Senin, 29 November 2010

BHIKSU MEMBAKAR DIRI TIDAK MERASAKAN PANASNYA API



Pada tanggal 11 juni 1963, seorang biksu Buddha yang bernama Thich Quang Duc, membakar dirinya sendiri di sebuah persimpangan padat pusat kota Saigon, Vietnam. Saksi-saksi yang ada pada peristiwa itu menuturkan, bahwa biksu Thich Quang Duc bersama beberapa biksu lainnya sampai ke lokasi dengan mengendarai sebuah mobil. Keluar dari mobil tersebut dan langsung mengambil posisi lotus tradisional di tengah jalanan yang ramai tersebut dan rekan-rekan sesama biksu membantu dia menyiramkan bensin ke sekujur tubuhnya sendiri.


Dia menyalakan api dengan korek api dan langsung membakar seluruh tubuhnya dalam beberapa menit. Dari awal api membakar tubuh Thich Quang Duc, sampai detik-detik terakhir, dia meninggal dengan tubuh yang hangus terbakar, dia sama sekali tidak bergerak. Dan tak ada suara apapun yang keluar dari mulut biksu tersebut, ketenangan yang diperlihatkan biksu Thich Quang Duc, sangat bertolak belakang dengan kegaduhan dan ratapan orang-orang yang melihat langsung disekitarnya.

Kejadian ini diabadikan oleh David Halberstam, seorang reporter New York Times kebetulan berada di dekat lokasi kejadian. David berada di Vietnam untuk meliput perang di negara tersebut, dan foto dbawah ini menjadi salah satu dari world famous pictures.

Tetapi sesungguhnya, biksu Thich Quang Duc melakukan hal yang dikenal dengan istilah The Self-Immolation (pengorbanan diri sendiri). Ritual ini adalah untuk menunjukkan sikap protes menuntut kesamaan hak bagi para penganut ajaran Buddha.

Sebelumnya para biksu di Vietnam sering melakukan protes atas tindakan kaum-kaum mayoritas yang menghambat mereka dan juga segala usaha pembantaian yang dilakukan pihak-pihak tertentu terhadap para penganut ajaran Buddha.

Mereka juga menuntut keadilan ditegakkan atas pihak-pihak yang bertanggung jawab melakukan kejahatan kemanusiaan. Namun semua bentuk protes para biksu ini tidak memperoleh tanggapan dari rezim Deim, sehingga puncaknya, biksu Thich Quang Duc melakukan aksi pengorbanan dirinya sendiri.


Saat melakukan aksi ini dia sama sekali tidak menunjukkan rasa sakit atau bergerak sedikitpun. Setelah api padam tubuhnya dikremasi lagi dan anehnya jantungnya tetap utuh setelah dikremasi.




jantungnya..



Sebuah potret dari meditasi yang sempurna, setidaknya terhadap penguasaan atas rasa sakit pada tubuh.



Videonya :





Minggu, 28 November 2010

Yogi Hidup Tanpa Makan dan Minum Kembali Diteliti

Yogi Hidup Tanpa Makan dan Minum Kembali Diteliti


Oleh: Stephanie Lam Jumat, 26 November 2010








Prahlad Jani saat duduk di tempat tidur rumah sakit Sterling di Ahmedabad, 22 November 2003. Pengujian ilmiah menunjukkan bahwa yoga telah mengubah tubuhnya. (STR/AFP/Getty Images)



























Seorang yogi (penganut Yoga) 82 tahun, Prahlad Jani, yang mengaku tidak makan dan minum selama 70 tahun sedang diuji kedua kalinya oleh sejumlah ilmuwan. Ilmuwan menemukan bahwa unsur biologi tubuhnya memang sangat luar biasa.

Jani mengatakan, dia meninggalkan rumahnya ketka masih berusia 7 tahun dan hidup sebagai biarawan pengembara, yang diberkati para dewa setahun kemudian.

Dia mengatakan terdapat lubang pada langit-langit mulutnya. Dari lubang itu keluar tetesan nektar yang memberikan dia nutrisi untuk bertahan hidup, tanpa harus mengkonsumsi makanan maupun air.

"Jika pernyataan ini benar, akan menjadi terobosan baru dalam ilmu kedokteran," ujar Dr. G. Ilavazhagan dari India's Defense Institute of Physiology and Allied Sciences dalam sebuah konferensi pers.

"Hal ini memungkinkan membantu dalam pengaturan strategi untuk mempertahankan hidup tanpa makan dan minum, jika tidak tersedia. Misalnya dalam bencana alam, orang-orang akan menghadapi situasi seperti ini. Demikian pula, tentara kita juga dapat menghadapi situasi ini ketika mereka terdampar di gurun, di hutan belantara maupun di wilayah-wilayah ketinggian," sambungnya.

Pada 2003, Jani telah diteliti selama 10 hari di rumah sakit Sterling di Ahmedabad, India. Dia tidak mandi dan hanya diberikan 100 mililiter air setiap hari sebagai obat kumur, yang penggunaannya dikumpulkan dan diukur untuk memastikan bahwa dia tidak minum air tersebut.

Dokter tidak menemukan penurunan kesehatan, meskipun berat badannya sedikit berkurang. Ditemukan bahwa urine terbentuk di kantung kemih, namun diserap kembali.

Pada 22 April, Jani telah kembali ke Rumah Sakit Sterling, untuk diteliti lebih lanjut oleh 35 ilmuwan India. Dua video memonitor segala gerak-geriknya di kamar, sementara sebagian lagi mengawasi saat dia keluar dari ruangan tersebut.

Uji coba ini memakan waktu antara 15-20 hari dan melibatkan Magnetik Resonance Imaging (MRI) scan, tes darah, serta aktivitas otak dan jantung.

Pada 28 April para dokter belum menemukan efek negatif dalam tubuhnya akibat kurang makan maupun dehidrasi. Ditemukan bahwa berlatih yoga telah menyebabkan tubuh Jani mengalami perubahan biologi dan otaknya berada dalam keadaan setara dengan seorang yang berusia 25 tahun.

Dr. Sudhir Shah, seorang neurophysician yang telibat dalam riset ini menyebutkan hal ini sebagai suatu 'keajaiban ilmu pengetahuan'.

"Seseorang dapat hidup tanpa makan dan minum selama tiga, empat hingga dua belas hari. Dan kami telah mempelajari orang yang berpuasa antara 16 hingga 30 hari di masa lalu, mereka harus mengkonsumsi air setelah hari ke delapan. Tentu saja mereka buang air kecil-namun ini juga termasuk fenomena unik," ujarnya.

Tanpa air, kebanyakan orang tidak dapat bertahan lebih dari empat hari, bahkan dengan air sekalipun, kebanyakan orang tidak dapat bertahan hidup tanpa makanan hingga 50 hari. Aksi mogok makan terlama diketahui telah dilakukan oleh Terence MacSwiney, wali kota Cork, Irlandia, selama perang kemerdekaan Irlandia. Dia melakukan mogok makan saat ditahan oleh Inggris dan meninggal setelah 74 hari. (EpochTimes/sua)


Sumber :

http://erabaru.net/top-news/40-news5/20295-bertahan-hidup-tanpa-makan-dan-minum-

Jumat, 26 November 2010

SÊRAT WEDATAMA (1)

Sêrat Wedatama

Yasan Dalêm

(Karya Paduka):

Kangjêng Gusti Pangeran Arya Adipati

Mangkunegara IV

Kawangun saha kababar mawi basa Indonesia dening :

(Diterjemahkan dan diulas ke dalam bahasa Indonesia oleh: )

Damar Shashangka

2010

Pupuh I

Pangkur


1. Mingkar-mingkuring ukara, akarana karênan mardi siwi, sinawung rêsmining kidung, sinuba sinukarta, mrih krêtarta pakartining ilmu luhung, kang tumrap ing tanah Jawa, agama agêming aji.

Bertumpang tindihnya susunan kata-kata, hanya demi untuk mendidik para putra, disusun dalam bentuk syair Jawa, dibuat sedemikian indahnya, agar supaya tertata kembali ajaran-ajaran luhur, sesungguhnya bagi manusia ditanah Jawa, agama hanya sekedar busana berharga belaka.

2. Jinejer ing Wedatama, mrih tan kêmba kêmbênganing pambudi, mangka nadyan tuwa pikun, yen tan mikani rasa, yêkti sêpi sêpa lir sêpah asamun, samasane pakumpulan, gonyak-ganyuk nglêlingsêmi.

Berjajar (susunan kalimat tadi didalam) Wedatama, (berguna supaya) mengencangkan dan menajamkan kesadaran, walaupun sudah tua usia seseorang, manakala tidak pernah meniti kedalam diri (olah rasa), pastilah sunyi sepi kosong penuh sampah (kesadarannya), ketika tengah dalam sarasehan (ilmu rasa), senantiasa salah tingkah memalukan.

3. Nggugu karsane priyangga, nora nganggo pêparah lamun angling, lumuh ingaran balilu, ugêr guru alêman, nanging janma ingkang wus waspadeng sêmu, sinamun ing samudana, sasandon ing adu manis .

Sangat besar ke-aku-annya, tiada kira-kira kalau bicara, tidak mau disebut bodoh, suka sekali dipuji, berbeda dengan manusia yang sudah awas dengan kesadarannya, waspada pada segala perlambang kehidupan, akan terus berusaha agar senantiasa bersikap patut dan manis.

4. Si pêngung nora nglêgewa, sangsayarda denira cacariwis, ngandhar-andhar angêndukur, kandhane nora kaprah, saya elok alangka longkangipun, si wasis waskitha ngalah, ngalingi marang sipingging.

Akan tetapi bagi si bodoh hal tersebut tak akan dipahami, semakin parah kecerewetannya, tinggi dan muluk kata-katanya, ucapannya tidak masuk akal, menggelikan dan sangat tidak pantas didengar, yang sadar akan mengalah, menghindar dari si bodoh.

5. Mangkono ilmu kang nyata, sanyatane mung we rêsêping ati,bungah ingaran cubluk, sukeng tyas yen den ina, nora kaya si punggung anggung gumunggung, ugungan sadina dina, aja mangkono wong urip.

Begitulah ilmu yang sesungguhnya, bagi yang memiliki akan mampu menyenangkan hati sesama, tidak sedih dibilang bodoh, bergembira dihina orang, tidak seperti si bodoh yang semakin sombong, angkuh setiap hari, janganlah begitu menjalani kehidupan ini.

6. Uripa sapisan rusak, nora mulur nalare ting saluwir, kadi ta guwa kang sirung, sinêrang ing maruta, gumarênggêng anggêrêng anggung gumrunggung, pindha padhane si mudha, prandene paksa kumaki.

Rusak sudah kehidupannya, tidak meningkat kesadarannya tercabik-cabik, bagaikan gua yang gelap, terhempas oleh angin, mengeluarkan suara menggeram ribut dan memekakkan telinga, seperti halnya si bodoh (mudha : bodoh), akan tetapi tetap saja angkuhnya menjadi-jadi.

7. Kikisane mung sapala, palayune ngêndêlkên yayah wibi, bangkit tur bangsaning luhur, lah iya ingkang rama, balik sira sarawungan bae durung, mring atining tata krama, nggon-anggon agama suci.

Wawasanya tak seberapa, keberaniannya hanya mengandalkan kedua orang tua, orang tua yang sudah mengenyam kesadaran dan luhur namanya, boleh jadi ramamu ini memang sudah sadar, akan tetapi sebaliknya dirimu belum banyak pengalaman, belum banyak mengenal tata krama, belum paham inti sari agama suci.

8. Socaning jiwangganira, jêr katara lamun pocapan pasthi, lumuh asor kudu unggul, sumêngah sêsongaran,yen mangkono kêna ingaran katungkul, karêm ing reh kaprawiran, nora enak iku kaki.

Dari mata jiwa ragamu, bisa dibaca dengan pasti, bahwa dirimu tidak mau terkalahkan dan harus unggul dalam segala hal, angkuh sombong tinggi hati, sungguh dirimu sudah bisa dikatakan telah kalah, tenggelam pada hal gagah-gagahan semata, sungguh tidak ada damai disana oh anakku.

9. Kêkêrane ngelmu karang, kakarangan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jasad, amung aneng sajabaning daging kulup, Yen kapengkok pancabaya, ubayane mbalenjani.

Ketahuilah sesunguhnya ilmu Karang (Ilmu Kesaktian) itu, segala ilmu yang berasal dari gaib, hanya sebatas boreh (bahan untuk luluran tubuh) semata, tidak meresap dalam jasad, hanya melindungi diluar kulit tubuh oh anakku, jikalau suatu ketika terhadang marabahaya, kebanyakan tidak ada daya khasiatnya.

10. Marma ing sabisa-bisa, babasane muriha tyas basuki, puruitaa kang patut, lan traping angganira, Ana uga anggêr ugêring kaprabun, abon aboning panêmbah, kang kambah ing siang ratri.

Oleh karenanya sebisa mungkin, raihlah hati bersih untuk mendatangkan keselamatan, bergurulah kepada orang yang benar, belajarlah etika, pahamilah tata cara menjadi seorang pengabdi, pelajarilah tata cara menyembah yang sesungguhnya, yang sangat berguna baik siang dan malam.

11. Iku kaki takokêna, marang para sarjana kang martapi, mring tapaking têpa tulus, kawawa nahen hawa, Wruhanira mungguh sanyataning ngêlmu, tan mêsthi neng janma wreda, tuwin muda sudra kaki.

Tanyakanlah itu semua, kepada para sarjana yang bertapa (bukan sarjana duniawi), yang bertapa meniti telapak ketulusan, yang mampu mengontrol diri, sungguh ilmu sejati itu, tidak bisa dipastikan ada pada orang tua, atau ada pada orang muda atau orang sudra, oh anakku.

12. Sapantuk wahyuning Allah, gya dumilah mangulah ngelmu bangkit, bangkit mikat reh mangukut, kukutaning Jiwangga, Yen mangkono kena sinêbut wong sêpuh, liring sêpuh sêpi hawa, awas roroning ngatunggil.

Siapapun yang telah mendapat wahyu Allah, bagaikan mutiara yang bangkit dengan kesadarannya, bangkit mengikat segala kekotoran bathin, mampu mengendalikan jiwa raga, merekalah yang sesungguhnya bisa disebut orang sepuh (tua), yang dimaksud dengan sepuh (tua) sepi hawa (sunyi dari hawa nafsu), dan sadar bahwa seluruhnya ini adalah Tunggal!

13. Tan samar pamoring Sukma, sinukmaya winahya ing ngasêpi, sinimpên têlênging kalbu, Pambukaning warana, tarlen saking liyêp layaping ngaluyup, pindha pêsating supena, sumusuping rasa jati.

Tiada tersamarkan oleh ulah Suksma (Badan halus), mampu merasakan kegaiban illahi dan kelembutan illahi dalam keheningan diri, yang tersimpan dalam inti kalbu (hati), itulah jalan terbukanya Warana (dinding penghalang/Maya/Hijab), dalam kondisi seperti tidur dan jaga, bagaikan kelebatan mimpi, disanalah terbukanya Rasa Jati (Kesadaran Atma).

14. Sajatine kang mangkono, wus kakênan nugrahaning Hyang Widdhi, bali alaming ngasuwung, tan karêm karamean, ingkang sipat wisesa winisesa wus, mulih mula mulanira, mulane wong anom sami.

Sungguh yang telah mengalami kondisi seperti itu, sudah mendapatkan anugerah Hyang Widdhi, kesadarannya kembali pada keheningan, sudah tak lagi terpikat keduniawian, menyatu antara Yang Maha Kuasa dengan dia yang selama ini dikuasai, telah pulang kembali ke asal semula, oleh karenanya bagi orang muda.

Kamis, 25 November 2010

10 Mata Uang Tertua di Indonesia


Negara indonesia (atau lebih saya sebut sebagai nusantara) terbilang sebagai salah satu kawasan yang mempunyai peradaban yang cukup tinggi dan maju, namun dalam urusan mata uang, indonesia masih terbilang muda dalam mengenal mata uang. tercatat negeri ini baru mempunyai uang resmi pada abad ke 8, itupun karena adanya pengaruh dari negara-negara tetangga yang saat itu sudah mempunyai mata uang sendiri (China dan India)

berikut ini, kami berikan daftar 10 mata uang tertua di Indonesia



1. Uang Syailendra (850 M)

Mata uang Indonesia dicetak pertama kali sekitar tahun 850/860 Masehi, yaitu pada masa kerajaan Mataram Syailendra yang berpusat di Jawa Tengah. Koin-koin tersebut dicetak dalam dua jenis bahan emas dan perak, mempunyai berat yang sama, dan mempunyai beberapa nominal :

* Masa (Ma), berat 2.40 gram; sama dengan 2 Atak atau 4 Kupang

* Atak, berat 1.20 gram; sama dengan ½ Masa, atau 2 Kupang
* Kupang (Ku), berat 0.60 gram; sama dengan ¼ Masa atau ½ Atak

Sebenarnya masih ada satuan yang lebih kecil lagi, yaitu ½ Kupang (0.30 gram) dan 1 Saga (0,119 gram).


Koin emas zaman Syailendra berbentuk kecil seperti kotak, dimana koin dengan satuan terbesar (Masa) berukuran 6 x 6/7 mm saja. Pada bagian depannya terdapat huruf Devanagari “Ta”. Di belakangnya terdapat incuse (lekukan ke dalam) yang dibagi dalam dua bagian, masing-masing terdapat semacam bulatan. Dalam bahasa numismatik, pola ini dinamakan “Sesame Seed”.

Sedangkan koin perak Masa mempunyai diameter antara 9-10 mm. Pada bagian muka dicetak huruf Devanagari “Ma” (singkatan dari Masa), dan di bagian belakangnya terdapat incuse dengan pola “Bunga Cendana”.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEik2G2q9OK_hyphenhyphenodT67CKQF2fZa6Yn3bQZi0rEj69zx3H0ke1EVG-k_Yn1GJonmisXNJ0nbwb6wdgngpDQjvhQXVz241u__EKSvwDdshhqJOqD142VXih_ZIrF25v53eq763RSo1VcAsp7nm/s400/syailendra.JPG




2. Uang Krishnala, Kerajaan Jenggala (1042-1130 M)


Pada zaman Daha dan Jenggala, uang-uang emas dan perak tetap dicetak dengan berat standar, walaupun mengalami proses perubahan bentuk dan desainnya. Koin emas yang semula berbentuk kotak berubah desain menjadi bundar, sedangkan koin peraknya mempunyai desain berbentuk cembung, dengan diameter antara 13-14 mm.

Pada waktu itu uang kepeng Cina datang begitu besar, sehingga saking banyaknya jumlah yang beredar, akhirnya dipakai secara “resmi” sebagai alat pembayaran, menggantikan secara total fungsi dari mata uang lokal emas dan perak.




https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhrHS3f8p8Q6OD3w-mUdfA1oGxUINwVDO7X4VrUK4SZN9t2sD5yB7whzMa2nKuUr4cPFuvi3ZnEons-NmGmeDtKtDxONzQf2CVrdIdpv_EgDaiI_Rbqwp9K-fkIRCc1lp46gUXU8WVk9eMD/s400/krisnala-blkg.jpg




3. Uang "Ma", (Abad ke-12)

Mata uang Jawa dari emas dan perak yang ditemukan kembali, termasuk di situs kota Majapahit, kebanyakan berupa uang “Ma”, (singkatan dari māsa) dalam huruf Nagari atau Siddham, kadang kala dalam huruf Jawa Kuno. Di samping itu beredar juga mata uang emas dan perak dengan satuan tahil, yang ditemukan kembali berupa uang emas dengan tulisan ta dalam huruf Nagari. Kedua jenis mata uang tersebut memiliki berat yang sama, yaitu antara 2,4 – 2,5 gram.

Selain itu masih ada beberapa mata uang emas dan perak berbentuk segiempat, ½ atau ¼ lingkaran, trapesium, segitiga, bahkan tak beraturan sama sekali. Uang ini terkesan dibuat apa adanya, berupa potongan-potongan logam kasar; yang dipentingkan di sini adalah sekedar cap yang menunjukkan benda itu dapat digunakan sebagai alat tukar. Tanda tera atau cap pada uang-uang tersebut berupa gambar sebuah jambangan dan tiga tangkai tumbuhan atau kuncup bunga (teratai?) dalam bidang lingkaran atau segiempat. Jika dikaitkan dengan kronik Cina dari zaman Dinasti Song (960 – 1279) yang memberitakan bahwa di Jawa orang menggunakan potongan-potongan emas dan perak sebagai mata uang, mungkin itulah yang dimaksud.




https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjg4-OtZcdvQE7mWXy0raSR8YgrPbaXCjYbrewXgWlI55OROy4ZUt66fyfOa5MaRcJ3Ibekjg8yKchEHa75-jE28oNHatn5UdRRtfPX9C4_1RPfwp7YSWgwCYOK3-xwtiP0FM82zb_67FTS/s400/uang-ma-1.JPG
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiVamnJwkRJ7H6gjJVHqUVc_RcLK99tjDjgppXgdZDvs4vN6Tv6_cEBjTG8AUxI1OuE9EB4rRrF3EqsDkusiH0FiX8dpkP1ht0nwpFnY1rz4Z_-OvhUzZhekBXmozEO5btyLDcGe0Sqeg1i/s400/uang-ma-2.JPG




4. Uang Gobog Wayang, Kerajaan Majapahit (Abad k-13)


pada zaman Majapahit ini dikenal koin-koin yang disebut “Gobog Wayang”, dimana untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh Thomas Raffles, dalam bukunya The History of Java. Bentuknya bulat dengan lubang tengah karena pengaruh dari koin cash dari Cina, ataupun koin-koin serupa yang berasal dari Cina atau Jepang. Koin gobog wayang adalah asli buatan lokal, namun tidak digunakan sebagai alat tukar. Sebenarnya koin-koin ini digunakan untuk persembahan di kuil-kuil seperti yang dilakukan di Cina ataupun di Jepang sehingga disebut sebagai koin-koin kuil. Setelah redup dan runtuhnya kerajaan Majapahit di Jawa Timur (1528), Banten di Jawa bagian barat muncul sebagai kota dagang yang semakin ramai.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjhMdmmdmkTnXk6Dj2-g6OwZIsYLpG36DWjOywts78R_VLNe6clDJKGtEeA1obDFzo5HFXFI_iiD0MnGzTrlBXyHuuqMJWzijsOffgBfhctVpqf3znnrH1sdBCx3Wu2JYcljDweswybyBSh/s400/majapahit.jpg




5. Uang Dirham, Kerajaan Samudra Pasai (1297 M)


Mata uang emas dari Kerajaan Samudra Pasai untuk pertama kalinya dicetak oleh Sultan Muhammad yang berkuasa sekitar 1297-1326. Mata uangnya disebut Dirham atau Mas, dan mempunyai standar berat 0,60 gram (berat standar Kupang). Namun ada juga koin-koin Dirham Pasai yang sangat kecil dengan berat hanya 0,30 gram (1/2 Kupang atau 3 Saga). Uang Mas Pasai mempunyai diameter 10–11 mm, sedangkan yang setengah Mas berdiameter 6 mm. Pada hampir semua koinnya ditulis nama Sultan dengan gelar “Malik az-Zahir” atau “Malik at-Tahir”.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhp7BvzR9nh5LFZzk5D01F0W4Vd35JQZowJ1OQw5Nt5VDPbvNabw25t-jaKylJINDIJ4iJgCrj-OZO8KKwJud_Vf7uETOFH0omRfMGZcGirqB9JrpgHjbdqFsSgTEVhb-RzmfCVngWVQXwh/s400/matauangsultanmoeminsamudrapasaixxxx1455+%28JAMAN+SULTAN+MOEMIN+%28SAMOEDRA+PASAI%29+1455%29.jpg




6. Uang Kampua, Kerajaan Buton (Abad ke-14)


Uang yang sangat unik,yang dinamakan Kampua dengan bahan kain tenun ini merupakan satu-satunya yang pernah beredar di Indonesia. Menurut cerita rakyat Buton, Kampua pertamakali diperkenalkan oleh Bulawambona,yaitu Ratu kerajaan Buton yang kedua,yang memerintaha sekitar abad XIV. Setelah ratu meninggal,lalu diadakan suatu “pasar” sebagai tanda peringatan atas jasa-jasanya bagi kerajaan Buton. Pada pasar tersebut orang yang berjualan engambil tempat dengan mengelilingi makam Ratu Bulawambona. Setelah selesai berjualan,para pedagang memberikan suatu upetiyang ditaruh diatas makam tersebut,yang nantinya akan masuk ke kas kerajaan. Cara berjualan ini akhirnya menjadi suatu tradisi bagi masyarakat Buton,bahkan sampai dengan tahun 1940.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgoYq1sWuptzPUDVgOm6VAx3HRL0VFRT_TebPrKf-aGXlzdFBGFOCl-QjiZSEkp5hzXjv7ZvP8caeax4OofsABAM6AIGDCZMVitPgLOE1LgeO2WHHrcoDqQFBdoDTVsmdTdfy3IWhL3yMK3/s400/uang+kampua.jpg




7. Uang Kasha Banten, Kesultanan Banten (Abad ke-15)


Mata-uang dari Kesultanan banten pertama kali dibuat sekitar 1550-1596 Masehi. Bentuk koin Banten mengambil pola dari koin cash Cina yaitu dengan lubang di tengah, dengan ciri khasnya 6 segi pada lubang tengahnya (heksagonal). Inskripsi pada bagian muka pada mulanya dalam bahasa Jawa: “Pangeran Ratu”. Namun setelah mengakarnya agama Islam di Banten, inskripsi diganti dalam bahasa Arab, “Pangeran Ratu Ing Banten”. Terdapat beberapa jenis mata-uang lainnya yang dicetak oleh Sultan-sultan Banten, baik dari tembaga ataupun dari timah, seperti yang ditemukan pada akhir-akhir ini.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhBgR4viAz0aI7wCXaoOcZTQGI_AaFWAQCpQLNTGdGaAVXNmT_u7WYC3IhyphenhyphenZqQBETMn1U7egQLRUIvRNkNnO_dWpWupdXGwrHwTcQxRj29kXPH4kfIuDOSL6Hjc7B9c8baDto_8azT53b9w/s400/uang+banten.jpg




8. Uang Jinggara, Kerajaan Gowa (Abad ke-16)


Di daerah Sulawesi, yaitu Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara, berdiri kerajaan Gowa dan Buton. Kerajaan Gowa pernah mengedarkan mata uang dan emas yang disebut jingara, salah satunya dikeluarkan atas nama Sultan Hasanuddin, raja Gowa yang memerintah dalam tahun 1653-1669. Di samping itu beredar juga uang dan bahan campuran timah dan tembaga, disebut kupa.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgUMR-3mDwSuz0kTp8YJsN1qtzEV6oqMcIGH7lDppkrjKaf4isyLhZ-_9M8cUfXLpQ9zmLfjJU8BRSagp43Vd8mL2lXGNlszvvJBHq9u2FVFMVuIsNnGj7Cgk4VGYI0bwnqrDvkbksb8zJW/s400/uang+jinggara.JPG



9. Uang Picis, Kesultanan Cirebon (1710 M)


Sultan yang memerintah kerajaan Cirebon pernah mengedarkan mata uang yang pembuatannya dipercayakan kepada seorang Cina. Uang timah yang amat tipis dan mudah pecah ini berlubang segi empat atau bundar di tengahnya, disebut picis, dibuat sekitar abad ke-17. Sekeliling lubang ada tulisan Cina atau tulisan berhuruf Latin berbunyi CHERIBON.



https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg0T4e0vXTrFvhWGXOg3f1NP9Bs7GYTnApYjQ6EQUp8urFV_rgzMS-E3aoPR8sBrgOfizzjZ2wkIGJof6yPwl9UUsTMj2s9Kth33GJ1ApWI_OfhsQz6xjYi-JpXCqlhvvWCb7PFBagYp18C/s400/uang+picis+Cirebon.JPG



10. Uang Real Batu, Kesultanan Sumenep (1730 M)


Kerajaan Sumenep di Madura mengedarkan mata uang yang berasal dari uang-uang asing yang kemudian diberi cap bertulisan Arab berbunyi ‘sumanap’ sebagai tanda pengesahan. Uang kerajaan Sumenep yang berasal dari uang Spanyol disebut juga real batu karena bentuknya yang tidak beraturan. Dulunya uang perak ini banyak beredar di Mexico yang kemudian beredar juga di Filipina (jajahan Spanyol). Di negeri asalnya uang mi bernilai 8 Reales. Selain uang real Mexico, kerajaan Sumenep juga memanfaatkan uang gulden Belanda dan uang thaler Austria.



Senin, 15 November 2010

SERAT DARMAGANDHUL (16-Tamat)

Sêrat Darmagandhul


Carita adêge Nagara Islam ing Dêmak bêdhahe Nagara Majapahit kang salugune wiwite wong Jawa ninggal agama Buda banjur salin agama Islam.

(Cerita berdirinya Negara Islam di Demak, hancurnya Negara Majapahit, dimana saat itulah awal mula masyarakat Jawa meninggalkan agama Buda [Shiwa Buda] dan berganti memeluk agama Islam.)

Gancaran basa Jawa ngoko.

(Prosa dalam bahasa Jawa kasar)

Babon asli tinggalane K.R.T. Tandhanagara, Surakarta.

(Diambil dari catatan induk asli peninggalan K.R.T. Tandhanagara, Surakarta.)

Kasalin lan kababar ing basa Indonesia dening :

( Diterjemahkan dan diulas kedalam bahasa Indonesia oleh: )

Damar Shashangka

2010






XVI


K

i Darmagandhul matur lan nyuwun ditêrangake bab anane wong ing jaman kuna karo wong ing jaman saiki, iku satêmêne pintêr kang êndi, amarga wong akeh panêmune warna-warna tumrape bab iku.

Pangandikane kiyai Kalamwadi: “Wong kuna lan wong saiki, iku satêmêne iya padha pintêre, mung bae tumrape wong ing jaman kuna, akeh kang durung bisa mujudake kapintêrane, mula katone banjur kaya dene ora pintêr. Ana dene wong ing jaman saiki ênggone katon luwih pintêr iku amarga bisa mujudake kapintêrane. Wong ing jaman kuna kapintêrane iya wis akeh, dene kang mujudake iya iku wong ing jaman saiki. Saupama ora ana kapintêrane wong ing jaman kuna, mêsthi bae tumrape wong ing jaman saiki ora ana kang kanggo têtuladhan, amarga kahanan saiki iya akeh kang nganggo kupiya kahanan ing jaman kuna. Wong ing jaman saiki ngowahi kahanan kang wis ana, êndi kang kurang bêcik banjur dibêcikake. Wong ing jaman saiki ora ana kang bisa nganggit sastra, yen manusa iku rumasa pintêr, iku têgêse ora rumasa yen kawula, mangka uripe manusa mung sadarma nglakoni, mung sadarma nganggo raga, dene mobah mosik, wis ana kang murba. Yen kowe arêp wêruh wong kang pintêr têmênan, dununge ana wong wadon kang nutu sabên dina, tampahe diiseni gabah banjur diubêngake sadhela, gabah kang ana kabur kabeh, sawise, banjur dadi beda-beda, awujud bêras mênir sarta gabah, nuli mung kari ngupuki bae, sabanjure dipilah-pilah. Têgêse: bêras yen arêp diolah kudu dirêsiki dhisik, miturut kaya karêpe kang arêp olah-olah. Yen kowe bisa mangreh marang manusa, kaya dene wong wadon kang nutu mau, ênggone nyilah-nyilahake bêras aneng tampah, kowe pancen wong linuwih, nanging kang mangkono mau dudu kawadjibanmu, awit iku dadi kawajibane para Raja, kang misesa marang kawulane. Dene kowe, mung wajib mangrêti tataning praja supaya uripmu aja kongsi dikul dening sapadhaning manusa, uripmu dadi bisa slamêt, kowe bakal dadi têtuwa, kêna kanggo pitakonan tumraping para mudha bab pratikêle wong ngawula ing praja. Mula wêlingku marang kowe, kowe aja pisan- pisan ngaku pintêr, amarga kang mangkono mau dudu wajibing manusa, yen ngrumasani pintêr, mundhak kêsiku marang Kang Maha Kuwasa, kaelokane Gusti Allah, ora kêna ginayuh ing manusa, ngrumasanana yen wong urip iku mung sadarma, ana wong pintêr isih kalah pintêr karo wong pintêr liyane, utawa uga ana wong pintêr bisa kasoran karo wong kompra, bodho pintêring manusa iku saka karsane Kang Maha Kuwasa, manusa anduweni apa, bisane apa, mung digadhuhi sadhela dening Kang Maha Kuwasa, yen wis dipundhut, kabeh mau bisa ilang sanalika, saka kalangkungane Gusti Allah, yen kabeh mau kapundhut banjur diparingake marang wong kompra, wong kompra banjur duwe kaluwihan kang ngungkuli kaluwihane wong pintêr. Mula wêlingku marang kowe, ngupayaa kawruh kang nyata, iya iku kawruh kang gandheng karo kamuksan”.

Ki Darmagandhul banjur matur maneh, nyuwun têrange bab tilase kraton Kêdhiri, iya iku kratone Sang Prabu Jayabaya. Kiyai Kalamwadi ngandika: “Sang Prabu Jayabaya ora jumênêng ana ing Kêdhiri, dene kratone ana ing Daha, kaprênah sawetane kali Brantas. Dene yen Kêdhiri prênahe ana sakuloning kali Brantas lan sawetaning gunung Wilis, ana ing desa Klotok, ing kono iku ana bata putih, iya iku patilasane Sri Pujaningrat. Dene yen patilasane Sri Jayabaya ika ana ing daha, saikine jênênge desa Mênang, patilasane kadhaton wis ora katon, amarga kurugan ing lêmah lahar saka gunung Kêlut, patilasan-patilasan mau wis ilang kabeh, pasanggrahan Wanacatur lan taman Bagendhawati uga wis sirna, dene pasanggrahan Sabda, kadhatone Ratu Pagêdhongan uga wis sirna. Kang isih mung rêca yasane Sri Jayabaya, iya iku candhi Prudhung, Têgalwangi, prênahe ing sa-lor-wetane desa Mênang, lan rêca buta wadon, iya iku rêca kang diputung tangane dening Sunan Benang nalika lêlana mênyang Kêdhiri, rêca mau lungguhe madhêp mangulon, ana maneh rêca jaran awak siji êndhase loro, panggonane ana ing desa Bogêm, wêwêngkon dhistrik Sukarêja, mula Sri Jayabaya yasa rêca, mangkene caritane, (kaya kang kapratelakake ing ngisor ini)”.

Ing Lodhaya ana buta wadon ngunggah-unggahi Sang Prabu Jayabaya, nanging durung nganti katur ing ngarsa Prabu, buta wadon wis dirampog dening wadya cilik-cilik, buta wadon banjur ambruk, nanging durung mati, barêng ditakoni, lagi waleh yen sumêdya ngunggah-unggahi Sang Prabu. Sang Prabu banjur mriksani putri buta mau, barêng didangu iya matur kang dadi sêdyane. Sang Prabu banjur paring pangandika mangkene: “Buta! andadekna sumurupmu, karsaning Dewa Kang Linuwih, aku iku dudu jodhomu, kowe dak-tuturi, besuk sapungkurku, kulon kene bakal ana Ratu, nagarane ing Prambanan, iku kang pinasthi dadi jodhomu, nanging kowe aja wujud mangkono, wujuda manusa, aran Rara Jonggrang”.

Sawise dipangandikani mangkono, putri buta banjur mati. Sang Prabu banjur paring pangandika marang para wadya, supaya desa ing ngêndi papan matine putri buta mau dijênêngake desa Gumuruh. Ora antara suwe Sri Jayabaya banjur jasa rêca ana ing desa Bogêm. Rêca mau wujud jaran lagaran awak siji êndhase loro, kiwa têngên dilareni. Patihe Sang Prabu kang aran Buta Locaya sarta Senapatine kang aran Tunggulwulung padha matur marang sang Prabu, kang surasane nyuwun mitêrang kang dadi karsa-Nata, ênggone Sang Prabu yasa rêca mangkono mau, apa mungguh kang dadi karsane. Sang Prabu banjur paring pangandika, yen ênggone yasa rêca kang mangkono itu prêlu kanggo pasêmon ing besuk, sapa kang wêruh marang wujude rêca iku mêsthi banjur padha mangrêti kang dadi tekade wong wadon ing jaman besuk, yen wis jaman Nusa Srênggi. Bogêm têgêse wadhah bangsa rêtna-rêtna kang adi, têgêse wanita iku bangsa wadhah kang winadi. Laren kang ngubêngi jaran têgêse iya sêngkêran. Dene jaran sêngkêran iya iku ngibaratake wong wadon kang disêngkêr. Sirah loro iku dadi pasêmone wong wadon ing jaman besuk, kang akeh padha mangro tingal, sanadyan ora kurang ing panjagane, iya bisa cidra, lagaran, iku têgêse tunggangan kang tanpa piranti. Ing jaman besuk, kang kêlumrah wong arêp laki-rabi, ora nganggo idine wong tuwane, margane saka lagaran dhisik, yen wis mathuk pikire, iya sida diêpek rabi, nanging yen ora cocog, iya ora sida laki-rabi.

Sang Prabu ênggone yasa candhi, prêlu kanggo nyêdhiyani yen ana wadyabala kang mati banjur diobong ana ing kono, supaya bisa sirna mulih marang alam sêpi. Yen pinuju ngobong mayit, Sang Prabu uga karsa rawuh ngurmati.

Kang mangkono iku wis dadi adate para raja ing jaman kuna. Mula kang dadi panyuwunku marang Dewa, muga Sang Prabu karsa yasa candhi kanggo pangobongan mayit, kaya adate Raja ing jaman kuna, amarga aku iki anak dhalang, aja suwe-suwe kaya mêmêdi, duwe rupa tanpa nyawa, bisaa mulih marang asale.

Samuksane Sang Prabu Jayabaya, Patih Buta Locaya sarta Senapati Tunggulwulung, apa dene putrane Sang Prabu kang kêkasih Ni Mas Ratu Pagêdhongan, kabeh banjur padha andherek muksa.

Buta Locaya banjur dadi ratuning dhêdhêmit ing Kêdhiri. Tunggulwulung ana ing gunung Kêlut, dene Ni Mas Ratu Pagêdhongan banjur dadi ratuning dhêdhêmit ana ing sagara kidul, asmane ratu Anginangin.

Ana kêkasihe Sang Prabu Jayabaya, jênênge Kramatruna, nalika Sri Jayabaya durung muksa, Kramatruna didhawuhi ana ing sêndhang Kalasan. Sawise têlung atus taun, putrane Ratu ing Prambanan, kêkasih Lêmbumardadu iya Sang Pujaningrat, jumênêng Nata ana ing Kêdhiri, kadhatone ana sakuloning bangawan, kêdhi têgêse wong wadon kang ora anggarap sari, dene dhiri iku têgêse anggêp, kang paring jênêng iku Rêtna Dewi Kilisuci, dicocogake karo adate Sang Rêtna piyambak, amarga Sang Rêtna Dewi Kilisuci iku wadat, sarta ora anggarap sari. Dewi Kilisuci nyawabi nagarane, aja akeh gêtihe wong kang mêtu. Mula Kêdhiri iku diarani nagara wadon, yen nglurug pêrang akeh mênange, nanging yen dilurugi apês. Kang kêlumrah pambêkane wanita ing Kêdhiri iku gêdhe atine, amarga kasawaban pambêkane Sang Rêtna Dewi Kilisuci. Dene Rêtna Dewi Kilisuci iku sadhereke sêpuh Nata ing Jênggala. Sang Rêtna mau tapa ana ing guwa Selamangleng, sukune gunung Wilis.

WUWUHAN KATÊRANGAN

Kanjeng Susuhunan Ampeldênta pêputra ratu Patimah, patutan saka Nyai Agêng Bela. Ratu Patimah krama oleh pangeran Ibrahim, ing Karang Kumuning Satilare Pangeran Karang Kumuning. Ratu Patimah banjur tapa ana ing manyura, karo Pangeran Ibrahim Ratu Patimah pêputra putri nama Nyai Agêng Malaka, katêmokake Raden Patah.

Raden Patah (Raden Praba), putrane Prabu Brawijaya patutan saka putri Cêmpa kang katarimakake marang Arya Damar Adipati ing Palembang, barêng Raden Patah wis jumênêng Nata, jêjuluk Sultan Syah ‘Alam Akbar Siru’llah Kalifatu’lRasul Amiri’lMu’minin Rajudi’l’Abdu’l Hamid Kak, iya Sultan Adi Surya ‘Alam ing Bintara (Dêmak).

Putri Cêmpa nama Anarawanti (Ratu Êmas) kagarwa Prabu Brawijaya, pêputra têlu:

1. Putri nama Rêtna Pambayun, katrimakake marang Adipati Andayaningrat ing Pêngging, nalika jaman pambalelane nagara Bali marang Majapahit.

2. Raden Arya Lêmbupêtêng Adipati ing Madura.

3. Isih timur rêmên marang laku tapa, nama Raden Gugur, barêng muksa kasêbut nama Sunan Lawu.

Panênggak Putri Cêmpa nama Pismanhawanti kagarwa putrane Jumadi’l Kubra I, patutan saka ibu Sitti Patimah Kamarumi, isih têdhake Kangjêng Nabi Mukammad, asma Maulana Ibrahim, dêdalêm ana ing Jeddah, banjur pindhah ing Cêmpa, dadi Imam ana ing Asmara tanah ing Cêmpa, banjur kasêbut nama Maulana Ibrahim Asmara, iku kang pêputra Susuhunan Ampeldênta Surabaya. Dene putra Cêmpa kang waruju kakung, nama Awastidab, wus manjing Islam, nyakabat marang maulana Ibrahim, jumênêng Raja Pandhita ing Cêmpa anggênteni ingkang rama, pêputra siji kakung kêkasih Raden Rachmat. Kang ibu putri Cêmpa (garwa Maulana Ibrahim), pêputra Sayid ‘Ali Rachmat, ngêjawa nama Susuhunan Katib ing Surabaya, dêdalêm ing Ampeldênta, kasêbut Susuhunan Ampeldênta. Cêmpa iku kutha karajan ing India buri Sayid Kramat kang kasêbut ing buku iki pêparabe Susuhunan ing Bonang (Sunan Benang).

TAMAT

Terjemahan dalam bahasa Indonesia

K

i Darmagandhul lantas memohon agar diterangkan perbandingan kecerdasan orang dulu dengan sekarang, mana diantara kedua generasi yang pintar, banyak orang memiliki pendapat yang bermacam-macam tentang hal itu.

Kyai Kalamwadi menjawab : “Orang dulu dengan orang sekarang sama-sama cerdasnya. Hanya saja orang jaman dulu kurang bisa mewujudkan kepintaran mereka, sehingga terlihat seolah bodoh. Sedangkan orang jaman sekarang, telah mampu mewujudkan kepintaran mereka sehingga terlihatlah mereka pintar. Kepintaran orang sekarang merupakan limpahan dari kepintaran orang dimasa lalu. Jika orang dulu tidak ada yang pintar, tentunya tidak ada yang bisa dibuat suri tauladan oleh orang jaman sekarang. Orang sekarang masih banyak mencontoh kebijakan masa lalu. Orang yang hidup sekarang juga memberikan sentuhan perubahan, apa yang kurang baik dijadikan lebih baik lagi. Orang jaman sekarang, tidak terbiasa mengemas kebijakan mereka dalam wujud sastra/simbolik. Tapi sesungguhnya, manusia tidaklah layak merasa pintar, karena dia hanya sekedar hamba. Hanya sekedar menjalani. Hanya sekedar memakai jasad fisik. Gerak manusia sesungguhnya sudah ada yang melakukannya. Namun jikalau kamu ingin tahu bagaimanakah manusia yang benar-benar pintar, hal itu sisimbolkan pada sosok wanita yang tiap hari memilah padi (nutu). Tampah (wadhah terbuat dari anyaman rotan) diisi beras hasil ditumbuk. Lantas diputar sejenak. Kulit padi akan beterbangan semua. Sehingga terpisahlah mana beras dan mana kulitnya. Lantas tinggal diambil untuk dipilah-pilah kembali. Singkatnya, beras sebelum diolah untuk dimasak menurut selera harus dibersihkan dulu. Begitulah kesadaran manusia hidup, harus mencontoh wanita tengah memilah padi diatas tampah. Jika kamu bisa berlaku demikian, kamu manusia unggul. Akan tetapi sesungguhnya, tanggung jawab yang sedemikian itu ada pada seorang Raja, yang menguasai seluruh hamba-hambanya. Sedangkan dirimu harus mentaati peraturan negara agar hidupmu tidak diasingkan sesama dan selamat. Dirimu akan menjadi sontoh bagi mereka yang ingin setia pada negara. Oleh karenanya pesanku, jangan sekali-kali dirimu mengaku pintar, itu bukan kewajiban manusia. Jika merasa pintar akan mendapat murka dari Yang Maha Kuasa. Kuasa Gusti Allah tidak bisa digapai oleh manusia. Sadarilah manusia hidup itu hanya sekedar menjalani semata. Jika ada orang pintar, pasti akan ada yang lebih pintar lagi. Bahkan ada manusia pintar kalah dengan orang bodoh. Bodoh maupun pintarnya manusia itu atas kehendak Yang Maha Kuasa. Apapun yang dimiliki manusia, apapun kebisaan manusia, semua hanya diberi pinjaman oleh Yang Maha Kuasa. Jika sudah diambil, semua bakal musna seketika. Karena kuasa Gusti Allah, bisa saja hal yang telah diambil tersebut di berikan kepada manusia bodoh, sehingga manusia bodoh bisa mengalahkan manusia pintar. Oleh karenanya pesanku lagi, carilah pengetahuan nyata, yaitu pengetahuan yang behubungan dengan moksha.”

Ki Darmagandhul lantas bertanya lagi, memohon agar dijelaskan tentang petilasan keraton Kedhiri, yaitu keraton Prabhu Jayabaya. Kyai Kalamwadi menjawab, “Sang Prabhu Jayabaya tidak berdiam di Kedhiri (sekarang), namun berdiam di Daha, terletak disebelah timur sungai Brantas. Sedangkan kota Kedhiri terletak di barat sungai Brantas dan disebelah timur gunung Wilis. Di Desa Klotok, disana terdapat batu bata putih, itulah tempat petilasan Sang Pujaningrat. Sedangkan keraton beliau terletak di Daha, sekarang disebut dengan nama Desa Menang. Peninggalan keraton sudah tidak didapati lagi karena terurug oleh pasir akibat muntahan lahar gunung Kelud. Semua bekas istana dan semua petilasan tersebut sudah hilang. Pesangggrahan Wanacatur dan Taman Bagendhawati juga sudah sirna. Begitu juga pasanggrahan Sabda kadhaton milik Ratu Pagêdhongan juga sudah sirna. Yang tertinggal hanya arca buatan Prabhu Jayabaya yang ada di candi Prudhung, Tegalwangi yang terletak disebelah timur laut dari Menang, serta arca Raksasa perempuan yang diputus tangannya oleh Sunan Benang saat masuk ke wilayah Kedhiri. Arca tadi duduk menghadap ke barat. Ada lagi arca kuda berkepala dua, terletak disesa Bogem, wilayah distrik Sukareja (Sukorejo).

Di daerah Lodhaya (Lodaya) ada seorang Raksasa wanita yang hendak ngunggah-unggahi (melamar) Sang Prabhu Jayabhaya. Akan tetapi belum sempat bertemu dengan Sang Prabhu, Raksasa wanita tadi dikeroyok oleh para prajurid. Sang Raksasa jatuh terkapar, tapi belum meninggal dunia, begitu ditanya, dia menjawab bahwa hendak melamar Sang Prabhu Jayabhaya. Sang Prabhu lantas menanyakan hal itu kepada Sang Raksasa, Sang Prabhu mendapatkan jawaban serupa. Sang Prabhu lantas berkata : Wahai Raksasa! Sepeninggalku kelak, disebelah barat dari daerah ini akan ada seorang Raja, letak istananya ada di Prambanan. Dialah nanti yang bakal jadi jodohmu. Akan tetapi janganlah kamu berwujud seperti itu, berwujudlah (ber-inkarnasi-lah menjadi) manusia, bergantilah nama Rara Jonggrang.”

Setelah diberitahu akan hal itu, sang Raksasa lantas meninggal dunia. Sang Prabhu lantas memerintahkan kepada para abdi dalem, agar supaya tempat dimana meninggalnya putri Raksasa tadi diberi nama Desa Gumuruh. Tidak begitu lama kemudian Sang Prabhu Jayabhaya lantas memerintahkan membuat arca didesa Bogem. Arca tadi berwujud kuda utuh dengan dua kepala. Kiri kanannya diberikan batas. Patih sang Prabhu yang bernama Buta Locaya serta Senapati yang bernama Tunggulwulung bersamaan menghaturkan pertanyaan apa yang menjadi alasan Sang Prabhu menyuruh membuat arca yang sedemikian itu. Sang Prabhu lantas menjawab, latar belakang beliau membuat arca sedemikian itu hanya untuk perlambang kejadian yang akan terjadi nanti, siapa saja yang melihat perwujudan arca tadi akan paham akan kelakuan wanita jaman nanti, jika sudah tiba masa jaman Nusa Srenggi. Bogem artinya tempat perhiasan indah, arti simboliknya bahwa wanita itu tempat menyimpan barang-barang rahasia. Laren (Batasan) yang mengelilingi arca kuda maksudnya juga larangan. Kuda yang dijaga berarti ibarat wanita yang dilindungi. Berkepala dua adalah perlambang jika wanita Jawa kelak kebanyakan tidak setia, walaupun tidak kurang-kurang dalam menjaganya, tetap saja bisa ingkar janji, Lagaran maksudnya adalah tempat tunggangan yang tanpa piranti apapun. Pada jaman nanti kebanyakan manusia hendak menikah tidak lagi meminta restu kedua orang tua, sebab sudah melakukan ‘lagaran’ dahulu, jika cocok ya jadi untuk menikah, tapi jika tidak cocok, maka urunglah dinikahi.

Sang Prabhu juga membangun candi, sebagai tempat bagi masyarakat yang meninggal dan jenasahnya dibakar disana, agar bisa kembali sempurna pulang ke alam sunyi. Kerak kali, sat upacara pembakaran mayat, Sang Prabhu berkenan hadir untuk memberikan penghormatannya.

Itulah adat kebiasaan para Raja dijaman dulu. Oleh karenanya aku memohon kepada Dewa (Tuhan), semoga Sang Prabhu (Raja sekarang) juga bersedia membangun candi untuk membakar mayat, sebagaimana adat para Raja jaman dulu, sebab diriku ini putra dhalang, jangan sampai lama-lama menjadi roh penasaran, jangan lama-lama jasadku berwujud utuh tanpa nyaea, aku berharap agar secepatnya bisa kembali ke asalnya. (Disini jelas, guru Darmagandhul, penulis buku ini seorang beragama Syiwa Buddha/Buda : Damar Shashangka).

Setelah Sang Prabhu Jayabhaya moksha, diikuti kemudian oleh Patih Buta Locaya dan Senapati Tunggulwulung, begitu juga putri Sang Prabhu Ni Mas Pagedhongan, semua ikut moksha. (Sang Prabhu Jayabhaya benar-benar moksha, artinya menyatu kembali dengan Brahman, sedangkan ketiga tokoh yang lain hanya sekedar berpindah alam : Damar Shashangka)

Buta Locaya lantas menjadi Raja Makhluk Halus di Kedhiri. Tunggulwulung menjadi Raja Makhluk halus di Gunung Kelud sedangkan Ni Mas Ratu Pagedhongan lantas menjadi Raja Makhluk halus di Laut Selatan, bergelar Ratu Anginangin.

Ada pula orang yang disayangi oleh Sang Prabhu Jayabhaya, bernama Kramatruna. Kala Sang Prabhu belom moksha, Kramatruna diperintahkan tinggal di danau Kalasan. Setelah tiga ratus tahun kemudian, putra Raja di Prambanan, bernama Lembumardadu atau Sang Pujaningrat naik tahta di Kedhiri, istananya terletak di barat sungai. KEDHI berarti wanita yang sudah tidak mendapatkan datang bulan (menopause) sedangkan DHIRI berarti tubuh. Yang memberi nama adalah Dewi Kilisuci, disesuaikan dengan kondisi beliau. Oleh karenanya Kedhiri diangap negara wanita, jika berperang kebanyakan menang, akan tetapi jika diserang banyak kalahnya. Watak para wanita Kedhiri, besar hati (percaya diri) sebab terkena aura Sang Retna Dewi Kili Suci. Retna Dewi Kilisuci itu adalah saudara tua Raja di Jenggala (Putra prabhu Airlangga, leluhur Raja-Raja Kedhiri dan Jenggala : Damar Shashangka). Pertapaan Sang Retna Dewi Kili Suci ada di sebuah gua, bernama Selamangleng, terletak dilereng gunung Wilis.

KETERANGAN TAMBAHAN.

Kanjeng Susuhunan Ampeldênta mempunyai seorang putri bernama Ratu Patimah kala menikah dengan Nyi Ageng Bela. Ratu Patimah menikah dengan Pangeran Ibrahim di Karang Kemuning. Setelah Pangeran Ibrahim Karang Kemuning wafat, Ratu Patimah lantas bertapa di Manyura. Pernikahan Ratu Patimah dengan Pangeran Ibrahim memiliki seorang putri bernama Nyi Ageng Malaka, dijdohkan dengan Raden Patah.

Raden Patah (Raden Praba), putra Prabhu Brawijaya dengan putri China yang lantas diberikan kepada Arya Damar Adipati Palembang. Setelah naik tahta bergelar Sultan Syah ‘Alam Akbar Sirullah Kalifaturrasul Amirilmu’minin Rajudil ’Abdu’l Hamid Khaq, atau Sultan Adi Surya ‘Alam ing Bintara (Dêmak).

Putri Champa yang bernama Dewi Anarawati (Ratu Emas) yang diperistri Prabhu Brawijaya mempunyai tiga putra.

1. Putri bernama Rêtna Pambayun, dijodohkan dengan Adipati Andayaningrat penguasa Pêngging, kala jaman pemberontakan negara Bali kepada Majapahit.

2. Raden Arya Lêmbupêtêng Adipati di Madura.

3. Masih teramat muda dan suka bertapa, bernama Raden Gugur, setelah muksa bergelar Sunan Lawu.

Kakak Putri Champa bernama Pismanhawanti dinikahi putra Syeh Jumadil Kubro yang terlahir dari Siti Fatimah Kamarumi, masih keturunan Kangjeng Nabi Muhammad, bernama Maulana Ibrahim, berasal dari Jedah, lantas pindah ke Champa, menjadi imam di tanah Asmara di Champa, sehingga lantas terkenal dengan gelar Syeh Maulana Ibrahim Asmara. Beliaulah ayahanda Susuhunan Ampeldênta (Sunan Ampel), Surabaya. Sedangkan adik putrid Champa laki-laki bernama Aswatidab. Sudah memeluk agama Islam, berguru kepada Syeh Maulana Ibrahim, lantas naik tahta menjadi Raja Pandhita di Champa menggantikan kedudukan ayahandanya. Berputra satu bernama Raden Rahmad. Sedangkan kakak putrid Champa yang dinikahi Maulana Ibrahim, berputra Sayid Ali Rahmad, dijaa terkenal dengan gelar Susuhunan Katib ing Surabaya, bertempat di Ampeldhenta lantas terkenal dengan gelar Susuhunan Ampeldênta (Sunan Ampel). Champa adaah wilayah yang terletak di India Belakang (Indo China). Sayyid Kramat yang diceritakan dalam buku ini bergelar Susuhunan ing Bonang (Sunan Benang).

Tamat





(15 November 2010, by Damar Shashangka)