Sabtu, 24 Desember 2011

Illustrasi SABDA PALON (2) PUPUH I Bandar Regol, Lao Sam (Pausa 1369 Saka/Januari 1447 Masehi)




Illustrasi

SABDA PALON
(2)

PUPUH I Bandar Regol, Lao Sam
(Pausa 1369 Saka/Januari 1447 Masehi)






L
ao Sam adalah pegucapan Tiongkok untuk Lasêm. Sebuah daerah pesisir utara Jawa yang lantas dipilih oleh Haji Gan Eng Chu sebagai kediaman beliau demi mengemban tugas dari Laksmana Cheng Ho untuk mengawasi wilayah Nan Yang (Asia Tenggara).

Dari Lao Sam, kesepakatan kedua negara, Tiongkok dan Majapahit,yang mengamanatkakan agar pihak Majapahit melindungi warga Tiongkok perantauan di wilayah Majapahit, senantiasa di awasi pula. Haji Gan Eng Chu, adalah pejabat Tiongkok dinasti Ming yang berwenang untuk itu.

Kesepakatan itu terjadi setelah kesalah pahaman antara pihak Tiongkok dan Majapahit pada perang Paregreg (1404-1406), dimana pada waktu itu, armada Laksmana Cheng Ho yang berlayar dari Tiongkok, mendarat didaerah Simongan (Semarang sekarang). Laksamana Cheng Ho tidak mengetahui situasi genting di Jawa. Armadanya yang sangat besar, dengan 208 Jung dan lebih dari 27.000 awak kapal yang bertolak dari Tiongkok untuk mengemban misi persahabatan dengan Raja Majapahit atas titah Kaisar Zhu Di, diserang oleh armada Majapahit. Memang jauh-jauh hari telah tersiar kabar, bahwa Bhre Wirabhumi II telah mendapat stempel emas dari Kaisar Tiongkok. Ini menandakan, Kaisar Tiongkok secara tidak langsung telah mendukung Bhre Wirabhumi II.

Pertempuran tak dapat dielakkan dan lebih dari seratus awak kapal Laksamana Cheng Ho tewas! Bahkan banyak orang-orang China yang jauh-jauh hari sudah berdiam dibeberapa daerah pesisir utara Jawa, ikut terkena imbasnya, terbunuh dengan sangat menyedihkan tanpa tahu sebab musabab yang jelas. Mayat mereka sering terlihat tergeletak dengan luka tusuk keris didada atau terpenggal kepalanya.

Orang-orang China yang tinggal dipesisir Jawa resah.

Laksamana Cheng Ho yang segera menguasai keadaan, secepatnya mengirimkan utusan menghadap Bathara Prabhu Wikramawardhana. Laksamana Cheng Ho memberitahukan bahwa kedatangannya ke Jawa bukan bermaksud untuk mengadakan peperangan, namun sebaliknya, mengemban titah Kaisar Zhu Di untuk memulihkan hubungan kedua belah Kekaisaran. Bathara Prabhu Wikramawardhana, begitu mendapati utusan Laksamana Cheng Ho dan memahami duduk masalah yang sebenarnya, segera memberikan komando kepada seluruh tentara Laut maupun Darat Majapahit untuk menghentikan penyerangan kepada armada Laksamana Cheng Ho. Bahkan, sang Laksamana mendapat kehormatan diundang ke istana Majapahit dengan jamuan yang luar biasa. Bathara Prabhu Wikramawardhana berjanji akan memberikan ganti rugi atas segala kerusakan dan korban nyawa yang dialami armada Cheng Ho. Untuk itulah, Bathara Prabhu Wikramawardhana segera mengirimkan duta khusus ke China, menemui Kaisar Zhu Di. Duta Majapahit itu berlayar bersama rombongan armada Laksamana Cheng Ho yang bertolak ke China.

Kaisar Zhu Di geram mendengar armada yang dikirimnya ke Majapahit mendapat sambutan yang sedemikian rupa. Ditengah kegeramannya, Kaisar – melalui duta yang dikirim - menuntut Raja Jawa memberikan ganti rugi sebesar 60.000 tahil emas dan menuntut agar Raja Jawa memberikan perlindungan khusus bagi orang-orang China yang hidup di Majapahit

Pada awal tahun 1408, Laksamana Cheng Ho kembali melakukan pelayaran ke Jawa. Duta dari Majapahit ikut serta. Tuntutan dari Kaisar Zhu Di disampaikan oleh sang Duta kepada Bathara Prabhu Wikramawardhana. Dalam kondisi ekonomi Negara yang morat-marit, demi memenuhi janji yang telah diucapkan, Bathara Prabhu Wikramawardhana bersusah payah mengumpulkan 60.000 tahil emas, namun akhirnya hanya mampu mengumpulkan 10.000 tahil saja. Majapahit telah benar-benar jatuh miskin selepas perang Paregreg. Sedangkan tuntutan kedua dari Kaisar Zhu Di agar Majapahit memberikan perlindungan khusus kepada orang-orang China yang menetap di Majapahit, segera dipenuhi. Bathara Prabhu Wikramawardhana membuat peraturan baru, dimanapun orang China berada, keberadaannya tidak boleh diganggu. Bahkan dalam kondisi perang, perkampungan China tidak boleh diusik. Kampung China tidak boleh dibuat sebagai tempat persembunyian bagi kedua belah pihak yang tengah bertikai. Semenjak saat itu, perkampungan China di Majapahit sangat-sangat aman.

Pada akhir tahun 1408, duta Majapahit dikirim ke China untuk menyerahkan emas yang diminta Kaisar China. Mendapati Raja Jawa hanya mampu menyerahkan 10.000 tahil emas dari 60.000 tahil yang diminta, hampir saja kemurkaan Kaisar berkobar. Namun begitu mendengar tuntutan jaminan keamanan bagi orang China sudah dipenuhi oleh Raja Jawa, Kaisar Zhu Di akhirnya menerima 10.000 tahil emas tersebut dan menghapuskan hutang Raja Jawa yang masih tersisa 50.000 tahil.

Dan, di daerah Lasêm, keberadaan pemukiman China memang benar-benar terjamin dari berbagai macam gangguan. Walau kini Bathara Prabhu Wikramawardhana sudah digantikan oleh putrinya, Bathara Prabhu Sthri Dyah Rani Suhita, jaminan tersebut masih tetap diberikan oleh pihak kerajaan Majapahit.

Tapi semenjak Dinasti Ming melarang pelayaran ke luar negeri setelah Laksmana Cheng Ho wafat, ditambah ketidak stablian Majapahit selepas Bathara Sthri Dyah Rani Suhita wafat (1447), perjanjian antar Tiongkok dan Majapahit ini mulai goyah, dan keberadaan warga Tiongkok perantauan mulai terancam.

Bagaimanakah kisah pergulatan etnis keturunan ini dengan pribumi Majapahit? Silakan ikuti pada Novel Sabda Palon 2 yang akan segera terbit Januari 2012 mendatang.





Penulis : Damar Shashangka.
Penyunting : Salahuddien Gz
Pemindai Aksara : Webri Veliana
Illustrasi : Sherika Sheroki

Penerbit : DOLPHIN
Jln. Ampera II No.29, Jakarta Selatan.
Telp : 021-78847301
E-mail : bunda_laksmi@yahoo.com






Jumat, 02 Desember 2011

Kisah Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan(2) Diterjemahkan oleh : Damar Shashangka

Babad Tanah Jawi, Balai Pustaka, 1939-1941
Bale Pustaka - Batawi Sèntrêm 1939

Diterjemahkan oleh :
Damar Shashangka
2011

 Bagian 2

Pupuh 14
Mijil




1. Kêkêmbên sinjang rasukan mami | ing wataraningong | pasthine ika karangkud bae | pasthi ika kêkecer ing margi | saking rika ugi | ngageti wong adus ||

Kêmbên dan busana milikku, perkiraanku, pastinya tercakup begitu saja (karena tergesa-gesa), dan lantas tercecer ditengah jalan, itu semua disebabkan oleh kedatangan andika, (yang telah) mengejutkan orang tengah mandi.


2. Baya mêndêm gadhung rika ugi | tan wruh ring wong wadon | Ki Jaka mesêm amanis linge | Wong ayu sampun runtik ing galih | apan ulun iki | dahat dening tambuh ||

Apakah anda mabuk gadhung, sehingga tiada melihat wanita (yang tengah mandi)? Ki Jaka tersenyum manis dan berkata, Cantik, janganlah marah-marah, (jujur) diriku ini sangat-sangat menginginkan dirimu.


3. Yen sêmbada lan karsanireki | dawêg apêpadon | Inggih ing supama-supamine | wontêna ingkang asung kulambi | sinjang lan cêmênthing | paran upahipun ||

Jikalau dirimu menyetujui, mari kita buat kesepakatan. Jika seandainya, ada orang yang memberikan busana, sinjang dan cêmênthing (ikat perut), apa yang akan menjadi upahnya?


4. Sang juwita ling ya anauri | Kalamun wong anom | sung sinjang cêmênthing kulambine | ingsun aku saudarawedi | yen wong tuwa ugi | bapa angkah ingsun ||

Sang juwita menjawab, Jikalau ada orang yang masih muda, memberikan sinjang cêmênthing serta busana, maka akan aku anggap sebagai saudara dekat. Jika dia orang sudah tua, akan aku anggap sebagai ayah angkat.


5. Kae Jaka ing Tarub sigra ngling | Bilih kita tamboh | inggih ulun ing mangke adarbe | sinjang rasukan lawan camênthing | nanging mangke taksih | ewêd pabênipun ||

Dan Jaka dari Tarub segera berkata, Dirimu sungguh menghendaki (busana), dan diriku sekarang memiliki, sinjang busana serta cêmênthing (yang kamu butuhkan). Akan tetapi saat ini, kesepakatan yang kita buat masih kurang memuaskan.


6. Yen makatêna kewala ugi | pabêne sang sinom | sayêkti dereng wontên mantrane | yen mêthukana lawan tyas mami | Dening kajêng mami | yen andika pêthuk ||

Jikalau hanya seperti itu, kesepakatan yang dibuat oleh dua orang muda, sungguh belum memiliki kekuatan. Yang menjadi kehendakku, serta yang menjadi keinginanku, dan jika dirimu setuju.


7. Inggih darbek kawula puniki | kula karya tukon | Yen kitarsa tômpa sayêktine | pasthi kita ulun karya rabi | apan darbe mami | inggih mung puniku ||

Apa yang aku bawa ini, akan aku buat sebagai mas kawin. Jikalau dirimu menerimanya maka sungguh, dirimu akan aku jadikan istri, sah menjadi milikku. Seperti itu mauku.


8. Lah punapa lêgaa ing galih | ing wiraos ingong | Yen wus suka Sang Ayu galihe | dawêg puniki dika tampeni | Yen wus dika tampi | ing sapasrah ulun ||

Nah, apakah dirimu paham, apa yang menjadi maksudku? Jikalau dirimu cantik telah ikhlas, segera terimalah, dan jika sudah kamu terima, sesuai kesepakatan tadi.


9. Lah kita dadia rabi mami | Darbek dadi tukon | puniku yen sêmbada karsane | Sang Dyah Ayu emêng tyas tanpa ngling | Ki Jaka ngling malih | Kadipundi kayun ||

Maka dirimu akan menjadi istriku. Apa yang aku bawa inilah sebagai maskawin, itupun jika dirimu menyetujui. Sang Dyah Ayu beku hatinya dan tak bisa berkata-kata. Ki Jaka lantas berkata lagi, Bagaimanakah keputusanmu?


10. Sampun mindêl kemawon ta Gusti | ecane tyas ingong | sang dyah ayu kewêdan ri linge | sarya tumungkul angum jro warih | sangsaya mlas-asih | citrane Sang Ayu ||

Jangan hanya berdiam diri Gusti Ayu, berikan jawaban agar puas hatiku. Sang Dyah Ayu ketakutan mendengar ucapan itu, membalikkan badan dan merendam diri didalam air, tampak kasihan sekali, wajah Sang Ayu.


11. Ling ya Ki Jaka Lah kadipundi | ecane tiningong | Sang Dyah Ayu anulya dan linge | Inggih yen kita tulus nyukani | sinjang lan kulambi | maring raganingsun ||

Berkata kembali Ki Jaka, Bagaimana? Berikan jawaban. Sang Dyah Ayu lantas menjawab pelan, Baiklah, jikalau dirimu memang berniat tulus memberi, sinjang dan busana, kepada diriku.


12. Mugi andika tulusa dadi | samitra sayêktos | ing ingaran sudarawedine | Nene ing jangji salakirabi | pan lênggana mami | yen dadia dhaup ||

Semoga andika juga tulus hati, menjadi teman, bagaikan saudara dekat tak terpisahkan. Sedangkan mengenai pernikahan, diriku belum bisa memberikan jawaban, akan hal tersebut.


13. Kae Jaka sigra denira ngling | Lah ta yen mangkono | yen kusuma tan arsa kramane | pasthi manira nora ngaturi | ngaran kêthek langking | baya durung kontung ||

Jaka Tarub segera berkata, Jikalau hanya seperti itu, jika sang bunga tiada mau aku nikahi, pastilah diriku tak akan memberi, bagai kera kebingungan, sungguh belum bahagia hatiku.


14. Yen apanggiha awak puniki | lan sang liring sinom | yêkti tan asung ulun pasthine | Sang Kusuma kewêdan ing galih | angartikeng ati | paran têmahipun ||

Jika belum bersatu diriku, dengan dirimu, pastilah aku tak akan memberikan (busana ini). Sang Bunga ketakutan dalam hati, membatin, bagaimana akhirnya nanti.


15. Yen tan nurutana ingsun iki | ing sakarsanya wong | yêkti awet ngong neng toya kene | Lawan ingsun sidaa apanggih | kalawan wong iki | paran polah ingsun ||

Jika diriku tak menuruti, atas kehendak manusia ini, pastilah diriku akan terus berendam didalam air seperti ini. Akan tetapi jika diriku benar-benar harus menikah, dengan manusia ini, bagaimana harus menjalani?


16. Dening manusa lan widadari | baya raganingong | Uwus karsaning dewa yêktine | kaya ngapa gon ingsun gumingsir | Nawangwulan angling | Lah iya ki bagus ||

Dirinya bidadari dan orang itu manusia biasa, bagaimana nanti nasibku? Tapi jika memang sudah menjadi kehendak Dewata, bagaimana lagi bisa dihindari? Nawangwulan lantas berkata, Baiklah, Ki Bagus.


17. Raga manira iki ing mangkin | karsanira ngrêngkoh | Nanging manira sungana age | sinjang kasamêkan lan kulambi | Ki Jaka nulya glis | ngulungakên sampun ||

Diriku ini sekarang, kupasrahkan kepada andika untuk dimiliki. Segera berikan, sinjang kasêmek (cêmênthing) dan busana. Ki Jaka bergegas, memberikan semuanya sudah.


18. Sinjang rasukan sampun den tampi | mring Sang Ayu gupoh | dyan rinasuk pasungsung sakehe | Ki Jaka dahat suka tyasneki | Sang Rêtna nulya glis | mêntas saking ranu ||

Sinjang busana sudah diterima, oleh Sang Ayu dengan buru-buru dan segera dipakai semuanya. Ki Jaka sungguh senang dalam hati. Sang Ratna segera, keluar dari air.


19. Tan antara nulya den aturi | wau sang lir sinom | mring Ki Jaka mantuk ing wismane | Ya ta lumampah tiyang kêkalih | Ki Jaka umiring | lumakya ing pungkur ||

Tak berselang lama lantas diajak, sang cantik, oleh Ki Jaka untuk pulang ke wiisma. Segera berjalan keduanya. Ki Jaka mengikuti, berjalan dibelakang.


20. Tan kuciwa Sang Dyah dadya rabi | pinet ing pasêmon | lwir Kamajaya lawan Ratihe | Sang Dyah lumampah tumungkul isin | gêgêtun tan sipi | ri polah kagugu ||

Sungguh tak kecewa memperoleh Sang Dyah sebagai istri, jika dilihat, bagaikan Kamajaya dan Dewi Ratih. Sang Dyah berjalan sembari menunduk malu, sebenarnya sangat kecewa, terhadap keputusan yang telah diambil.


21. Dene tan anyana tan angimpi | ring tyas sang lir sinom | yen manusa kang dadya lakine | Wus anyipta ywan karsaning Widi | tan kêna wah gingsir | Wau lampahipun ||

Tak dinyana tiada diimpi-impikan, oleh Sang cantik, jikalau dirinya akan berjodoh dengan manusia biasa. Akhirnya dipupus semua sebagai kehendak Hyang Widdhi, yang tak bisa dihindari. Dan perjalanan sudah.


22. Sampun prapta ing wismanireki | Ni rôndha duk anon | mring kang putra pinalayon age | gupuh rinangkul putranirèki | Sira têka ngêndi | gusti anak ingsun ||

Sampai di wisma. Nyi Rondha begitu melihat, kedatangan putranya segera berlari, gugup dirangkulanya sang  putra. Darimana dirimu, duh anakku?


(Bersambung)

By Damar Shashangka 2 Desember 2011