dan ketidak puasan ini meledak juga. Raden Girindrawardhana, bangsawan keturunan Majapahit yang berkedudukan di daerah Keling, Kedhiri, mengadakan pemberontakan. Peperangan kembali berkobar. Darah tertumpah kembali. Dan Majapahit, untuk kedua kalinya, berhasil diluluh lantakkan! Raden Girindrawardhana yang banyak mendapat dukungan dari gerilyawan sisa-sisa lasykar Majapahit lama, berhasil menjebol Majapahit baru boneka Demak Bintara. Prabhu Brawijaya VI atau Nyoo Lay Wa, tewas!

Tahta Majapahit berhasil dikuasai oleh Raden Girindrawardhana. Dia memboyong segala tanda kebesaran Majapahit dari Trowulan ke Keling, Kedhiri. Disana, dia mengukuhkan diri sebagai Prabhu Brawijaya VII (1486-1527 M) dan memaklumatkan bahwa Majapahit yang berkedudukan di Kedhiri sekarang, telah bebas dari dominasi Demak Bintara!

Mendengar kabar tersebut, pemerintahan Demak Bintara tidak tinggal diam. Pasukan dalam jumlah besar dikirim ke Kedhiri (1517 M). Peperangan kembali pecah! Dan lagi, darah membanjiri bumi pertiwi. Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Sunan Kudus ini, mendapat perlawanan dahsyat! Kedhiri, sulit ditaklukkan! Begitu sulitnya menjebol Kedhiri, mengingatkan penyerangan Demak ke Trowulan kala itu.

Kedhiri yang hendak melepaskan diri dari Demak berhasil ditaklukkan. Prabhu Girindrawardhana tidak diturunkan dari tahtanya, namun sekarang menjadi bawahan Demak Bintara.

Pada tahun 1527 M, kembali Demak mengirimkan pasukan tempur ke Kedhiri. Disinyalir Prabhu Girindrawardhana telah mengadakan hubungan dengan Portugis. Dijaman Sultan Trenggana memegang tampuk pemerintahan Demak Bintara, Kedhiri berhasil dijebol. Prabhu Brawijaya VII atau Raden Girindrawardhana gugur dimedan laga!

Dan kerajaan Majapahit benar-benar runtuh!

(Hal inilah yang diekspose besar-besaran oleh kaum Putihan. Sehingga muncul pendapat bahwa Demak bukannya menghancurkan Majapahit, namun menyerang Raden Girindrawardhana yang lebih dahulu menghancurkan Majapahit. Padahal faktanya, baik penyerangan kepada Prabhu Brawijaya V maupun Raden Girindrawardhana, semuanya dilakukan oleh pasukan Demak Bintara : Damar Shashangka).

Pewaris Tahta Sah.

Prabhu Brawijaya V atau Raden Kertabhumi mempunyai seorang permaisuri yang berasal dari negeri Champa ( Vietnam Selatan)., bernama Dewi Anarawati. Permaisuri beliau ini beragama Islam. Dia adalah adik ipar Syeh Ibrahim As-Samarqand yang terkenal di Jawa dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. ( makamnya berada di Tuban sekarang : Damar Shashangka).

Dewi Anarawati ini adalah bibi dari Sunan Ampel atau Raden Ali Rahmad atau Bong Swie Hoo, pendiri Dewan Wali Sangha. Raden Ali Rahmad adalah putra Syeh Ibrohim Smorokondi. Raden Ali Rahmad juga adalah menantu Arya Teja, menantu Adipati Tuban Arya Adikara.

Adipati Arya Adikara, mempunyai dua orang putri, yang sulung bernama Raden Ayu Teja yang dinikahi oleh Gan Eng Cu atau Arya Teja. Mempunyai putri Nyi Ageng Manila yang lantas dinikahi oleh Raden Ali Rahmad atau Sunan Ampel dan kelak terkenal dengan sebutan Nyi Ageng Ampel, sedangkan yang bungsu bernama Dewi Retna Dumilah dan dinikahi oleh Arya Wilwatikta. Arya Wilwatikta menggantikan kedudukan mertuanya nya sebagai Adipati Tuban dengan gelar, Adipati Wilwatikta.

Adipati Wilwatikta inilah ayahanda Raden Sahid dan Dewi Rasawulan. Kelak, Raden Sahid terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga tidak berminat menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai seorang Adipati. Tahta Tuban diserahkan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya Dewi Rasawulan.

Raden Jaka Supa adalah keturunan Empu keraton Majapahit,yaitu Ki Pitrang atau Ki Supa Mandrangi atau Pangeran Sedayu. Raden Jaka Supa adalah arsitek keris Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten yang terkenal itu.

Sesungguhnya, keris Kyai Naga Sasra maupun Kyai Sabuk Inten, adalah sebuah simbol semata. Naga Sasra berasal dari bahasa sanskerta Nagha Sahasrara yang berarti Seribu Naga. Ini melambangkan banyaknya kekuatan-kekuatan laten Majapahit yang masih memiliki kekuatan militer dan masih memiliki pengaruh besar dipelosok Nusantara.

Sedangkan Sabuk Inten berarti Ikat Pinggang Intan yang melambangkan para investor ekonomi lokal maupun mancanegara sebagai sumber keuangan yang sangat menentukan perputaran roda perekonomian negara.

Raden Jaka Supa bukan orang sembarangan. Ayahandanya, Ki Pitrang atau Ki Supa Mandrangi, sangat berpengaruh didalam negeri Majapahit dan mancanegara waktu Majapahit masih berdiri. Pekerjaannya sebagai penyedia persenjataan militer negara, menjadikan Ki Pitrang banyak memiliki relasi.

Apabila anda pernah dengar sebuah pedang kuno yang menjadi kebanggaan Chiang Ka Shek pendiri Taiwan yang bernama Pit-Kang, sesungguhnya pedang tersebut adalah hasil tempaan Ki Pitrang, sehingga namanya pun masih disebut Pitrang walaupun dalam logat China. Pedang ini masih disimpan di Taiwan. Pedang tersebut adalah hadiah Raja Majapahit kepada Kaisar Tiongkok. Dan tidak tahu bagaimana ceritanya, pedang kuno yang berasal dari Majapahit tersebut bisa dibawa lari oleh Chiang Kai Shek ke Taiwan setelah Tiongkok berhasil dikuasai kaum komunis.

Kebesaran nama Ki Pitrang inilah, menjadikan Raden Jaka Supa, sebagai anak laki-laki satu-satunya dari istri yang berasal dari Majapahit ( seorang lagi, istri Ki Pitrang berasal dari Blambangan. Dari istri Blambangan ini, beliau mempunyai seorang putra bernama Jaka Sura, yang meninggal sewaktu berusia belia. Praktis, putra Ki Pitrang tinggal Raden Jaka Supa. : Damar Shashangka.), sangat disegani. Para sisa-sisa bangsawan Majapahit, yang masih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi maupun militer dan masih banyak tersebar di beberapa pelosok Nusantara serta yang disimbolkan dengan Keris Kyai Naga Sasra, ditambah para investor asing yang disimbolkan dengan Keris Kyai Sabuk Inten, sangat-sangat menghormati Raden Jaka Supa.

Kyai Sabuk Inten


Sosok Jaka Supa sangat dibutuhkan pihak pemerintahan Demak Bintara. Ditambah kehadiran Sunan Kalijaga, yang juga sangat disegani oleh berbagai kalangan lintas agama di wilayah bekas kerajaan Majapahit, maka seolah-olah, dua orang ini adalah kunci keberlangsungan pemerintahan Demak Bintara!

Sunan Kalijaga, demi mengingatkan Sultan Demak, memerintahkan Raden Jaka Supa membuat dua buah keris, yaitu Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten. Keduanya harus diserahkan kepada Sultan Demak, sebagai benda simbolik untuk mengingatkan Sultan Demak, bahwa tanpa dukungan sisa-sisa bangsawan Majapahit serta tanpa dipermudah masuknya investor mancanegara ke wilayah Demak Bintara, dapat dipastikan Demak tidak akan berumur lama. Dengan bersatunya Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten tersebut, bisa dipastikan Demak akan berdiri tegak sebagai kerajaan besar pengganti Majapahit! (Sayangnya, pada perkembangan selanjutnya, kedua benda simbolik ini di anggap sangat-sangat keramat oleh masyarakat Jawa hinggai sekarang. Dan timbul kepercayaan, pemerintahan akan kuat jika seorang penguasa memiliki Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten sekaligus. : Damar Shashangka.)

Kyai Naga Sasra


Kembali pada Prabhu Brawijaya V yang menikahi Putri Champa, Dewi Anarawati. Dari pernikahan tersebut, lahirlah tiga orang putra-putri. Yang sulung seorang putri bernama Retna Pambayun, dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa wilayah Pengging, daerah sekitar Surakarta sekarang. Yang kedua, Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura. Dan yang ketiga Raden Jaka Gugur.

Kelak Raden Jaka Gugur inilah yang dikenal dengan nama Sunan Lawu, penguasa mistik Gunung Lawu. Keberadaannya di Gunung Lawu, disalah pahami oleh warga sekitar sebagai Prabhu Brawijaya V sendiri. ( Maklum, sosok Raja pada masa itu hanya dikenal nama besarnya semata. Sosok aslinya, bagi masyarakat pedesaan, sama sekali tidak diketahui karena sulit bertemu langsung. Tidak ada media massa pada waktu itu seperti jaman sekarang, sehingga wajah Prabhu Brawijaya V, terbatas hanya kalangan bangsawan saja yang bisa mengenalinya. Oleh karena itu, kehadiran Raden Jaka Gugur di lereng Gunung Lawu, disalah pahami sebagai Prabhu Brawijaya V, bahkan sampai sekarang. : Damar Shashangka ).

Dan Prabhu Brawijaya V, tetap ada di Trowulan hingga beliau wafat. Prabhu Brawijaya V tidak pernah kemana-mana. Semenjak dari Banyuwangi hingga jatuh sakit dan wafat, beliau ada di Trowulan. Sunan Kalijaga lah yang terus mendampingi beliau hingga kewafatan beliau.

Dari pernikahan Adipati Handayaningrat IV dengan putri sulung Prabhu Brawijaya V, lahirlah dua orang putra. Pertama Raden Kebo Kanigara dan yang kedua Raden Kebo Kenanga.

Raden Kebo Kanigara lahir pada tahun 1472 Masehi. Menyusul setahun kemudian, Raden Kebo Kenanga lahir ( tahun 1473 M ). Jadi sewaktu Majapahit dihancurkan oleh Demak Bintara pada tahun 1478 Masehi, Raden Kebo Kanigara masih berusia enam tahun, dan Raden Kebo Kenanga masih berusia lima tahun.

Menginjak usia dua puluh tahun, Raden Kebo Kanigara pergi meninggalkan Pengging. Beliau memutuskan menjadi seorang Vanaprastha atau pertapa dalam usia muda. Beliau melakukan pertapaan di daerah lereng Gunung Merapi. Tempat dimana beliau pernah bertapa, sekarang terkenal dengan sebutan Desa Turgo, yang berasal dari gabungan dua suku kata AnggenTUR RaGA yang artinya MENGGEMBLENG DIRI.

Petilasan bekas beliau bertapa, kini berubah menjadi makam yang banyak diziarahi oleh masyarakat Jawa. Padahal, Raden Kebo Kanigara beragama Shiva Buddha, dan apabila wafat, tidak mungkin dikebumikan, namun di kremasi atau di Aben.

Sejujurnya, jenasah Raden Kebo Kanigara hilang raib karena kekuatan tapa brata-nya yang sangat keras. Dan tempat yang dikenal sebagai makam Raden Kebo Kanigara sekarang, sebenarnya hanyalah salah satu bekas tempat beliau bersemadi.

Putra bungsu Adipati Handayaningrat IV, yaitu Raden Kebo Kenanga, dalam usia dua puluh tahun, setahun semenjak kepergian kakaknya, harus kehilangan ramandanya. Adipati Handayaningrat IV wafat. Dan seharusnya, yang berhak menggantikan kedudukan beliau adalah Raden Kebo Kanigara. Karena sang sulung telah pergi bertapa, maka si bungsu, Raden Keno Kenanga terpaksa menggantikannya. Dan Raden Kebo Kenanga lantas dikenal dengan gelar KI AGENG PENGGING.

Dalam usia relatif muda, Ki Ageng Pengging sangat terkenal kedalaman spiritualitasnya. Dalam garis keturunannya, sebenarnya mengalir darah pewaris sah tahta Majapahit. Karena nenek beliau, yaitu Dewi Anarawati, telah diangkat sebagai permaisuri. Sehingga jelas disini, manakala Prabhu Brawijaya V kelak lengser keprabhon atau wafat, yang berhak menggantikan seharusnya adalah putri sulung beliau yang dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV. Otomatis, apabila putri sulung istri Adipati Handayaningrat IV ini kelak lengser keprabhon atau wafat, maka yang berhak menggantikannya adalah putranya, yaitu Raden Kebo Kanigara. Karena seperti telah diceritakan diatas, Raden Kebo Kanigara tidak berminat kepada tahta, maka Raden Keno Kenanga atau Ki Ageng Pengging yang berhak menggantikannya. Jika ditilik dari sini, sesungguhnya pewaris tahta Majapahit seharusnya Ki Ageng Pengging, bukan Raden Patah!!

Seluruh masyarakat Majapahit tahu akan hal ini. Tahu siapa yang seharusnya berhak memegang tahta. Sehingga diam-diam, pengaruh keturunan Pengging masih terasa sangat besar di wilayah Demak Bintara. Bagi pemerintahan Demak, keturunan Pengging adalah bahaya laten! Praktis pemerintah Demak Bintara secara diam-diam memasang pasukan mata-mata khusus di Pengging. Gerak-gerik Ki Ageng Pengging, tak pernah lepas dari pengamatan Sultan Demak dan Dewan Wali Sangha.

Sesungguhnya jika Ki Ageng Pengging mau, dia bisa melakukan konsolidasi kekuatan sisa-sisa Majapahit. Tapi, seperti sifat kakaknya, Ki Ageng Pengging sama sekali tidak mempunyai ambisi politik seperti itu. Malahan beliau lebih suka mendalami spiritualitas.

Para prajurid Pengging sendiri sangat merasakan akan hal itu. Kegiatan pelatihan militer, dirasa jauh berkurang semenjak Ki Ageng Pengging menggantikan ayahandanya. Malahan, tempat-tempat suci lebih bergairah dan hidup semenjak beliau berkuasa.

Ki Ageng Pengging tenggelam dalam spiritualitas. Setiap waktunya senantiasa beliau manfaatkan untuk peningkatan Kesadaran Atma. Pengging sangat damai. Penuh nuansa religius.

Namun hal itu tak berlangsung lama. Manakala Ki Ageng Pengging berkenalan dengan seorang ulama Islam yang dikenal berseberangan dengan Dewan Wali Sangha yaitu Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, Pengging mulai memanas!

(Bersambung)

(21 Desember 2009, by : Damar Shashangka).

Sumber :

1. Babad Tanah Jawi

2. Babad Tanah Jawi Demakan

3. Babad Tuban

4. Serat Kandha

5. Kronik Tionghoa Klenteng Sam Po Kong- Semarang

6. Serat Darmagandhul

7. Cerita tutur masyarakat Jawa

8. Bab Dhuwung, terbitan Jayabaya, Surabaya

9. Baboning Kitab Primbon, terbitan Sadu Budi, Solo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar