Jumat, 11 Maret 2011

NOVEL SABDA PALON (Kisah Nusantara Yang Disembunyikan)

Maret 2011, Novel Sabda Palon masuk buku "REKOMENDASI" di Gramedia Pondok Indah Mall, Jakarta. Telah terjual 55 eksemplar di sana dalam waktu 2 minggu-an.




Mas Khrishna Pabhicara (Penulis Novel), Damar Shashangka (Penulis Novel Sabda Palon) dan Mas Salahuddien Gz (Editor-in-Chief Kayla Pustaka/Dolphin)






NOVEL SABDA PALON,

karya Damar Shashangka

DITERBITKAN OLEH

DOLPHIN

Jln. Ampera II No. 29, RT: 004/09, Ragunan Jakarta Selatan 12550.
Telp/Faks: (021) 7884 7301

http://www.kaylapustaka.com

Sabda Palon
©Damar Shashangka, 2011
Hak cipta dilindungi undang-undang
All rights reserved


Penyunting: Salahuddien Gz dan Dita Sylvana
Penyelaras Bahasa: Khrisna Pabichara
Pemindai Aksara: Muhammad Bagus SM
Penggambar Sampul: Yudi Irawan
Penata Letak: MT Nugroho



Cetakan I: 2011
ISBN: 978-979-16110-4-n

Harga: Rp 75.000,- (450 Hlm. Bookpaper)


Dolphin

Jln. Ampera II No. 29, RT: 004/09,
Ragunan Jakarta Selatan 12550.
Telp/Faks: (021) 7884 7301
E-mail: bunda_laksmi@yahoo.com

SINOPSIS

Pada tahun 1445 Masehi, atas permintaan Bhre Kêrtabumi, Syekh Ibrahim Al-Akbar berlayar dari Champa menuju Jawa, diiringi Sayyid Ali Murtadlo dan tiga belas santrinya. Mengingat pertumbuhan kaum muslim yang pesat di pesisir Jawa, syekh keturunan Samarqand itu didaulat untuk menjadi petinggi agama Islam di Keraton Majapahit. Tetapi jung Syekh Ibrahim diamuk badai hingga terdampar di pantai Kamboja. Mereka ditangkap prajurit-prajurit Kamboja dan dipenjara oleh rajanya. Kabar perihal nasib rombongan Champa itu akhirnya sampai di Jawa. Dipimpin Raden Arya Bangah, tujuh jung tempur Majapahit, lengkap dengan meriam dan manjanik, segera meluncur ke Kamboja untuk membebaskan mereka. Pertempuran sengit pun meletus di Prey Nokor.



Dalam pada itu, Sabda Palon dan Naya Genggong, dua punakawan Bhre Kêrtabumi, melihat dengan mata batinnya bahwa trah Majapahit akan lumpuh. Selama lima ratus tahun awan hitam akan menaungi Nusantara seiring datangnya para pengusung keyakinan baru yang bakal mengakhiri kekuasaan Majapahit. Demi menjaga keutuhan Nusantara, Sabda Palon menasihati Kêrtabumi agar mengambil selir dari Kepulauan Wandhan. Keturunan darinyalah yang akan membangkitkan kejayaan trah Majapahit dua ratus tahun kemudian. Raja muda itu pun mengawini Bondrit Cêmara, seorang emban dari Wandhan. Dewi Amaravati, putri Champa permaisuri Kêrtabumi, dilanda cemburu tak tertanggungkan hingga ia berencana membunuh Bondrit Cêmara berikut janin yang tengah dikandungnya.



Melalui narasi-narasi memukau nyaris pada setiap babak, novel ini tak hanya mampu menyatukan keping-keping sejarah masa akhir kejayaan Majapahit yang tercecer dan terpendam, tetapi juga bakal menyihir Anda untuk memasuki Nusantara masa silam. Tidaklah mudah membawa pembaca abad 21 kembali ke abad 15, yang berjejal aroma dupa, kemegahan pura, dan gadis-gadis yang masih bertelanjang dada. Tetapi Damar Shashangka mampu melakukan itu dengan mempesona.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

CUPLIKAN


Pupuh 21
Hamuk Majapahit

................................................................................................................................................................................................................

Hiruk-pikuk kegiatan perniagaan kini berubah menjadi teriakan yang memperingatkan teman yang lain, bentakan agar segera melepas sauh, atau makian karena beberapa orang tak sengaja menghalangi tubuh mereka yang hendak berusaha menyelamatkan diri.Tubuh-tubuh itu berhamburan dari dermaga. Ada yang masih melompat turun dari jung. Ada yang tengah sibuk mengangkat sauh. Ada yang sudah berlari ke daratan. Suasana kacau-balau.

Disusul dari arah berlawanan, beberapa kuda dipacu kencang menuju pelabuhan. Tampak beberapa prajurit Kamboja datang untuk memastikan sendiri kabar yang telah diterima dari petugas pelabuhan. Ada sekitar sepuluh prajurit yang memacu kudanya mendekat ke dermaga. Dan begitu sudah sedemikian dekat dengan pantai, mereka memperhatikan dengan saksama ke arah selatan. Di tengah lautan, tampak tujuh buah jung, satu berukuran besar dan enam berukuran sederhana mulai merapat ke Prey Nokor. Kini, tanpa memerlukan kaca pembesar berbentuk teropong, mata telanjang mereka sudah bisa melihat bendera bergambar surya berkibar di atas jung-jung itu. Ditambah dengan bentangan kain merah dan putih yang melambai-lambai ditiup angin barat, seluruh prajurit Kamboja sudah yakin, jung-jung yang hendak merapat ke pelabuhan itu tak lain adalah jung-jung tempur Majapahit.

Sang pemimpin pasukan tampak melirik ke beberapa titik tersembunyi. Titik di atas dahan-dahan pohon dan menara pengawas. Di sana, beberapa prajurit panah Kamboja sudah siap dengan busur dan anak panahnya. Posisi mereka sangat tersembunyi. Jika tidak awas, siapa pun tidak bakal tahu jika ada orang yang tengah berada di sana. Begitu sudah yakin dengan apa yang mereka lihat, segera mereka memutar arah kuda dan menggebrak kudanya masing-masing meninggalkan pelabuhan. Di tengah hiruk-pikuk mereka yang tengah menjauh dari bibir pantai, kuda-kuda mereka melesat bagai anak panah, berkejaran, susul-menyusul.

Sedangkan di sana, di tengah laut selatan Kamboja, tujuh buah jung tempur sudah semakin dekat. Kini, bentuk ketujuh jung itu sudah sangat jelas terlihat dari pantai. Bendera besar bergambar surya, dengan umbul-umbul merah dan putih, berkelebat-kelebat tertiup angin. Dalam jarah beberapa puluh tombak dari pantai, rupanya sauh sudah di turunkan. Layar sudah tergulung semua. Tujuh jung itu berhenti bergerak. Disusul kemudian, dari dek setiap jung, keluar perahu-perahu kecil yang memuat pasukan tempur Majapahit. Perahu-perahu itu segera didayung menuju pantai. Kini, tak ada pemandangan lain di tepi Pelabuhan Prey Nokor kecuali berpuluh-puluh perahu kecil, dengan prajurit siap tempur di atasnya, yang tengah bergerak susul-menyusul ke daratan.

Begitu tiba di pantai, masing-masing prajurit melompat ke darat, bergerak dengan sigap, bertumpu pada salah satu lutut, sedangkan perisai diposisikan melindungi bagian badan. Berjajar-jajar dan susul menyusul mereka melakukan hal itu. Kini, di bibir pantai Prey Nokor, terlihat berderet-deret pasukan Majapahit dengan perisai besi melindungi tubuhnya. Prajurit yang turun belakangan segera ikut bersembunyi di belakang badan temannya yang terlindung perisai. Prajurit yang tengah berlindung adalah prajurit pemanah. Begitu mereka sudah dalam posisi aman, satu-dua dari mereka segera melepaskan anak panahnya. Terdengar jerit kesakitan diiringi beberapa tubuh yang terjatuh dari atas pohon atau menara pengawas.
Rupanya, beberapa prajurit panah Kamboja yang sudah siap di tempat tersembunyi untuk membidikkan anak panahnya telah didahului oleh prajurit panah Majapahit. Ada tujuh prajurit panah Kamboja yang tersungkur ke tanah dengan anak panah menancap di tubuh atau kepalanya.

“Merunduk!” Menyusul terdengar suara lantang dari pemimpin prajurit Majapahit. Beberapa prajurit panah yang baru melepaskan anak panahnya segera bertiarap di belakang prajurit yang membawa tameng. Anak-anak panah meluncur ke arah mereka. Dan semua anak panah itu mental, tertangkis oleh tameng-tameng yang dipasang dalam formasi tertentu.

Begitu desingan anak panah sudah reda, terdengar teriakan keras:

“Bidik!”

Kini, prajurit panah yang baru saja berlindung di belakang prajurit yang membawa tameng, dengan gerakan luar biasa cepat, segera memasang anak panah pada busurnya. Dan ganti prajurit panah Majapahit kini melepaskan anak panah mereka ke beberapa titik. Dan benar! Begitu anak panah meluncur ke beberapa arah, satu-dua tubuh jatuh tersungkur dari atas dengan anak panah menembus badan mereka.

Seluruh prajurit lantas menunggu. Suasana hening dan sepi. Tak tampak lagi prajurit panah yang tersisa. Begitu dirasa aman, seorang prajurit mengibarkan bendera merah. Melihat bendera merah dikibarkan, menyusul dari arah lautan, perahu-perahu yang mengangkut meriam dan manjanik mulai dikeluarkan. Susul-menyusul perahu itu didayung ke tepian sembari membawa bêdhil gêdhe dan alat pelempar api itu.

Arya Gajah Para dan Arya Banyak Lêmpur turun dari jung, menaiki perahu dan dilindungi beberapa prajurit yang membentuk formasi melingkar dengan tameng. Perahu yang dinaiki Arya Gajah Para lebih dahulu bergerak, disusul perahu yang dinaiki Arya Banyak Lêmpur. Kesatria-kesatria Majapahit sudah mulai menjejak daratan Kamboja.

Meriam dan manjanik sudah naik ke daratan, disusul kemudian Arya Gajah Para, lantas Arya Banyak Lêmpur. Seluruh prajurit yang semula berjajar, dengan tameng-tameng yang melindungi tubuh mereka, kini telah bergerak ke atas. Di dermaga, mereka membentuk barisan. Ada sekitar lima ratus prajurit yang naik ke daratan. Namun, baru saja mereka membentuk barisan, mendadak dari arah berlawanan terdengar suara berderap riuh-rendah. Seluruh prajurit Majapahit waspada!

Ardhachandra wyuuha!”

Arya Banyak Lêmpur yang memimpin dua ratus lima puluh prajurid segera berteriak lantang memerintahkan seluruh prajurid Majapahit membentuk formasi perang Ardhachandra wyuuha, yaitu formasi yang berbentuk melengkung bagaikan wujud rembulan sebelum purnama. Dengan sigap dan terlatih, seluruh prajurit Majapahit, di bawah pimpinan Arya Banyak Lêmpur, membentuk formasi tersebut. Beberapa orang berputar arah, posisi barisan terlihat melengkung dengan cekungan di tengah-tengah.

Samapta!” Kembali Arya Banyak Lêmpur berteriak, dan bunyi lutut menapak tanah diiringi suara tameng-tameng menghentak serempak terdengar. Kini, dalam posisi ardhachandra wyuuha, pasukan Majapahit dibawah pimpinan Arya Banyak Lêmpur meletakkan tameng-tameng di depan tubuh mereka dan posisi mereka berjongkok dengan salah satu lutut menapak tanah. Di atas tameng, tombak-tombak terarah ke depan dengan mantap. Luar biasa gerakan mereka, serempak dan terlatih.

Samapta!” Kini terdengar teriakan Arya Gajah Para, yang memimpin dua ratus prajurit yang sekarang posisinya ada di belakang prajurit Arya Banyak Lêmpur, yang terlebih dulu membentuk formasi ardhachandra wyuuha. Mendengar komando tersebut, dua ratus prajurit Arya Gajah Para segera menghunus pedangnya masing-masing. Bunyi besi terhunus terdengar bising. Kini, dengan tameng di depan tubuh dan pedang terhunus, dua ratus prajurit itu menunggu perintah selanjutnya.

Di belakang mereka ada lima puluh prajurit yang menjaga manjanik dan meriam.

Mata prajurit Majapahit awas mengamati gerakan berderap dari arah depan. Telah terlihat, ratusan prajurit berkuda Kamboja tengah menyerbu mereka dengan pedang-pedang terhunus. Kuda-kuda mereka berlari kencang, berderap, meluncur menuju barisan prajurit Majapahit.

Laju prajurit Kamboja yang berteriak-teriak garang itu telah hampir dekat dengan barisan prajurit Majapahit. Seluruh prajurit Majapahit tetap berada dalam posisi masing-masing. Mata mereka awas. Tangan mereka telah siap menggerakkan senjata. Tinggal menunggu aba-aba.
Begitu prajurit Kamboja telah semakin dekat, Arya Banyak Lêmpur berteriak:

Hara Hara Hara Mahadewa!”

Barisan depan prajurit berkuda Kamboja menerjang barisan prajurit Majapahit. Dalam posisi ardhachandra wyuuha yang melengkung di tengah, pasukan Majapahit yang posisinya ada di tengah bergerak seolah minggir memberi jalan, namun dari sisi kiri dan kanan tombak-tombak prajurit Majapahit menukik menusuk lambung-lambung kuda prajurit Kamboja. Ringkikan kuda yang tertusuk tombak terdengar berselang-seling, disusul jerit kematian para penunggangnya yang terjatuh dan langsung disambut tombak-tombak tajam.

Sebentar saja, sudah berpuluh-puluh kuda terjerembap dan penunggangnya tewas tercacah tombak. Erangan kematian terdengar di mana-mana. Mereka yang bisa lolos dari jepitan pasukan tombak segera disambut tebasan pedang oleh prajurit Arya Gajah Para yang bersiap di belakang.

Bangkai kuda dan mayat prajurit Kamboja sebentar saja sudah tumpang-tindih di tanah, bermandikan darah segar. Ada yang bisa meloloskan diri, melompat dari punggung kuda, berguling di tanah, dan segera bangkit menyerang. Mereka yang selamat segera disambut oleh prajurit pedang Arya Gajah Para. Prajurit tombak terus melakukan gerakan mereka menusuk lambung, kaki, leher, dan paha dari kuda-kuda yang ditunggangi prajurit Kamboja yang terus datang menyerang. Yang tidak cepat melompat sudah pasti meregang nyawa terkena tombak.

…………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………….

--------------------------------------------------
Pesan diatas 2 buku sekaligus diskon 15 % dari saya. Sekalian saya kasih kenang-kenangan berupa tulisan plus tanda tangan dihalaman belakang khusus untuk si pemesan. Kirim massage pemesanan dan alamat yang dituju di INBOX Face Book saya, "Damar Shashangka", atau melalui sms/tlp ke nomor hand phone 0818-102-767 atau bisa kirim e-mail ke damarshashangka@gmail.com (belum termasuk ongkos kirim) Buku akan dikirim melalui Pos/Tiki. Pembayaran melalui transfer ke rekening:

BCA KCP Gondanglegi,Malang
No.Rek : 31-70-41-76-90
a/n : Anton Maharani





Testimonu-Testimoni :

“Damar Shashangka memang sudah jauh hari diramalkan bakal memberikan pencerahan terhadap masa gelap sejarah kemunduran Nusantara. Kehadiran novel ini patut dirayakan dengan ritual khusus di Trowulan, petilasan kejayaan Nusantara masa silam.” (Leonardo Rimba, pendiri Spiritual Indonesia )


“Sabda Palon adalah tokoh agung yang mempunyai energi besar di Cakra Ajna (mata ketiga); menghadapi permasalahan yang pelik tidaklah cukup mengandalkan energi cinta di Cakra Anahata (hati). Tidaklah mengherankan jika ia mampu menerawang sejarah ke belakang dan ke depan. Sungguh, baru memegang buku ini saja sudah terasa energinya yang dahsyat. Dan ketika menyimaknya, betapa pertarungan antara cahaya dan kegelapan tergambar indah di dalamnya.” (Rini Candra, Master Maha Yoga Kundalini Indonesia)



"Ingatan kolektif kita sebagai bangsa perlu distimuli dan direkonstruksi dengan berbagai kisah sejarah dari bermacam-macam sudut pandang -- sebab dari sanalah kita dapat belajar, tentang faktor-faktor pembentuk kejayaan, kejatuhan, dan di atas segalanya kebangkitan yang perlu untuk membentuk sendiri sejarah kita dan anak-cucu kita. Sabda Palon menjadi sangat berharga bagi kita, selain karena figurnya yang memang menarik untuk dicermati, juga karena novel ini berusaha mengisi ruang-ruang yang hilang atau kurang tergali dalam berbagai dokumen sejarah kita... tentang sebuah masa ketika sebuah kerajaan besar yang tangguh dan sangat dikagumi kawan dan lawan, yaitu Majapahit, memasuki usia senjanya. Saya menikmati sepenuhnya dan tak sabar menanti kelanjutan sepak terjang para tokohnya." (Wandy Binyo Tuturoong -
konsultan media dan aktivis demokrasi)





Membaca Sabda Palon, saya cukup terbawa suasana masa lalu tanah moyang kita yang konon memang terkenal penuh dengan gegap-gempita ambisi, persaingan dan intrik. Kata ‘terbawa’ saya gunakan untuk merepesentasikan emosi selama membaca. Ada ketertarikan, juga bangga, kadang miris, terharu dan seringkali penasaran, tidak percaya.


Sebagai manusia yang lahir di sekitar Trowulan, saya jadi sering berharap siapa tahu moyang saya adalah salah satu ksatria gagah perkasa itu, syukur-syukur sang Raja atau Rani, kalaupun tidak yaah keturunan Jaka Tarub dan Nawangwulan boleh lah.. (silahkan menghina saya sambil ketawa guling-guling…).


Sejarah memang sudah mencatat, Nusantara di sekitar abad ke-14 adalah masa transformasi yang begitu heboh. Tidak hanya transformasi kekuasaan dan politik (geografis), tapi juga menyangkut transformasi spiritual dan ideologi. Bahkan Thailand sudah lebih dulu membuat film kolosalnya yang melibatkan kata ‘Jawa’, salah satunya Queen Of Langkasukha (Ini juga bisa jadi bahasa lain bahwa saya selalu pengen memfilmkan Majapahit dengan sebenarnya dan belum kunjung berhasil…)

Novel Sabda Palon ini tampaknya bertumpu di sekitar itu, bermedium penyebaran awal agama Islam serta kedatangan para saudagar dan ksatria China untuk lebih leluasa mengatakan betapa Nusantara ini terbangun dari heterogenitas atau multi-culture. Lalu hadirnya tokoh Sabda Palon dan Naya Genggong dengan agama Budi-nya menjadi begitu pas seperti yang diinginkan penulis untuk mengkritisi fanatisme ideologi yang menggerogoti bangsa ini sejak kejatuhan Majapahit hingga saat ini.

Siapapun Damar Shasanka, dia story-teller yang cukup berbakat. Cerita panjang dengan plot yang sangat random bahkan seperti hampir tidak ada main-plot yang menjembatani keseluruhan cerita kecuali satu benang merah; Majapahit, dia berhasil menahan saya untuk tidak buru-buru mengalihkan perhatian saya ke Manohara dengan Sinetron Supergirl-nya itu atau Sinetron lucu lain bertitel Anak Yang Tertukar atau apalah... Damar Shasanka juga berhasil menyamarkan antara catatan sejarah, imajinasi dan mungkin hasil olah batin penelusurannya dengan narasi-narasi licin yang cukup cerdas.

Akhirnya saya menamatkan buku luar biasa ini dengan beragam kecamuk di kepala ini. Selain belum dapat kepastian siapa moyang saya, saya juga masih bodoh dengan hal-hal di luar catatan sejarah dan imajinasi. Saya termasuk yang anti fanatisme berlebih apalagi sampai membunuh ideologi lain yang berseberangan dengan saya. Tapi saya juga belum berani menyimpulkan bahwa kejatuhan Majapahit dan keterpurukan bangsa ini hingga sekarang adalah karena ideologi tertentu. Sebab jika terpuruk itu maksudnya setelah dibandingkan dengan Amerika atau Jepang, saya punya ukuran sendiri. Satu hal, saya selalu bangga dengan manusia yang bangga dengan tanah dan moyangnya sendiri dengan karya seperti ini. Semoga karya-karya seperti ini terus berlanjut…

Lohh..! jadi moyang saya itu siapa ya…? (Sigit Ariansyah – Sutradara film)

Salah satu keunikan Sabda Palon adalah keintensitasannya dalam menghidupkan banyak tokoh di dalam cerita. Tidak terjadi asimilasi karakter yang sering diderita oleh penulis-penulis fiksi sejarah. Damar Shashangka bisa dikedepankan sebagai generasi baru penerus Nyoman S. Pendit. (Pringadi Abdi Surya - Penulis)




Pertama mengenal Sabda Palon dari Grup SI, jatuh cinta dengan pupuh2nya, berharap terwujud isi pupuh tersebut. Kemudian, ada yg post soal trilogi Sabda Palon, sangat menarik! Inilah buku pertama yg kupunya tak melulu soal cinta. Sengaja kupesan ke mas Salahuddien GZ. Terus terang aku takut suatu hari buku ini diberangus oleh mereka yg merasa "tersinggung". Maklumlah, sedang marak premanisme ala FPI. Lembar awal kubuka, jujur kaget! Ada silsilah raja-raja Singasari dan Majapahit. Sempat terbersit:

"Wow alamat kapan-kapan ini sih beres baca-nya. Berat. Ditambah pupuh Pertama Bumi Wilwatika, yg kuanggap sebagai prolog. Buset namanya jelimet semua, belom lagi ada sempalan-sempalan silsilah di paragrafnya".

Tapi semua hilang, ketika memasuki pupuh Dua terus hingga pupuh terakhir. Champa, Kamboja, Majapahit, semua menyihir aku, terlarut dalam alurnya. Rasanya gak rela buat menutup buku disaat kumerasa pedih di mata. Suatu buku aku anggap berhasil penulisannya, ketika aku bisa terlarut, bisa merasakan debar-debar ketegangan, merasakan terharu hingga meneteskan air mata.

Yah, sedikit bocoran, aku meneteskan air mata pada saat Kidang Telangkas, bertemu bapa-nya di hutan. Yah, aku bukan pe-review buku, cuma penikmat buku. Yang jelas aku menunggu lanjutannya. Ketika sampai di pupuh terakhir, rasanya gak rela khayalan tentang alurnya harus berakhir...

@Damar Shashangka : buku yg bagus, Damar Wulan…cmiiw... (Noni Rafael – Penikmat Buku)


“Novel ini merupakan referensi utama tentang sejarah Kerajaan Nusantara Majapahit, mengingat banyaknya data dan informasi valid yang tersaji di dalamnya, menggugah kita untuk bangkit kembali setelah lama limbung akibat tercerabut dari akar adat dan budaya bangsa.” (Ahmad Sinter Prawiraatmadja - pelestari kebudayaan Sunda)

“Selama ini, pemahaman kita tentang sejarah kejatuhan Majapahit begitu terfragmentasi. Sangat beruntung kita memiliki Damar Shashangka, yang dengan apik menyatukan keping-keping sejarah tersebut ke dalam sebuah cerita yang tidak saja memberikan pemahaman yang utuh, melainkan juga menghibur urat estetis kita.” (Khrisna Pabichara - penulis)



Jarang ada novel yg bisa membuat saya betah membaca halaman demi halaman. Sabda Palon inilah salah satunya. Penyajian cerita sejarah yg menarik! Jadi penasaran dg seri ke-2 dr trilogi novel ini” (Deddy D'Teges – Pemerhati Sejarah)




“Hanya satu kata yg terucap stlh membaca SABDA PALON karya Damar Shashangka: Dahsyat! Detailnya luar biasa. Seperti ditulis seorang saksi mata. Jika difilmkan, yg pantas menggarapnya adlh Peter Jackson atau James Cameron. Serius!” (Fouad Sn – Alumni Pondok Modern Gontor)

“Dengan cantiknya Sabda Palon mengajak kita sejenak menengok ke belakang, bukan untuk bernostalgia, apalagi dendam, terhadap masa lalu, melainkan untuk menemukan jati diri kita kembali sebagai bangsa besar Nusantara.” (Yudi Sayutogoyo, perupa)



“Buku ini membuat saya serasa memasuki rumah Nusantara masa silam yang penuh pintu. Setelah memasuki pintu satu, saya dihadapkan pada banyak pintu lain yang menggoda untuk dimasuki. Dan setelah memasuki pintu-pintu yang ditawarkan buku ini, pemahaman saya tentang rumah Nusantara masa silam semakin benderang.”


(Bangun Widodo - penggemar buku sastra)

Gramedia Pondok Indah Jakarta menambah stock lagi dari pihak distributor karena penjualan bagus.

Jaya-Jaya Nuswantara, Tetep Jaya Ngadeepi Bebaya!

Rahayu…!