Novel Wali Sanga
©Damar Shashangka, 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Penyunting: Salahuddien Gz
Pemindai Aksara: Muhammad Bagus SM
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Penata Letak: MT Nugroho
Cetakan I: 2012
ISBN: 978-979-16110-8-N
DOLPHIN
Jln. Kebagusan I No. 34 Jakarta 12520
Telp.: +6221 78847301
Email: bunda_laksmi@yahoo.com
Website: www.penerbitdolphin.com
©Damar Shashangka, 2012
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved
Penyunting: Salahuddien Gz
Pemindai Aksara: Muhammad Bagus SM
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Penata Letak: MT Nugroho
Cetakan I: 2012
ISBN: 978-979-16110-8-N
Harga Rp.49.800,-
DOLPHIN
Jln. Kebagusan I No. 34 Jakarta 12520
Telp.: +6221 78847301
Email: bunda_laksmi@yahoo.com
Website: www.penerbitdolphin.com
Bau
kemenyan terbawa hembusan angin lalu, seolah ingin mengabarkan bahwa tanah Jawa
semakin tidak bisa menerima kehadirannya. Karena bau kasturi dari tanah gersang
sana sedang bersimaharajalela. Asap kemenyan, yang sudah ribuan tahun lamanya
menemani dengan setia udara Jawa setiap pagi, siang, sore, dan malam, kini
hanya bisa dijumpai di tempat-tempat sunyi. Asap yang menghubungkan para dewa,
roh leluhur, dan makhluk halus, dengan manusia Jawa.
Cuplikan Novel Wali Sanga
(Halaman 154-155)
Sosok
yang masih berdiri itu, yang tak lain adalah Ki Agêng Pêngging, tampak berpikir
keras. Semakin keras dia berpikir, semakin kebuntuan yang didapatinya.
“Dengarkan!”
Dua
orang yang bersila, yang tak lain adalah Ken Wrêgola dan Panji Tugaran,
memasang telinga baik-baik.
“Laut
kini telah berubah! Dulu armada Majapahit merajai laut Nusantara. Di mana saja
ada tempat untuk mengembangkan layar, jung-jung Majapahit pasti ada di sana!”
Angin
semilir berhembus ke ruang pendopo.
“Angin
barat dan timur tak lelah bercengkerama dengan umbul-umbul merah-putih! Tak ada
jung yang lebih besar daripada jung Jawa! Gelondongan kayu pilihan dari Sumbawa
dan Lombok membuat kokoh jung-jung Majapahit! Ditambah bêdhil gêdhe, cet bang
buatan Palembang, keperkasaan armada laut Majapahit tak tertandingi di
mana-mana! Tak ada jung yang paling ditakuti melebih jung-jung berumbul-umbul
merah-putih, umbul-umbul gula kelapa kita! Tetapi kini, jagat telah berubah!
“Orang-orang
Atas Angin itu, yang suka mengenakan pakaian kedodoran bagai walang kadung,
telah merajai lautan! Di mana-mana! Mereka ada tidak hanya ada di Nusantara!
Bahkan sampai Jambhudwipa! Majapahit kini merosot jauh. Lautan, yang merupakan
kunci utama kebesaran kita, telah dikuasai bangsa lain. Lihat di sana! Carbon,
Dêrmayu, Pêrgota, Dêmak, Japara, Lasêm, Tuban, Pamotan, Tandhês, Ujung Galuh,
semua telah mereka kuasai! Hanya Pelabuhan Kalapa, Panarukan, dan Ulupampang
yang masih belum berubah!
“Yang
lebih parah, telah berkembang pesat bandar besar di Hujung Mêdini sana! Bandar
yang disebut Malaka! Bandar milik Kesultanan Malaka! Kesultanan yang serupa
dengan Dêmak Bintara! Kesultanan yang dipenuhi ajaran orang Atas Angin.
Kesultanan yang memegang kunci selat antara Swarnabhumi dan Hujung Mêdini! Kita
telah terlipat! Tertekuk! Orang-orang Atas Angin ada di mana-mana, menggagahi
titik-titik penting, menggenggam urat nadi Nusantara! Di mana lagikah kita bisa
berkuasa selain di pedalaman?”
Ken
Tugaran dan Panji Wrêgola semakin tertunduk.
“Lantas
apa yang bisa kita andalkan di pedalaman? Mampu berdiri berapa lama ketika urat
nadi kita terpotong sedemikian rupa?”
Kesunyian
saat itu sungguh tak enak dirasa. Hati berdebar, resah, dan gundah. Ki Agêng
Pêngging meliuk, duduk kembali di kursi kebesaran trah Pêngging. Kursi yang
semakin lama terasa semakin dingin.
(Halaman 250-251)
Bahkan
kini, sebuah kereta kuda mendekat, menawarkan diri untuk mengantar Syekh Siti
Jênar. Orang sepuh itu tidak menolaknya. Dia pun naik ke dalam kereta. Lima
santrinya mengiring di samping kiri dan kanan kereta dengan berjalan kaki.
Rombongan kecil tersebut sontak menjadi perhatian di pelabuhan. Ada yang belum
mengenalnya, ada pula yang telah mengenalnya. Laju kereta menjadi lambat di
antara beberapa orang yang mencoba mendekat, yang hendak melihat sosok Syekh
Siti Jênar, yang konon adalah manusia sakti, seorang waliyullah, kekasih Allah!
Di antara mereka, terdengar kelisik yang menyatakan bahwa syekh itu sejatinya
bukan manusia, melainkan cacing tanah yang berubah menjadi manusia berkat sabda
Susuhunan Benang.
“Ya,
itu terjadi ketika syekh itu mencuri-curi dengar saat Kangjêng Benang
membabarkan wejangan rahasia kepada Kangjêng Kalijaga!”
“Iya,
begitulah! Dia menyelusup ke dalam segenggam tanah liat yang sedianya mau
digunakan untuk menambal perahu yang bocor!”
“Berubah
begitu saja setelah Kangjêng Benang menyabda cacing itu!”
“Ah,
mana ada cacing berubah jadi manusia?”
“Itu
sihir!”
“Perahunya
bocor. Dengar! Perahunya bocor! Lalu Kangjêng Benang mencari tanah liat untuk
menambalnya. Tak tahunya, di dalam tanah itu ada cacing. Cacing itulah
asal-muasal orang itu!”
“Hebat!”
“Hentikan
omong kosong kalian! Mulut nelayan bodoh!”
“Itu
orang! Mana mungkin cacing? Ada-ada saja!”
“Waliyullah
itu sakti. Kekasih Gusti Allah. Jangan sekali-kali bicara sembarangan. Kalau
mereka lewat, omongan kalian akan jadi kenyataan! Kamu bisa kualat!”
“Makanya,
tutup saja mulutmu!”
“Orang
Jawa sekarang suka berkhayal! Cuih! Mana ada zaman dulu cerita begini?”
“Hei,
kamu! Kamu orang mana? Pedalaman? Kapir?”
Beberapa
anak kecil berlari dan menggamit tangan biyungnya, terbengong-bengong melihat
sosok sepuh di dalam kereta kuda.
Kereta
mengarah ke Giri Kêdhaton, terseok-seok pada beberapa tempat karena masih
banyak orang yang ingin melihat sosok Syekh Siti Jênar dari dekat. Hingga
akhirnya, sampai juga mereka di istana Giri Kêdhaton.
(Halaman 254-255)
Melihat
pasukan Dêmak telah membentuk gêlar tempur, prajurit Daha bersorak-sorak.
Seorang prajurit pembawa umbul-umbul memacu kudanya di depan pasukan berkuda
Daha. Berkelebat-kelebat umbul-umbulnya. Setelah sampai di tepi barisan,
prajurit itu memutar dan berbalik. Kini dia memacu kudanya dengan arah yang
berlawanan. Sebuah pemandangan yang menantang dan meremehkan.
Tidak
cukup dengan satu putaran, prajurit itu kini kembali memacu kudanya. Bukan di
depan jajaran prajurit Daha, melainkan mengarah ke barisan pasukan Dêmak. Semua
pasukan Dêmak mendelik. Dada mereka terasa panas.
Prajurit
pembawa umbul-umbul itu sudah nyaris memasuki wilayah Dêmak. Tinggal beberapa
jengkal lagi. Dan tepat di titik perbatasan, prajurit itu memutar kuda, kembali
menuju barisan. Sorak-sorai membahana dari pasukan Daha. Kini, bukan hanya satu
prajurit pembawa umbul-umbul yang maju. Prajurit pembawa panji-panji Surya
Majapahit melakukan hal yang sama. Menyusul di belakang, sepuluh prajurit
berkuda maju serentak sembari memecut-mecutkan cemetinya. Suara cemeti
menggeletar, mendengingkan telinga siapa saja yang mendengar.
Prajurit
pembawa cemeti memutar kuda tepat di titik perbatasan. Mereka menjalankan kuda
di tempat. Kuda mereka tidak berlari, hanya menjejak-jejakkan kaki ke tanah.
Mereka meludah ke arah prajurit Dêmak sembari menghina:
“Maju
sini! Ayooh! Maju siniii!”
“Maju!
Sini! Maju!”
Ctar,
ctar, ctar! Bunyi cemeti yang dipecut-pecutkan ke udara membikin panas hati
prajurit Dêmak. Senjata telah mereka genggam kuat-kuat. Tetapi perintah tidak
juga datang. Sepuluh prajurit Daha yang memecut-mecutkan cemeti mereka memang
belum menginjakkan kaki di wilayah Dêmak. Tetapi tingkah mereka benar-benar
membuat amarah prajurit Dêmak menggelegak.
“Ayooh!
Maju selangkah lagi! Ayooh!” gumam seorang prajurit Dêmak yang sudah tidak sabar.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Setelah
Majapahit hancur oleh serangan Dêmak pada tahun 1478, tanah Jawa penuh dengan
pergolakan. Masa itu adalah masa penyebaran Islam secara besar-besaran. Majelis
Wali Sanga, selaku wadah besar para ulama, didukung pemerintahan Islam di
pesisir utara, mulai merambah ranah politik. Bahkan Sunan Giri menitahkan
pembakaran lontar-lontar agama leluhur, Siwa Budha, yang masih banyak disimpan
penduduk Jawa. Karena merasa ulama seharusnya hanya berperan sebagai pencerah
dan pembimbing pemerintah dan masyarakat, Syekh Siti Jênar menyatakan diri
keluar dari Majelis Wali Sanga. Para ulama di Jawa pun di ambang perpecahan.
Dalam pada itu,
di Jawa belahan timur, kerajaan-kerajaan pecahan Majapahit mencoba terus
bertahan. Salah satunya adalah Daha. Pada tahun 1486 Daha menggempur Majapahit,
yang berada dalam kuasa Dêmak. Sejak itu ia menyatakan diri sebagai Majapahit
baru yang lepas dari cengkeraman Dêmak. Dan Dêmak ternyata tak bisa berbuat
apa-apa karena ia sibuk mengembangkan kekuatan maritimnya. Dêmak sangat
berhasrat menjadi penguasa Nusantara layaknya Majapahit dahulu, yang berjaya di
lautan.
Tetapi yang
paling ditakuti Dêmak bukanlah Daha, melainkan justru ahli waris takhta
Majapahit di Jawa belahan tengah, Ki Agêng Pêngging. Ia pun menjadi ancaman
Giri Kêdhaton, kerajaan bercorak Islam di Jawa belahan timur. Ditambah
perselisihan dalam Majelis Wali Sanga antara Sunan Giri dan Syekh Siti Jênar,
sosok berpengaruh yang sangat dekat dengan Ki Agêng Pêngging, Dêmak merasa
keberadaannya makin terjepit. Novel ini membabar konflik-konflik di tanah Jawa
sepanjang tahun 1493-1494, yang sangat jarang dikisahkan
---------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Buku ini bisa dipesan sekarang juga.
Pesan ke penulis plus tanda tangan penulis cukup Rp.45.000,- dan diskon 20%
untuk pembelian 5 buku ke atas (belum termasuk ongkos kirim).
Kirim pesan pemesanan via sms, dengan menulis nama dan alamat
alamat lengkap yang dituju ke 0818-102-767.
Buku akan dikirim melalui POS/JNE.
Buku akan dikirim melalui POS/JNE.
Pembayaran melalui transfer ke
rekening:
BCA KCP Gondanglegi,Malang
No.Rek : 31-70-41-76-90
a/n : Anton Maharani
BCA KCP Gondanglegi,Malang
No.Rek : 31-70-41-76-90
a/n : Anton Maharani
Konfirmasi transfer, hubungi nomor
tlp ini :
0818-102-767