NOVEL
WALI SANGA
SELAYANG PANDANG
Oleh : Damar
Shashangka
R
|
entetan konflik tak
bisa dipisahkan dari perjalanan panjang sejarah anak manusia. Kepentingan dan
ambisi dari satu individu maupun kelompok, tidak bisa tidak akan berbenturan
dengan kepentingan dan ambisi dari individu maupun kelompok lain. Baik
kepentingan dan ambisi yang bermotifkan golongan, ras, ekonomi, politik bahkan
hingga agama. Dan konflik akan berdampak memilukan jika motif profan dikemas
rapi dalam selubung agama. Tak lagi bisa dipisahkan mana ranah sakral dan
duniawi. Karena yang profan sudah diangkat menjadi sakral. Sehingga apa-apa
yang terlihat cemar, akan berubah memiliki nilai suci jika agama sudah dijadikan
landasannya. Dan sekali lagi, dampaknya akan lebih mengerikan.
Kepentingan
yang semula diperebutkan dan tetap disadari sebagai sebuah kepentingan duniawi yang
segera disesali jika tragedi terlanjur terjadi, serta merta menjadi sebuah
absurditas jika agama telah berbicara, sehingga tak ada lagi kata penyesalan
karena konon yang Illahi telah memberikan legitimasinya. Disinilah sifat paradoks
yang kerap dipertontonkan oleh para pemimpin agama. Disatu sisi, mereka
mengajarkan kasih dan humanisme sebagai esensi ajaran mereka, namun disisi lain,
mereka kerap menyetujui tindakan anarkisme yang menginjak-injak prinsip kasih
dan humanisme itu sendiri.
Jawa
abad XV, selepas runtuhnya Majapahit adalah medan terbuka bagi gesekan-gesekan
kepentingan dan ambisi absurd seperti ini. Kalangan status quo, yang terdiri
dari para bangsawan Majapahit maupun mereka yang tetap setia pada trah
Majapahit, segera saja ikut-ikutan melandasi semangat nasionalisme mereka pada alasan-alasan
yang juga absurd. Ketika dulu, saat Majapahit berdiri gagah penuh kejayaan dan menjadi
kekuatan maritim besar di Asia Tenggara, para Raja Majapahit tidak banyak
membutuhkan legitimasi illahiah demi kekuasaan mereka –walau beberapa pujangga
menyanjung-nyanjung mereka bagaikan titisan Dewa-Dewa tertentu karena
kebijaksanannya, toh para Raja Majapahit tidak menjadikannya sebagai sebuah
legitimasi utama untuk menunjang kebesaran pribadinya.
Majapahit
menjadi besar karena mereka menguasai lautan dengan Jung-Jung tercanggih di
masanya. Jung-Jung yang dilengkapi peralatan tempur serupa meriam yang
dinamakan Cet Bang atau Bêdhil Gêdhe. Senjata ledak yang dikembangkan dari senjata
serupa yang dibawa bangsa Tar-Tar saat menggempur Jawa pada akhir abad XIII. Ditunjang
pula keahlian tempur para prajuridnya serta semangat mempersatukan Nusantara
yang berkobar-kobar. Disamping pula, Majapahit menjadi besar karena kesadaran
yang dicapai oleh masyarakatnya, yang menginsyafi bahwa perbedaan apapun
tidaklah menjadi soal, bahkan dalam ranah agama sekalipun. Mereka mengikrarkan sebuah
semboyan luar biasa : Bhinneka Tunggal
Ika, Tan Hana Dharmma Mangrwa. Mereka benar-benar sadar bahwa ; Walau berbeda tetap satu juga, dan tidak ada
kebenaran yang mendua. Majapahit menjadi besar, bukan hanya tertopang oleh
legitimasi illahiah. Bahkan legitimasi semacam itu bukanlah hal yang utama.
Pendek kata, masa-masa Majapahit adalah masa-masa masyarakat Jawa yang lebih
rasional dibanding masa sesudahnya.
Perbandingan
ini bisa kita ambil saat membaca naskah Pararaton ; naskah yang penuh ditaburi kisah-kisah
mitos leluhur Raja-Raja Majapahit. Pararaton sendiri, ditulis pada abad XVII, dua
ratus tahunan selepas Majapahit runtuh. Masa dimana Kesultanan Mataram Islam
tengah gencar-gencarnya melakukan perluasan wilayahnya di Jawa. Masa-masa yang penuh
ketakhayulan. Masa-masa kebesaran Raja-Raja Mataram yang bertopangkan
legitimasi illahiah bercirikan Islam Kejawen, dan dicounter dengan legitimasi
serupa bercirikan Jawa-Hindhu-Buddha (Syiwa Buddha;Budo) untuk membesarkan
dinasti Rajasa -dinasti Raja-Raja Majapahit- oleh penulis Pararaton.
Novel
WALI SANGA merupakan novel sejarah yang menyoroti perilaku absurd dari
segelintir manusia dengan mengambil setting Jawa pada akhir abad XV. Novel yang
berusaha memunculkan fakta sejarah apa adanya, mengulitinya dari segala motif sakral
dan menuturkan secara gamblang, bahwa manusia adalah pelaku jenius –atau malah
terbingungkan- dari segala rentetan konflik berdarah yang diciptakannya
sendiri. Dan yang memprihatinkan, hanya segelintir lagi yang menyadari akan
keabsurdan tersebut. Dan mereka yang sadar, malah menjadi korban, menjadi
target untuk dipinggirkan bahkan disingkirkan.
Dalam
Novel ini pembaca disuguhi banyak tokoh, tanpa harus mengarahkan pembaca untuk
terjebak dalam dualisme protagonis maupun antagonis. Pembaca bebas meletakkan
keberpihakan pribadinya. Pembaca bebas menyimpulkannya sendiri. Penulis hanya
sekedar menyuguhkan keping demi keping peristiwa sejarah secara runtut dengan
pengkisahan yang mengajak pembaca untuk serasa ikut mengalami masa-masa Jawa
akhir abad XV. Diatas itu semua, adalah bijak jika kita semua menempatkan diri
secara netral dan memandang sejarah sebatas kejadian masa lampau yang perlu
diambil segala hikmahnya. Peristiwa apapun yang telah terjadi dan bernilai
konstruktif ; dari manapun dan oleh siapapun peristiwa itu lahir, patut
diapresiasi dan ditauladani. Sebaliknya, peristiwa apapun yang telah terjadi
dan bernilai destruktif ; dari manapun dan oleh siapapun peristiwa itu lahir,
patut untuk dijadikan bahan ajar agar tidak lagi terulang dan diulangi.
Bhumi Singhasari,
9 Oktober 2012
Damar Shashangka
Cet Bang (Meriam China), di Keraton Kasepuhan, Cirebon.
Cet Bang (Meriam China), di Museum Bali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar