ASAL USUL KERATON SURAKARTA
Ngarsadalêm
Ingkang Sinuhun (Yang Mulia Panutan hamba) Paku Buwana II menyadari
jika keraton Kartasura sudah tidak layak lagi untuk dijadikan sebagai
pusat pemerintahan, sebab pernah di bedhah (dimasuki oleh tentara
pemberontak) Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning atau Sultan
Anyakrakusuma pada 1741 Masehi. Beliau berkehendak untuk membuat keraton
baru. Sedangkan letak persisnya masih dicari,. Diharapkan bisa segera
menemukan tempat yang luas dan subur serta memberikan berkah agar
kedudukan sebagai Raja lestari hingga ke anak cucu kelak.
Para
pembesar Negara, termasuk diantaanya para ahli nujum, ahli perhitungan
dan ulama, semua diperintahkan untuk mendukung keinginan Ingkang Sinuhun
Paku Buwana II. Beberapa diantara mereka terdapat nama Pangeran Wijil I
(keturunan Sunan Kalijaga dari Kadilangu), Kyai Kalipah Buyud, Mas
Pangulu Pêkik Ibrahim dan Kyai Tumênggung Tirtawiguna.
Setelah
mendapatka perintah resmi, mereka segera berangkat untuk mencari tanah
yang pantas dan tepat sebagai bakal keraton baru. Perjalanan mereka
sampai di daerah Talawangi, sekarang lebih dikenal dengan nama kampung
Kadipala. Disana mereka sepakat untuk menjadikan daerah itu sebagai
keraton baru, akan tetapi Raden Tumênggung Tirtawiguna tidak menyetujui.
Lantas Pangeran Wijil I bergerak ke timur dan menemukan daerah yang
tepat yang terletak didaerah Sala (Solo).
Pangeran
Wijil I dan Tumênggung Tirtawiguna segera bersemedi disana, meminta
petunjuk Hyang Widdhi. Petunjuk didapatkan dan konon mereka mendapatkan
wangsit sebagai berikut :
“Heh kang
padha manungku puja, yen Desa Sala ini wus pinasthi bakal dadi
nagara-gung, luwih dening kêrta tata lan raharjane. Ananging katêmuwa
karo Kyai Sala, ing kono kang sumurup mula bukane ing nguni-nguni.”
(Wahai
yang tengah khusyuk memuja, Desa Sala ini sudah ditakdirkan akan
menjadi Negara besar, sangat-sangat tenteram dan makmur. Akan tetapi
sebelumnya, kalian harus menemui Kyai Sala, dialah orang yang tahu
asal-usul Desa ini.”)
Setelah mendapatkan
wangsit, Pangeran Wijil I dan Tumênggung Tirtawiguna berangkat dari
Kêdhung Kol kearah barat menuju Desa Sala. Ternyata Kyai Gêdhe Sala
telah mendapat firasat bakal ditamui oleh orang-orang besar dari Keraton
Kartasura, utusan dari Sang Raja Paku Buwana.
Setelah
mempersilakan para tamu untuk duduk, Pangeran Wijil segera mengutarakan
maksu kedatangannya. Kyai Gêdhe Sala benar-benar mendengarkan tuturan
Pangeran Wijil dan Tumênggung Tirtawiguna. Lantas Kyai Gêdhe Sala
berkata :
“Duh Pangeran,
semoga berkenanlah mendengarkan sejarah masa lalu tanah ini. Beginilah
sejarahnya seingat hamba. Dulu ketika masih jaman keraton Pajang (abad
16), putra dari Tumênggung Mayang tewas ditusuk keris atas perintah Raja
(Sultan Adiwijaya/Jaka Tingkir). Sebab bersalah telah memasuki taman
kaputren dan bercinta dengan putri Raja secara diam-diam. Jenazahnya
dibuang ke Sungai Pepe lantas hanyut dan tersangkut di sebelah timur
Desa Sala ini.
Pada saat
itu, yang menjabat sebagai Bêkel disini bernama Kyai Gêdhe Sala juga,
oleh karenanya bumi ini lantas diberinama Sala. Singkat cerita, Kyai
Gêdhe Sala tengah menuju ke sungai. Mendapati bangkai manusia tersangkut
akar pepohonan, lantas ditarik olehnya ketengah dengan maksud agar
hanyut terbawa arus air yang deras. Saat itu, ketika tengah
menghanyutkan tepat sore hari. Keesokan harinya, bangkai tersebut
didapati masih tetap menyangkut ditempat semula. Kyai Gêdhe Sala
berusaha menghanyutkan kembali, begitu hingga tiga kali berturut-turut,
namun setiap kali beliau menuju sungai, bangkai itu masih nampak
tersangkut dan tidak terbawa oleh air sungai. Ki Gêdhe Sala kebingungan,
lantas memohon kepada Hyang Widdhi agar supaya bangkai bisa hanyut dan
tidak kembali lagi. Anehnya saat Ki Gêdhe Sala tengah bersamadi,
lamat-lamat terdengar suara digendang telinganya, begini : Wahai, Kyai.
Janganlah berbuat tega kepadaku. Lebih baik tolonglah aku. Kuburkan aku
disebelah barat Desa Sala. Ketahuilah wahai, Kyai. Ditempat mana kuburku
berada kelak akan menjadi Negara besar yang tenteram dan makmur, tak
bisa dimasuki oleh musuh.”
Akhirnya
bangkai lantas dikuburkan sesuai petunjuk tersebut. Diberi nama Kramat
Kyai Bathang. Mendengar penuturan yang sedemikian, Pangeran Wijil,
Tumênggung Tirtawiguna, Kyai Kalipah Buyud dan Mas Pengulu Pêkik Ibrahim
bersuka cita dalam hati, sudah tampak keberhasilan akan tugas yang
tengah mereka emban. Mereka segera berziarah ke makam Kyai Bathang.
Disana mereka mengamat-amati keadaan tanah dan ternyata memang cocok
dengan yang dicari. Akan tetapi, didekat tempat tersebut terdapat
rawa-rawa yang luas dan dalam. Rawa-rawa yang terus mengeluarkan air dan
harus bisa dihentikan semburannya. Dalam kondisi senang dan bingung,
akhirnya, diputuskan mereka semua untuk kembali dulu ke keraton dan
melaporkan hasil tugas yang telah mereka emban termasuk keberadaan
rawa-rawa yang terus mengeluarkan air.
Di
keraton Kartasura, sesudah mendapatkan pelaporan dari mereka-mereka
yang diutus, Sinuhun Paku Buwana II seketika terheran-heran. Sinuhun
lantas memanggil Kyai Tohjaya dan Kyai Yasadipura I. Keduanya
mendapatkan perintah untuk ikut memikirkan bagaimana caranya agar
rawa-rawa bisa dihentikan semburan airnya, lantas agar bisa dibangun
keraton baru yang kuat dan kokoh, subur makmur serta tenteram
selama-lamanya.
Singkat cerita, Kyai
Tohjaya dan Kyai Yasadipura I segera berangkat menuju Desa Sala.
Keduanya menitik kondisi rawa. Menurut penglihatan bathin mereka,
ditengah rawa terdapat Tirta Kamandanu. Karena keberadaan Tirta
tersebut, maka tidaklah mengherankan jika semburan air sedemikian deras
dan besar.
Kedua utusan balik ke keraton dan menuturkan kepada Sinuhun Paku Buwana II :
“Sinuhun,
luas dusun Sala sudah kami dapatkan secara jelas. Benar-benar tempat
yang cocok untuk membangun keraton baru. Akan tetapi yang menjadi
masalah adalah keberadaan rawa yang terus menerus mengeluarkan air.
Jika dapat dihentikan semburan air rawa tersebut, maka pembangunan
keraton baru akan semakin mudah.”
Kangjêng
Sinuhun lantas memanggil Tumênggung Hanggawangsa dan Kyai Patih
Adipati Pringgalaya untuk membantu. Di Kepatihan mereka berkumpul dan
memutuskan untuk meneruskan usaha pembangunan keraton baru di dusun
Sala.
Ingkang Sinuhun Paku Buwana II pun
segera mengumumkan secara resmi untuk segera membangun keraton baru di
dusun Sala. Beliau memerintahkan seluruh Bupati dan Adipati mancanegara
untuk segera bekerja. Para Bupati dan Adipati segera mengirimkan
kayu-kayu gelondongan utuh. Kayu-kayu tersebut dimaksudkan sebagai
sarana menghentikan semburan air rawa. Akan tetapi, ketika kayu-kayu
gelondongan tersebut diletakkan ditengah sumber rawa, bukannya air
menjadi surut melainkan malah semakin deras.
Pangeran
Wujil I dan Kyai Yasadipura I segera melakukan tirakat kembali disana.
Beberapa hari melakukan laku tirakat, suatu malam terdengar suara
sebagai berikut :
“Heh kang padha
mangun brata. Têlêng iku mulane ora bisa pampêt amarga têmbusane marang
sêgara kidul. Dene yen sira angudi pampête, saranane tambalên, GONG
SĒKAR DALIMA, karo GODHONG LUMBU lan SIRAHING TĒLĒDHEK. Ing kono bisa
pampêt, ananging ing têmbe dadi kêdhung ora mili ora asat, ajêg banyune
ora kêna dipampêt salawas-lawase.”
(“Wahai
yang tengah bertapa. Air tersebut tidak bisa dihentikan semburannya
karena tembus ke laut selatan. Jika kalian berkehendak untuk
menghentikan semburannya, tamballah dengan GONG SEKAR DELIMA, DAUN
LUMBU dan KEPALA TĒLĒDHEK (Penari wanita). Alirannya yang deras pasti
terhenti, akan tetapi lantas akan berubah menjadi danau yang airnya
tidak mengalir pun juga tidak kering. Dan air yang keluar tidak akan
sederas sekarang dan tak akan mungkin dihentikan untuk selama-amanya.”
Wisik
tadi diterima pada hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon), bulan Sapar
tanggal 29 tahun Jimawal 1669 (1744 Masehi). Kyai Yasadipura I lantas
diharapkan oleh Pangeran Wijil I agar bersedia berdiam di sebelah
selatan Kedhung Kol. Siapa saja yang berdiam ditanah tersebut, maka
seluruh anak cucu hingga cicitnya akan mendapatkan kemakmuran dan
kedudukan tinggi.
Kyai Hanggawijaya dan
Kyai Yasadipura I yang kemudian marak ke hadapan Sinuhun Paku Buwana II
untuk menyampaikan wisik yang didapatkan. Begitu mendengar peaporan
kedua orang petinggi tersebut, Sinuhun Paku Buwana II lantas berkata :
“Hanggawangsa
dan Yasadipura, wisik tadi menyebut-nyebut nama SIRAH TĒLĒDHEK (Kepala
Penari wanita). Maknanya bukan kepala seorang manusia penari,
melainkan RINGGIT (UANG ; Nama lain TĒLĒDHEK adalah RINGGIT). Sedangkan
maksud dari GONG adalah GONGSA (Mulut) atau ucapan. Kyai Sêkar Dalima
maksudnya Sêkaring Lathi (Bunga Mulut). Ketahuilah, karena semenjak
mula yang memberitahukan sejarah tempat tersebut adalah Kyai Gêdhe
Sala, maka keputusanku sesuai petunjuk wisik tersebut, maka dia harus
diberikan uang yang utama (kepala; kepala dianggap sebagai sesuatu yang
utama) sebanyak SALEKSA (10.000) sebagai ganti daerah yang menjadi
miliknya berikut rawanya.”
(Bersambung)
Damar Shashangka, 26/01/2012