Minggu, 26 Desember 2010

Genta-Genta Siwa-Buddha

Genta-Genta Siwa-Buddha

gede22

Oleh : Gede Prama




P

luralitas alias penghargaan atas perbedaan, itulah salah satu tiang utama masyarakat modern. Demokrasi yang menjadi salah satu barometer terpenting peradaban modern, juga berdiri di atas fundamen kokoh yang bernama pluralitas. Sulit sekali membayangkan ada demokrasi tanpa penghargaan atas perbedaan. Tidak saja kehidupan publik yang keajegannya berutang pada pluralitas, sejarah pengetahuan manusia juga berutang. Setelah lama sekali pemikiran Cartesian dan Newtonian melakukan pengabsolutan terhadap banyak sekali tesis, belakangan muncul kejenuhan akan hal-hal absolut. Dan, manusia-manusia seperti Lyotard, Foucault, Derrida datang membawa kesegaran melalui bendera-bendera merayakan perbedaan.

Agama sebagai serangkaian pengetahuan juga serupa. Teroris lengkap dengan bom dan darahnya, hanyalah sisa-sisa fanatisme yang dibawa oleh sejarah pemahaman yang absolut. Demikian absolutnya pemahaman di kepala sampai-sampai berani memusnahkan nyawa orang lain. Demikian kakunya gambar yang ada di kepala, sehingga seluruh gambar pemahaman yang lain tidak punya pilihan lain terkecuali dimusnahkan. Dan, jejak-jejak pemahaman agama seperti ini pun sudah semakin minim pengikutnya.

Dikaguminya tokoh-tokoh Sufi seperti Jalaludin Rumi di Barat, demikian berwibawanya karya-karya Kahlil Gibran di banyak belahan dunia, dikutipnya doa Santo Fransiscus dari Asisi tidak saja dalam kalangan umat Katolik, digunakannya Baghawad Gita sebagai acuan tidak saja dalam komunitas Hindu, didengarnya pesan-pesan Dalai Lama oleh banyak sekali manusia yang bukan beragama Buddha, hanyalah sebagian bukti kalau tembok-tembok fanatisme semakin kecil dan semakin kecil. Sehingga dalam totalitas, hanya manusia-manusia yang enggan bertumbuhlah yang masih memeluk erat-erat fanatisme dan absolutisme.

Sejarah Bali

Dengan tetap sadar akan perlunya kerendahatian di depan bentangan sejarah, sebenarnya sejarah Pulau Bali juga menyisakan tidak sedikit jejak-jejak pluralitas. Tokoh-tokoh yang dicatat rapi dalam sejarah Bali, sebagian adalah tokoh-tokoh pluralitas. Mpu Kuturan (seorang pendeta Buddha Mahayana) menyatukan banyak sekali sekte di abad ke-10-11 melalui konsep tri kahyangan. Kalau saja Mpu Kuturan seorang tokoh fanatik dan pengikut pendekatan absolut, mungkin ketika itu orang Bali akan dipaksa (atau setidak-tidaknya dipersuasi) untuk menjadi pemeluk Budhha Mahayana. Ternyata sejarah bertutur tidak.

Dang Hyang Dwijendra juga serupa. Kendati punya reputasi mengagumkan dalam bentuk mendampingi Raja Dalem Waturenggong membawa Bali ke zaman keemasan di abad ke-16, peninggalan Mpu Kuturan dalam bentuk Meru tetap dihormati, bahkan dilengkapi melalui bangunan baru ketika itu berupa Padmasana. Kendati beliau seorang pendeta Siwa-Buddha tetap saja pendekatan lain memiliki ruangan untuk bertumbuh di Bali ketika itu.

Tempat ibadah adalah ruang-ruang sakral di Bali. Dan, tatkala berbicara tentang tempat ibadah, sulit sekali untuk tidak memulainya dengan Pura Rwa Bhineda (Pura Purusa di Besakih, Pura Pradana di Ulun Danu Batur). Dan, indahnya, di kedua tempat suci ini di ruang utamanya juga menghadirkan monumen pluralitas yang amat mengagumkan. Baik di Besakih maupun di Ulun Danu Batur, di ruang utamanya masih menyisakan tempat pemujaan untuk dua agama (Hindu dan Buddha). Di Besakih disebut Pura Syahbandar (lokasinya hanya beberapa meter dari Pura Sunaring Jagat), di Batur disebut Pura Ponco yang juga berlokasi di tempat yang sangat utama. Di Pura Ulunsiwi di Jimbaran ada dua pintu di bagian timur dari Meru, satu untuk Siwa satu lagi untuk Buddha.

Selain tokoh dan tempat ibadah, sastra tetua Bali juga banyak ditandai pluralitas. Suthasoma adalah salah satu sastra acuan yang utama. Melalui kalimat indah bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa, sebenarnya tetua Bali sedang membukakan pintu-pintu pluralitas yang demikian indahnya. Fred B. Eisman Jr. menerjemahkannya dalam Bali, ”Sekala & Niskala” dengan sederhana: it is different, but it is one, there are not two truth. Sebuah pengakuan akan pluralitas Siwa-Buddha yang amat eksplisit. Siwa-Buddha itu satu, bukan dua.

Sarana upacara juga tidak kalah sakralnya bagi orang Bali. Dan, di antara sekian banyak sarana upacara yang disakralkan adalah genta. Meminjam argumen sebuah tesis di Universitas Gajah Mada tahun 1967 yang ditulis oleh IGN Anom, ternyata genta — yang dipercaya sebagai kendaraan mantra yang sangat utama — dibuat di atas pluralitas juga. Bagian bawah genta menyerepai Stupa, bagian atasnya sangat mirip dengan Lingga sebagai simbolik Siwa.

Potret-potret sejarah dalam bentuk tokoh, tempat ibadah, sastra, dan sarana upacara seperti ini, seperti sedang berbisik penuh kerendahanhatian: tidak saja di Barat pluralitas itu menjadi ladang-ladang subur pertumbuhan, Bali juga serupa.

Genta-genta Siwa-Buddha

Disinari cahaya-cahaya sejarah seperti di atas, layak direnungkan kembali perjalanan sejarah Bali yang sebagian juga berdarah karena absolutisme dan fanatisme. Setiap manusia di setiap sejarah sama-sama punya tugas yang sama: bertumbuh! Dan, Bali dalam bentangan sejarah ratusan tahun bertumbuh di atas pluralitas Siwa-Buddha. Dalam konstruksi genta, Siwa-Buddha memang dibaca dari atas (baca: Siwa) kemudian baru ke bawah (baca: Buddha). Namun, sebagaimana bangunan lainnya, semuanya dibangun dari bawah.

Kebenaran manusia mana pun memang hanya bisa sampai di tingkatan probabilistik. Sehingga bisa dimaklumi, kalau Buddha ditafsirkan secara berbeda-beda di Bali. Pandangan pertama mengatakan kalau Buddha kita di Bali adalah Buddha Bairawa. Sebuah sudut pandang yang layak dihargai. Pandangan kedua yang sama layaknya untuk dihargai adalah Buddha sebagai filsafat. Kembali ke konsep pluralitas sebagai lahan-lahan subur pertumbuhan, mungkin ada baiknya untuk saling menghargai.

Di Barat, ada jutaan manusia yang belajar Bhagawad Gita tanpa masuk agama Hindu. Jutaan manusia tersentuh ajararan Sufi ala Rumi tanpa berganti agama menjadi Islam. Jutaan manusia mendengarkan saran-saran Dalai Lama tanpa berganti KTP menjadi Buddha. Hal serupa juga layak direnungkan ketika kita belajar membunyikan genta-genta Siwa Buddha di Bali.

Entah kekuatan apa yang membimbing, sejak belasan tahun yang lalu, tiba-tiba saja ada ketertarikan yang mendalam untuk belajar Buddha sebagai filsafat hidup. Makin dipelajari, makin sejuk batin di dalam, makin kuat tanah-tanah Bali mengirim pesan-pesan kerinduan untuk sering pulang. Menyangkut getaran-getaran rasa, mungkin saja ada kekhilafan penafsiran, namun setelah belasan tahun menelusuri filsafat-filsafat Buddha, ada yang berbisik dari dalam sini: words make you come closer but jus till the gate, only actions bring you inside. Kata-kata memang bisa membuat manusia mendekat, tetapi hanya sampai di gerbang. Hanya tindakan yang bisa membawa manusia masuk ke dalam.

Dan, filsafat Buddha memberikan penekanan amat besar akan perlunya tindakan. Untuk itulah orang-orang Hinayana memberikan porsi sangat besar untuk sebuah bidang: disiplin diri! Ketika disiplin diri diikuti secara serius, cahaya-cahaya Mahayana muncul melalui sebuah kata: kebijaksanaan. Tatkala ini juga ditelusuri penuh cinta dan keikhlasan di depan Tuhan, ada sinar Tantrayana yang muncul: hening, sepi, damai.

Makanya bisa dimaklumi kalau Dalai Lama pernah berucap tentang esensi nilai-nilai ke-Buddha-an dalam sebuah bahasa sederhana: menghormati orang, mengkritik diri sendiri. Ini tentu saja terbalik dengan orang-orang fanatik yang absolut itu, di mana mereka hanya mengenal penghormatan diri yang tinggi, serta kritik yang menyakitkan terhadap orang lain. Ini juga sebuah pluralitas sebagai ladang pertumbuhan, sehingga keduanya layak dihargai. Entah seberapa banyak sahabat di Bali yang juga menaiki tangga-tangga ke-Buddha-an, untuk bisa meraih tongkat Lingga untuk sampai di tingkat ke-Siwa-an. Dan, di tingkat terakhir, seorang mistikus asli India bernama Ramakrishna pernah melafalkan doa seperti ini: Tuhan, Engkau memiliki baik-buruk, benar-salah, sukses-gagal, kaya-miskin, surga-neraka, hidup-mati, siang-malam. Ambillah semuanya! Biarlah hamba hidup dengan yang satu ini: cinta yang murni akan diri-Mu!

Sebuah percakapan suci antara Raja Janaka (ayahanda Dewi Sita) dengan gurunya bernama Asthavakra kemudian diberi judul ”Asthavakra Gita” (diterjemahkan Thomas Byron menjadi ”The Heart of Awareness”), pernah bertutur nilai-nilai ke-Siwa-an seperti ini: when the mind desire nothing, grieve for nothing, without joy or anger, grasping nothing, turns nothing awaythen you are free. Ketika pikiran berhenti memilih, berhenti merindukan maupun menolak kemudian tersedia kebebasan. Ah, betapa indahnya kebebasan. Ia sama indahnya dengan salah satu bait kakawin tua di Bali yang berbunyi: magentha suara ning sepi. Ah, maafkanlah kata-kata yang hanya bisa mengantar kita manusia sampai di gerbang saja. Maafkan juga tulisan ini yang dibolak-balik juga hanya bisa mengantar sampai di gerbang saja. Maafkan juga saya, yang hanya bisa mengantar sampai di gerbang saja.



Sabtu, 25 Desember 2010

SÊRAT WEDATAMA (6 - Tamat)

Sêrat Wedatama

Yasan Dalêm

(Karya Paduka):

Kangjêng Gusti Pangeran Arya Adipati

Mangkunegara IV

Kawangun saha kababar mawi basa Indonesia dening :

(Diterjemahkan dan diulas ke dalam bahasa Indonesia oleh: )

Damar Shashangka

2010




Pupuh V

K inanthi




1. Mangka kantining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, wêdi wiryaning dumadi, supadi nir ing sangsaya, yeku pangrêksaning urip.

Oleh karenanya sebagai pegangan hidup, selamanya haruslah Awas dan Ingat, Ingat pada sabda alam (hukum alam – Hukum Sebab Akibat), takut kepada kemuliaan makhluk hidup (maksudnya menghargai Ke-Illahi-an yang ada didalam badan seluruh makhluk hidup), agar jauh dari segala penderitaan, itulah cara untuk menjalani hidup.


2. Marma den tabêri kulup, angulah lantiping ati, rina wêngi den anêdya, pandak-panduking pambudi, bêngkas kahardaning driya, supadya dadya utami.

Oleh karenanya rajin-rajinlah anakku, mengolah tajamnya hati (kesadaran), siang dan malam berusaha, mampu menambah/meningkatkan kesadaran, menyingkirkan kekotoran batin, agar menjadi utama.


3. Pangasahe sêpi samun, aywa êsah ing salami, samangsa wis kawistara, lalandhêpe mingis-mingis, pasah wukir Rêksamuka, kêkês srabedaning budi.

Pengasahnya adalah kondisi hening, jangan sampai tergoyahan selamanya, jika sudah berhasil akan terlihat, tajamnya tiada tara, mampu menghancurkan Gunung Reksamuka (Sebuah Gunung yang didaki oleh Bhima Suci dalam mencari Kesejatian, bisa juga diartikan ; Gunung – Sebuah penghalang/perintang, Reksa – Memfokuskan diri pada, Muka – Wajah. Sebuah penghalang untuk memfokuskan kesadaran dalam mengamati diri sendiri/wajah sendiri/ego sendiri : Damar Shashangka), akan menyerah kalah segala penghalang kesadaran murni.


4. Dene awas têgêsipun, wêruh warananing Urip, miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina wêngi, kang mukitan ing sakarsa, gumêlar ngalam sakalir.

Dan yang dimaksud Awas, tahu akan penghalang/hijab/illusi yang menghalangi kesejatian Hidup, serta tahu akan penghalang/hijab/illusi dari yang Mempunyai Kewenangan Tunggal, yang sesunguhnya Tunggal siang dan malam (dengan diri kita), yang berkehendak tiada batas, yang melingkupi diseluruh penjuru alam semesta.


5. Aywa sêmbrana ing kalbu, wawasên wuwus sireki, ing kono yêkti karasa, dudu ucape pribadi, marma den sêmbadeng sêdya, wêwêsên praptaning uwis.

Jangan ceroboh dalam bersikap, hati-hatilah dalam berbicara, nyata disana akan terasa, bukan ucapan pribadi, oleh karenanya harus benar-benar memegang niat yang kuat, peganglah hingga sampai pada tujuan (Kesejatian Purna)


6. Sirnakna sêmanging kalbu, den waspada ing pangeksi, yeku dalaning kasidan, sinuda saka sathithik, pamothahing napsu hawa, linalantih mamrih titih.

Hilangkan segala keragu-raguan, waspadakan penglihatan kesadaranmu, itulah jalan kesempurnaan, kurangilah segalanya sedikit demi sedikit, segala keinginan nafsu angkara, latihlah kesadaranmu pelan-pelah hingga mahir.


7. Aywa mamatuh nalutuh, tanpa tuwas tanpa kasil, kasalibuk ing srabeda, marma dipun ngati-ati, urip keh rêncananira, sambekala den kaliling.

Jangan terus dirundung ketidak puasan diri, tiada akhir dan tak ada hasil sikap demikian itu, jelas telah terkena penghalang batin, oleh karenanya harus hati-hati, dalam hidup penuh godaan, segala penghalang waspadakanlah benar-benar.


8. Upamane wong lumaku, marga gawat den liwati, lamun kurang ing pangarah, sayêkti karêndhêt ing ri, apêse kasandhung padhas, babak bundhas anêmahi.

Diumpamakan manusia yang tengah berjalan, melewati jalan yang sangat berbahaya, jika kurang kehati-hatiannya, pastilah tersayat duri, lebih parah terantuk batu padas yang tajam, babak belur pada akhirnya.


9. Lumrah bae yen kadyeku, atêtamba yen wis bucik, duwea kawruh sabodhag, yen ta nartani ing kapti, dadi kawruhe kinarya, ngupaya kasil lan melik.

Lumrahnya jika sudah seperti itu, baru mencari obat jika sudah terluka parah, ingatlah walau memiliki pengetahuan sebanyak apapun, jika tidak bisa memahami, maka segala pengetahuannya hanya dibuat, untuk mencari keuntungan dan pamrih semata.


10. Mêloke yen arsa muluk, muluk ujare lir wali, wola-wali nora nyata, anggêpe pandhita luwih, kaluwihane tan ana, kabeh tandha-tandha sêpi.

Keajaibannya hanya jika berbicara semata, berbicara bagai seorang wali, berkali-kali tak terbukti ucapannya, menganggap dirinya seorang pandhita yang sudah sempurna, padahal tak ada kelebihan apapun dalam dirinya, sepi dari segala tanda-tanda keutamaan.


11. Kawruhe mung ana wuwus, wuwuse gumaib gaib, kasliring thithik tan kêna, mancêrêng alise gathik, apa pandhita antiga, kang mangkono iku kaki.

Pengetahuannya hanya ada didalam ucapan belaka, ucapannya sok gaib, diprotes sedikit tidak mau, raut mukanya akan keruh dan alisnya akan menyatu (marah/tersinggung), apakah pantas disebut pandhita yang mempunyai benih keutamaan, manusia yang sedemikian itu oh anakku?


12. Mangka ta kang aran laku, lakune Ngelmu Sajati, tan dahwen pati openan, tan panasten nora jail, tan njurungi ing kaardan, amung ênêng mamrih êning.

Padahal yang dinamakan laku, laku dari Ilmu Sejati, tak suka mencela dan tak suka mencampuri urusan orang lain, tidak gampang marah dan jahil, tidak mendorong orang untuk melakukan keburukan, hanya tenang agar hening.


13. Kunanging budi luhung, bangkit ajur ajer kaki, yen mangkono bakal cikal, thukul wijining utami, nadyan bênêr kawruhira, yen ana kang nyulayani.

Dengan sikap seperti itu (Tenang agar Hening), akan bangkit kesadaran untuk menghargai sesama, dan disana adalah tempat, bertumbuhnya benih keutamaan, walaupun benar pemahamannya, jika ada yang membantah.


14. Tur kang nyulayani iku, wus wruh yen kawruhe nêmpil, nanging laire angalah, katingala angêmori, mung ngenaki tyasing liyan, aywa êsak aywa sêrik.

Dan yang membantah tersebut, hanya sekedar tahu dari kata orang (belum membuktikan sendiri dalam sebuah pendakian spiritual), maka orang yang sadar harus mengalah, tetap bergaullah, hanya untuk sekedar menyenangkan hati orang lain, jangan mendendam jangan membenci.


15. Yeku ilapating wahyu, yen yuwana ing salami, marga wimbuh ing nugraha, saking Hêb Kang Maha Suci, cinancang pucuking cipta, nora ucul-ucul kaki.

Begitulah cara memelihara wahyu (kesadaran diri), jika bisa teguh selamanya, adalah jalan untuk mendapatkan tambahan anugerah, dari Kasih Yang Maha Suci, ikatlah diatas puncak kesadaranmu, jangan sampai terlepas lagi.


16. Mangkono ingkang tinamtu, tampa nugrahaning Widdhi, marma ta kulup den bisa, mbusuki ujaring janmi, pakoleh lair batinnya, iyeku budi prêmati.

Begitulah manusia yang ditentukan, mendapat anugerah Hyang Widdhi, oleh karenanya anakku seyogyanya, bersikap mengalahlah kepada sesama, hasilnya untuk lahir dan batinmu, adalah kesadaran yang stabil.


17. Pantês tinulad tinurut, laladane mrih utami, utama kêmbanging mulya, kamulyaning jiwa dhiri, ora yen ta ngêplêkana, lir leluhur nguni-uni.

Pantas untuk dicontoh dan ditauladani, tingkah laku semacam itu agar bisa menjadi utama, keutamaan bunga dari kemuliaan, kemuliaan jiwa dan diri, bukan berarti harus bisa menyamai persis, sebagaimana keutamaan leluhur masa lalu.


18. Ananging ta kudu-kudu, sakadarira pribadi, aywa tinggal tutuladan, lamun tan mangkono kaki, yekti tuna ing tumitah, poma kaestokna kaki.

Akan tetapi berusahalah, semampu diri sendiri, jangan meninggalkan suri tauladan yang baik, jikalau tidak oh anakku, akan rugi menjadi seorang manusia, oleh karenanya perhatikan sunguh-sungguh semua nasehatku ini.



(Tamat)

(25 Desember 2010, by Damar Shashangka)