TABLOID POSMO EDISI 621 6-13 APRIL 2011
Rubriek posmo-laput Halaman 06-07
Dari Diskusi Kebudayaan “Bertemu Leluhur” di Trowulan, Mojokerto
Ketokohan Sabda Palon begitu diagungkan oleh orang Jawa. Ia disebut sebagai leluhur sekaligus danyang Tanah Jawa Dwipa yang sosoknya diidentikkan Nabi Khidirnya Wong Jowo.
B |
angsa Indonesia terancam menjadi bangsa yang kehilangan jati diri dan identitas. Universalisme sebagai ekses keterbukaan informasi global telah meluruhkan nilai-nilai identitas bangsa Indonesia. Masyarakat kini pun semakin menjauh dari nilai-nilai luhur kebudayaan masa silam yang berakar pada tradisi dan sejarah.
Nah, realitas Indonesia sekarang itulah yang menjadi latar keprihatinan dalam acara diskusi kebudayaan “Bertemu Leluhur” yang diselenggarakan oleh Komunitas Spiritual Indonesia pada hari Sabtu (20/3) pukul 19.00 WIB – selesai di Café Amanah, Trowulan, Mojokerto. Bustanus Salatin, salah satu panitia yang juga penggagas Komunitas Spiritual Indonesia menyatakan bahwa acara ini adalah sebagai bentuk apresiasi sekaligus menguri-uri budaya leluhur nusantara. Hal ini selaras dengan visi Komunitas Spiritual Indonesia, komunitas yang berbasis di dunia maya (internet) dan mempunyai 11.000 anggota dari seluruh Indonesia. Komunitas ini bertujuan untuk mengeksplorasi dan melestarikan berbagai bentuk kebudayaan dan keragaman Nusantara, sekaligus mencari solusi atas berbagai persoalan bangsa dari perspektif kebudayaan.
Dalam acara yang dikemas dengan suasana santai, namun serius tersebut panitia mempersiapkan sejumlah acara yang terangkai dalam bingkai kebudayaan dan nuansa spiritual yang kuat. Acara dimulai dengan launching sekaligus bedah novel sejarah Sabda Palon Kisah Nusantara Yang Disembunyikan. Sesi ini diawali dengan pembacaan macapat dan Tembang Dhandhanggula yang ditembangkan oleh Dhamarjati Shashangka, penulis novel sejarah itu. Dilanjutkan diskusi dan tanya jawab seputar novel sejarah yang mengulas mitos Sabda Palon dan ramalannya tersebut.
Dalam diskusi tersebut Dhamarjati Shashangka mengelak novel sejarahnya tersebut dikatakan fiktif belaka. Apa yang termuat dalam novel sejarahnya tersebut adalah fakta yang didapatkannya dalam 10 tahun riset tentang Sabda Palon yang diperkuat dengan keyakinan yang bersumber dari tradisi masyarakat Jawa.
Ia lalu membandingkan Sabda Palon dengan Nabi Khidir. “Mitos seputar Sabda Palon hampir mirip dengan kisah Nabi Khidir. Sebagaimana sosok Nabi Khidir yang oleh umat Islam diyakini kebenarannya, Sabda Palon pun begitu pula, nyata atau tidak, Sabda Palon telah terpatri dalam memori masyarakat Jawa,” urai Dhamarjati.
Acara malam itu kemudian dilanjutkan dengan diskusi mengenai keris. Dalam diskusi yang menghadirkan pembicara dari paguyuban keris Semarang tersebut Komunitas Spiritual Indonesia berusaha mengajak sekitar 150 orang yang hadir malam itu untuk mengenal dan mencintai keris sebagai warisan leluhur. Karena keris bagi masyarakat Jawa tidak hanya sekedar senjata, namun lebih dari itu adalah sebuah perwujudan akan kekuatan magis sekaligus supremasi khasanah keilmuan Jawa.
Setelah diskusi tentang keris, acara berlanjut dengan diskusi yang mengangkat tema “Indonesia ke Depan”.
Dalam sesi ini hadir sebagai pembicara Djatikusumo dari Padepokan Wangon Sumber Nogo dan Turmudzi dari Paguyuban Kahuripan As Shirot. Dalam diskusi inilah rasa keprihatinan akan nasib bangsa ini semakin menguat. Djatikusumo, spiritualis dari Malang yang juga mantan anggota DPR RI ini menyatakan bahwa kondisi bangsa Indonesia saat ini sangat kontras dengan catatan sejarahnya. Sejarah bangsa ini ditulis dengan kabanggaan dan optimism melihat ke depan. Sedangkan Indonesia sekarang terpuruk dengan berbagai persoalan yang seolah tidak pernah tuntas. Djatikusumo kemudian mengungkapkan bahwa sebenarnya Nusantara, terutama Jawa telah disebut dalam kisah-kisah lama. Seperti halnya kisah Hanoman mencari sebuah obat yang hanya bisa didapatkan di Jambudwipa, atau Jawa. Hal tersebut membuktikan betapa Jawa dulu telah tersohor sebagai tanah kesuburan dan kemakmuran.
Diskusi kebudayaan malam itu diakhiri dengan meditasi bersama di kolam Segaran Trowulan. Acara meditasi tersebut dipimpin oleh Ibu Srikandi, Pemangku Pura Majapahit. Meditasi tersebut adalah sarana bagi penyatuan dan komunikasi antara manusia sekarang dengan leluhurnya. Meditasi tersebut sekaligus sarana penyejuk jiwa bagi peserta yang hadir malam itu. Seperti yang diungkapkan oleh Budiyanto dari Sidoarjo, dia mengungkapkan bahwa dirinya mengikuti acara tersebut karena merasa jenih dengan beban pekerjaan dan rutinitas sehari-hari. Budiyanto yang bekerja disebuah perusahaan leasing mobil mengutarakan harapannya. “Semoga dengan mengikuti acara ini saya menemukan kesejukan hati, Mas,” ucapnya.
Acara yang berlangsung hingga dini hari tersebut memang dihadiri beragam kalangan dari berbagai profesi dan domisili. Seperti mahasiswa, guru, pekerja formal, hingga pekerja informal. Seperti halnya Wagimin, peserta yang berasal dari Banten. Petani yang berusia 50 tahun tersebut mengaku datang bersama empat orang temannya dengan naik kereta api. Dia rela jauh-jauh datang ke Mojokerto demi mengikuti acara yang disebutnya bermanfaat bagi bangsa tersebut sekaligus menuntaskan rasa penasarannya akan peninggalan Majapahit yang masih tersisa di Trowulan.
Roh Gadjah Mada
Ada hal yang mengagetkan di sela-sela acara diskusi spiritual yakni sempat terjadi goro-goro yang menimpa salah satu penari pengisi acara. Tiba-tiba penari itu berteriak histeris dan membuat gerakan meronta sambil memukul-mukulkan tangannya ke lantai tak lama setelah dua dan empat orang rekan penarinya selesai mempertunjukkan tariannya di depan peserta diskusi.
Para penari yang dipimpin oleh Mika Ketut dari Bali tersebut memang dipersiapkan sebagai salah satu pendukung acara malam itu. Para penari travesti tersebut membawakan tarian yang bernama Sekar Jagat, sebuah tarian penyambutan dari Bali. Putu Arya, salah satu penari, menyatakan bahwa baru kali ini salah satu penarinya kerawuhan setelah membawakan tari sekar jagat. “Ini baru pertama kali terjadi, penari saya ada yang kerasukan setelah menari Sekar Jagat,” ujarnya.
Menurut Ibu Srikandi, yang turut membantu melepaskan penari tersebut dari kesurupan mengatakan bahwa kesurupan ini terjadi karena panitia lalai dalam mempersiapkan perangkat upacara yang seharusnya ada dalam setiap acara yang berkaitan dengan Majapahit seperti dupa. Dia kemudian menjelaskan bahwa penari tersebut kesurupan arwah leluhur Majapahit. Hal ini dibenarkan oleh Putu Arya yang juga menangani kesurupan tersebut. Dia menyatakan bahwa rekan penarinya di rawuhi oleh Gadjah Mada. “ Yang hadir dalam tubuh teman saya tersebut adalah orang yang mengucap Sumpah Palapa. Dia hadir karena marah atas tidak adanya perangkat upacara seperti dupa dan bunga yang menandakan masyarakat sekarang telah lupa pada ajaran leluhur,” akunya kepada posmo. (RADITYA-MG1)
ANTARA SEMAR, SABDA PALON DAN KALIJAGA
A |
da yang luar biasa saat Komunitas Spiritual menggelar diskusi Bertemu Leluhur, terutama yang menyangkut jati diri Sabda Palon. Sosoknya dianggap masih menyimpan misteri. Namun dalam masyarakat Jawa, ia sudah kadung digambarkan sebagai tokoh yang konon usianya paruh baya dengan bahu yang lebar dan gemuk. Janggut tumbuh di bawah bibirnya. Sedang di sekitar mulutnya, janggutnya dicukur dengan rapi. Hidungnya mancung, menunjukkan berasal dari Jambudwipa Utara.
Dia bertelanjang sebatas pinggang sebagaimana kebiasaan seorang brahmana dalam cuaca panas. Cara dia mengikat kainnya dengan lipatan di belakang menandakan darimana dia berasal. Ikat pinggang yang rumit dengan bertahtakan batu permata dia kenakan sebagai penanda bahwa dia adalah pejabat istana dengan pangkat penasihat.
Pakaiannya dirajut benang emas ditambah dengan gelang, anting, dan ikat pinggang yang indah. Antingnya tampak sangat berat hingga menekan telinganya, bahkan anting itu sampai dua kali mengoyak telinganya. Anting itu terbuat dari emas murni, logam yang melambangkan kemurnian spiritual.
Dia abadi seabadi semesta dan sangat samar. Terkadang dia mewujud, lahir menjadi manusia biasa. Dan tak ada yang tahu jika dia telah menyaru dalam tubuh manusia.
Jati Diri Semar
Gambaran di atas merupakan pemaparan Dhamarjati Shashangka terhadap tokoh agung tanah Jawa itu. Meskipun novel sejarah, Dhamarjati sekali lagi menolak jika gambaran atas Sabda Palon sebagaimana yang dia tafsirkan dari perjumpaan Sunan Kalijaga dengan Sabda Palon.
Masih menurut Dhamarjati, Sunan Kalijaga adalah orang yang pernah bertemu dengan Sabda Palon. Tokoh lain yang juga pernah bertemu dengannya adalah Syekh Subakir danSyekh Siti Jenar. Perjumpaannya dengan Sabda Palon itulah yang menginspirasi Sunan Kalijaga untuk membuat sosok Semar dalam pewayangan Jawa baru. Sosok Semar sebenarnya adalah personifikasi atas sebuah kecintaan pada ilahi yang teramat sangat.
“Sebagaimana arti Semar yaitu sem sem ing samar, tergila-gila pada yang melampaui nalar,” tutur Dhamarjati.
Lebih lanjut Dhamarjati kemudian menjelaskan bahwa Sabda Palon sebenarnya telah tergurat dalam memori masyarakat Jawa sejak dulu. Dalam setiap candi yang memuat relief, pasti ada sosok Sabda Palon yang digambarkan dengan punakawan tambun yang berdiri dibelakang. Meskipun Dhamarjati sendiri mengaku tak tahu persis siapa sebenarnya nama aslinya. Namun nama Sabda Palon sendiri sudah menunjukkan makna, yaitu ketetapan yang tak tergugat.
Pertemuan antara Sabda Palon dengan Sunan Kalijaga disebut dalam serat Sabda Palon. Sunan Kalijaga bertemu dengan Sabda Palon dan Naya Genggong yang saat itu tengah mendampingi Prabu Brawijaya. Dalam perjumpaan tersebut, Prabu Brawijaya yang saat itu sudah memeluk Islam mengutarakan maksudnya pada Sabda Palon dan Naya Genggong agar mengikuti jejaknya memeluk Islam. Namun Sabda Palon menolak. Dia justru mengucap janji bahwa lima ratus tahun kemudian akan muncul agama Budhi yang akan menggantikan agama di Jawa. Saat itu tiba seluruh penduduk Jawa akan beragama Budhi, siapapun yang menolak akan menjadi tumbal makhluk halus. Sebagai tanda teguh janjinya itu akan muncul pertanda. Pertanda itu adalah jika Gunung Merapi memuntahkan laharnya kearah barat daya.
Melihat kisah diatas, Dhamarjati menegaskan bahwa sebenarnya Sabda Palon bukanlah sosok yang anti-Islam. “Jika dia tidak suka pada Islam, tentu dia akan menolak Sunan Ampel menyebarkan agamanya di Majapahit,” alasannya. Sabda Palon saat itu hanya resah atas telah terpecahnya Islam menjadi kelompok-kelompok yang saling menyalahkan. Seperti halnya Islam abangan dan putihan. Dengan kondisi demikian, maka Islam telah berubah menjadi kekuatan politik, bukan lagi ajaran keilahian.
RAMALAN MUNCULNYA AGAMA BUDHI
TAHUN 2056, NUSANTARA JAYA
Berbagai prahara yang menimpa bumi pertiwi berupa bencana alam dan kemanusiaan dating silih berganti. Terawang kalangan tokoh sesepuh yang waskitha, menangkap adanya misteri yang menyelimuti hadirnya berbagai bencana ini. Lalu apakah yang sesungguhnya terjadi di Nusantara ini ?
B |
ANYAK jawaban yang muncul di hati nurani bangsa ini. Rakyat pun seakan bisa membaca, jika Indonesia sekarang berada di lembaran suram yang mengguratkan kepedihan karena luka dan putus asa. Birokrasi yang lamban dan korup, sistem dan lembaga peradilan yang tak berpihak pada kebenaran, pemerintah yang abai akan kesejahteraan rakyatnya, dan ulah sebagian kelompok yang mencederai nilai kehidupan bernegara menjadi tema utama yang tersaji dan membentuk jalinan cerita yang memenuhi lembaran itu. Belum lagi serentetan bencana yang terjadi dewasa ini, tsunami Aceh, gempa Yogyakarta, bencana Lumpur Lapindo Sidoarjo, meletusnya Merapi serta bencana-bencana lain yang silih berganti menghiasi pemberitaan media massa seolah menunjukkan tanda kemurkaan alam atas Indonesia.
Nah, melihat berbagai hal itu, pertanyaan segera muncul, apa yang terjadi dengan Indonesia. Dhamarjati Shashangka, spiritualis sekaligus penulis novel sejarah Sabda Palon menyatakan bahwa saat ini adalah sebuah masa ramalan Sabda Palon akan mendekati kenyataan. Ramalalan Sabda Palon adalah sebuah ramalam tentang akan datangnya agama dan tatanan baru di Jawa yang akan menggantikan tatanan yang lama.
Agama Budhi
Dhamarjati kemudian menjelaskan bahwa segala yang terjadi dengan Indonesia saat ini sesuai dengan tahapan ramalan Sabda Palon. Seperti halnya tsunami Aceh yang sudah teramalkan oleh Sabda Palon dengan kata-kata alon munggah ning daratan.
Bencana adalah mekanisme alam yang terjadi ketika kesadaran kemanusiaan telah menurun. Bencana-bencana tersebut akan terus berlanjut hingga muncul dan menguatnya kembali ajaran/agama Budhi di Indonesia. “Ajaran Budhi tersebut kini telah muncul dan akan mencapai puncaknya pada tahun 2056,” tutur Dhamarjati. Hal itu sesuai dengan ucapan Sabda Palon yang menyatakan bahwa agama Budhi akan menguasai kembali Jawa kira-kira 500 tahun lagi. Ramalan Sabda Palon tersebut dikeluarkan pada tahun 1478 M atau 1400 S. Dan sesuai dengan ramalannya, munculnya agama Budhi akan diiringi dengan bencana yang silih berganti dan tidak terelakkan oleh bangsa Indonesia sekarang.
Hadirnya agama Budhi tersebut menurut Dhamarjati nantinya tidak akan menyingkirkan agama-agama lain. Agama-agama yang ada sekarang tetap akan ada karena agama Budhi adalah sebuah konsep tentang kesadaran bahwa agama adalah sekedar busana untuk menuju keilahian. Agama Budhi pula yang menjadi tatanan baru Indonesia yang menjamin kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Pernyataan yang hampir sama juga diungkapkan oleh Djatikusumo. Mantan anggota DPR RI ini menyatakan bahwa 500 tahun setelah Sabda Palon mengucap ramalannya, metode filsafat baru akan muncul yang akan melandasi tatanan dunia baru. Ajaran tersebut akan menyisihkan pengaruh kapitalisme dan komunisme yang mewarnai dunia sekarang ini. Padahal tatanan kapitalisme sekarang inilah yang disebutkan dalam ramalan Jayabaya, Anenangi zaman edan, yen ora ngedan ora keduman. Tatanan baru itu akan lahir di Indonesia yang menjadikan Indonesia akan menjadi pemimpin dan penuntun bangsa-bangsa di dunia hingga tahun 3000. Namun sedikit berbeda dengan penafsiran Dhamarjati Shashangka, Djatikusumo meyakini bahwa ramalan tersebut telah mulai mewujud pada tahun 1945 dan hingga kini akan semakin mendekati kenyataan.
Namun, sebelum kemakmuran dan kesejahteraan terwujud, Indonesia akan mengalami berbagai bencana terlebih dahulu. Bencana-bencana tersebut akan menempa Indonesia menjadi bangsa yang besar. “Sebelum ramalan tersebut terwujud Indonesia akan mengalami sakit terlebih dahulu hingga terhimpit langit,” tuturnya.
Djatikusumo kemudian mengingatkan orang Jawa untuk tidak melupakan Jawanya, Jawa sebagai peradaban, keluguan, dan kebenaran. Tirakatan dan sesajen pun tidak boleh ditinggalkan karena keduanya adalah sarana komunikasi antara yang sekunder yaitu manusia dengan yang primer yaitu yang tak kasat mata. Komunikasi tersebut sangat penting untuk menciptaan sinergi antara mikrokosmos (manusia) dan makrokosmos (alam semesta) sebagaimana dahulu leluhur bangsa ini melakukannya.
Djatikusumo yakin bahwa ramalan Sabda Palon itu akan terwujud dan Indonesia akan melewati semua bencana ini. Sejarah membuktikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang besar yang tercatat dalam sejarah dunia.
“Indonesia dan Jawa adalah miniatur dunia,” tuturnya. Dari tanah inilah segala ilmu pengetahuan sebenarnya bersumber. Dan ilmu yang sekarang berkembang di seluruh dunia adalah secuil dari ilmu di Nusantara. (RADITYA-MG1)
Catatan : Tabloid POSMO keliru mencantumkan nama Damar Shashangka menjadi Dhamarjati Shashangka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar