Para Êmpu di Tanah Jawa (2)
Kyai Sumêlanggandring
(Diambil dari Buku BAB DHUWUNG, berbahasa Jawa Krama, oleh Ki Darmosoegito, terbitan Yayasan Penerbitan Jayabaya, Surabaya, 1989. Diterjemahkan oleh Damar Shashangka)
S |
uatu ketika istana Majapahit kehilangan pusaka bernama Kyai Sumêlanggandring, menyebabkan kesedihan hati Sang Prabhu. Setelah semua abdi dalem yang diutus untuk melacak keberadaan pusaka tak memperoleh hasil, Sang Prabh lantas mengeluarkan sayembara. Barang siapa saja yang berhasil menemukan pusaka keraton tadi, maka akan diberikan anugerah pemberian salah satu puteri beliau yang cantik. Bahkan akan diangkat derajatnya menjadi seorang Pangeran dan diberikan wilayah seluas 100 Jung.
Begitu Ki Supa Mandrangi dan adiknya Ki Supagati mendengar sayembara tersebut, berdua mereka segera menghadap ke istana Majapahit. Mereka berniat untuk memenuhi perintah Sang Prabhu. Sang Prabhu Brawijaya begitu mendengar kesanggupan keduanya, berkenan dihati dan lantas memberikan restu.
Kedua Êmpu mempergunakan langkah penyamaran dengan jalan menceritakan disepanjang perjalanan bahwa mereka berdua adalah orang buangan kerajaan Majapahit. Jika sampai tertangkap oleh pihak pemerintah, bisa jadi mereka akan mendapatkan hukum mati. Agar cerita rekayasa ini bisa semakin dipercayai oleh orang banyak, sebelum meninggalkan dusun tempat tinggalnya, rumah pribadi mereka sengaja dibakar sendiri. Kejadian ini diceritakan pula kepada orang banyak, bahwa yang membakar rumah mereka adalah utusan Prabhu Brawijaya.
Singkatnya, tujuan mereka meninggalkan wilayah Majapahit, pertama dengan niat mengungsi mencari hidup dan yang kedua mencari bantuan kekuatan untuk membalaskan sakit hati kepada Sang Prabhu.
Sengaja mereka pergi kearah timur hingga sampailah diwilayah Blambangan.
Sang Adipati Blambangan begitu mendengar kabar ada dua orang Êmpu linuwih yang menjadi buronan pemerintahan Majapahit, bergembira dihati. Sang Adipati Blambangan memang sudah semenjak lama memendam niat untuk mengadakan pemberontakan. Oleh karenanya kedua Êmpu tadi lantas diperintahkan agar menghadap dan diminta untuk mengabdi di Kadipaten Blambangan. Setelah pengabdian kedua Êmpu ini sudah cukup lama serta telah mendapatkan kepercayaan, suatu ketika Sang Adipati Blambangan berkenan memerintahkan Ki Supa Mandrangi untuk mutrani (membuat duplikat) pusaka yang bernama Kyai Sumêlang gandring. Ki Supa Mandrangi menyangupi dengan hati gembira. Akan tetapi karena belum pernah melihat dhapur (model) serta wujud pusaka yang hendak dibuat tiruannya tersebut, maka Ki Supa Mandrangi memohon perkenanan Sang Adipati agar meminjamkan pusaka yang asli dengan maksud agar supaya hasil tiruannya tidak sampai salah. Permintaan Ki Supa dikabulkan.
Dengan hati gembira, Ki Supa Mandrangi lantas melaksanakan perintah Sang Adipati untuk membuat pusaka tiruan. Tidak hanya membuat satu tiruan, bahkan dua buah. Kedua pusaka tiruan tersebut diserahkan kepada Sang Adipati, sedangkan Kyai Sumêlanggandring yang asli, disembunyikan, karena pusaka itulah yang selama ini dicari-cari. Sang Adipati bergembira dan tidak sadar bila sudah ditipu. Sang Adipati mengira dua buah pusaka kembar yang diterimanya salah satunya adalah Kyai Sumêlanggandring yang asli, yang sangat dihormati olehnya. Ki Supa Mandrangi setelah sekian lama mengabdi di Blambangan lantas mendapat gelar Ki Pitrang.
Oleh sebab sangat berkenan dalam hati, Sang Adipati lantas memberikan anugerah seorang putri yang sangat cantik jelita kepada Ki Pitrang.
Setelah berdiam beberapa bulan di Blambangan seusai pernikahannya, Ki Pitrang lantas memohon pamit kepada istrinya untuk melihat perkembangan Majapahit, dengan dalih sekedar mencari kabar berita apakah Sang Prabhu Brawijaya sudah memberikan ampunan atas kesalahan Ki Pitrang dulu.
Kala itu istri Ki Pitrang tengah hamil muda, oleh karenanya Ki Pitrang lantas meningalkan pesan, apabila kelak anak dalam kandungan istrinya tersebut terlahir laki-laki, maka harus diberikan nama Jaka Sura. Ki Pitrang juga meninggalkan beberapa besi khusus yang bisa dibuat sebagai pusaka. Jika nanti Ki Pitrang tidak juga segera pulang, sang putra agar disuruh menyusul. Jika nanti lahir wanita, terserah kepada istrinya untuk memberikan nama.
Ki Pitrang lantas menghadap ke istana Majapahit sembari menghaturkan Kyai Sumêlanggandring. Membuat gembira hati Sang Prabhu, lantas diberikan anugerah seorang putri yang sangat cantik, diangkat menjadi seorang Pangeran dan diberikan wilayah seluas 100 Jung didaerah Sedayu. Semenjak saat itu Ki Pitrang lantas bergelar Pangeran Sêdayu.
Dikisahkan, saat perjalanan Ki Supa Mandrangi meninggalkan Majapahit dulu, disepanjang perjalanan dia membuat tosan aji, berbentuk dhuwung kecil (patrêm), panjangnya hanya selebar satu cengkal jari, kebanyakan dhapur (model) Kidang soka, Pandhawa, Tilam Upih, Carang Soka dan Pasopati. Tosan aji hasil buatannya tersebut terkenal sangat ampuh luar biasa.
Karena dianggap telah membantu Ki Pitrang selama menjalankan perintah Sang Prabhu, Ki Supagati lantas juga diangkat menjadi seorang Mantri, diberikan gelar Ki Supadi, dan diberikan wilayah seluas 100 Jung pula.