Menyelam ke dasar Nusantara
Syiwa Buddha sebagai Semangat Dasar Pluralitas
oleh
pada 23 Desember 2010 jam 9:58
Avalokitesvara
T |
erdapat suatu air yang dalam terminologi Hindu dinamakan Amrta Tirta-air keabadian, atau dalam istilah Syiwa-Buddha dikenal dengan nama Kamandhanu di mana air tersebut merupakan air yang diperebutkan oleh berbagai jenis mahluk apakah Dewa/Sura ataupun Asura, Ditya dan Aditya, naga dan garuda dan sebagainya. Selain dapat membawa berkah, Air ini bisa juga menimbulkan malapetaka di dunia seperti berbagai bencana alam, malapetaka, epidemi, kelaparan dan sebagainya sebagai indikator perubahan jaman-kiamat peradaban (peralihan masa Yuga). Dalam panteon Buddhis, Boddhisatva Avalokitesvara sering juga dimanifestasikan dengan Sosok mahluk suci yang sedang membawa botol yang berisi air kehidupan yang mampu mengubah segala bencana, petaka menjadi berkah mulia. Hal ini bermakna bahwa potensi kesadaran Yang Melihat dan Yang Mendengar – Avalokita, yang berada di setiap batin semua mahluk (bodhicitta) merupakan suatu kekuatan transformasi diri yang mampu mengubah fenomena menjadi realitas, kekacauan menjadi keharmonisan, keos menjadi pembentukan kembali. Transformasi di sini dapat memiliki makna sikap kesadaran diri, penerimaan, keterbukaan dengan apa adanya di setiap sisi kemanusaian kita. Sesungguhnya apa yang nampak sebagai fenomena kehidupan ini merupakan cermin dari keadaan mental manusianya secara akumulatif. Dalam hal ini, pandangan Siwa Buddha lebih pada keselarasan antara buana ageng dan buana alit- makro kosmos dan mikro kosmos.
Hari ini, ketika orang membicarakan tentang pluralitas seseorang cenderung mengkaitkannya dengan Agama, akan tetapi makna agama yang ada demikian kabur. Yang seharusnya menjadi tuntunan hanya menjadi tontonan, yang seharusnya tontonan malah menjadi panutan. Selebriti dan pemuka agama tidak lagi dapat dibedakan, Agama dan Partai begitu serupa tapi tak sama. Dalam serat Dharmogandul sebuah sastra yang menceritakan tentang runtuhnya Kerajaan Wilwatikta-Majapahit, terdapat perumpamaan yang menggambarkan tentang agama Wahyu, Ilmu pengetahuan dan Agama Buddhi. Ki Kalam Wadi bertutur tentang perumpamaan ini kepada Dharmogandul bahwa Agama Wahyu dapat diibaratkan dengan Buah yang telah jatuh dari pohon kemudian dimakan oleh seseorang, buah iptek adalah buah yang belum matang tapi sudah dipetik dan dikonsumsi, sedangkan buah Buddhi adalah buah yang benar-benar telah masak di pohon, dipetik untuk kemudian baru dikonsumsi. Dalam Sastra tersebut diprediksikan bahwa Agama Buddhi akan dijadikan panutan oleh manusia Nusantara setelah lima ratus tahun runtuhnya Wilwatikta-Majapahit. Agama Buddhi di sini dapat kita maknai sebagai sebuah kesadaran plural dalam pencarian spiritualitas sejati tanpa tersekat oleh lembaga-lembaga keagamaan.
Diperlukan suatu introspeksi ke dalam diri kita masing-masing dalam artian suatu proses untuk jujur dan berani hidup untuk memahami ketakutan-ketakutan yang menyertai kehidupan keseharian dalam proses pergaulan antar manusia dengan berbagai keragamannya. Bercermin seperti ini tidaklah dapat dilakukan tanpa memaksa kepada diri sendiri masing-masing untuk terus-menerus menyadari bahwa kemanusiaan merupakan suatu kekuatan terbesar manusia untuk mempertahankan keberlangsungan hidupnya. Justru sesungguhnya dengan adanya keragaman akan memperkaya sebuah peradaban, ibarat seperti indahnya bunga yang beraneka warna yang dirangkai dari berbagai macam jenis bunga maka sikap toleransi akan tumbuh menjembatani hubungan-hubungan antar manusia. Hal ini tidak bisa dilakukan hanya sebatas formalitas belaka. Toleransi formalitas adalah keadaan yang seolah-olah dalam tanda kutip penuh kepura-puraan. Adanya toleransi dan penghormatan atas keragaman hanyalah sejauh di dalam tutur semu (Lamis), namun di dalam hatinya masih terdapat ketakutan-ketakutan yang berkecamuk terhadap bahaya yang dapat mengancam terhadap identitas pribadi, kelompok maupun wilayah oleh pihak lainnya.
Bhineka Tunggal Ika Lambang Negara
Perbedaan adalah keniscayaan, sungguhlah mustahil untuk menghindarinya atau menghilangkannya dengan alasan apapun, bahkan atas nama agama sekalipun. Toleransi sejati hanya dapat terwujud apabila kesadaran dengan wawasan yang luas dan terbuka digunakan untuk mengatasi segala sekat-sekat perbedaan yang ada. Toleransi dapat menumbuhkan sikap rendah hati yang dapat dijadikan sebagai pilar penyangganya, memiliki keberanian dalam menghadapi kenyataan bahwa hidup adalah berragam adalah sebagai pondasinya. Tak satupun atas nama keyakinan apapun menjadikan alat untuk mengintimidasi pihak lain atau sebagai upaya dalam merancang sistematik penyeragaman keyakinan. Sehingga tidaklah akan terjadi saling klaim adanya satu ajaran memiliki satu-satunya paspor jalan tol menuju surga. Kepentingan politik identitas saat ini sudah sampai pada titik melupakan bahwa negeri ini adalah bhineka tunggal ika. Bahwa Indonesia didirikan atas dasar keragaman.
Berdasarkan prasasti berbentuk kropak berupa logam-logam tipis Bhagapur dari raja Narayanapala berangka tahun 854-908 setelah masehi, ajaran Syiwa yang datang ke Indonesia diperkirakan datang dari Bengal, sama seperti Buddha tantra. Ajaran Syiwait di Bengal yang berkembang saat itu sampai sekarang termasuk dalam mazab Pasupata yang didirikan oleh Srikanthanatha. Dalam prasasti di Jawa nama-nama murid Srikanthanata ini dalam formula sumpah prasasti-prasati Jawa diberi kode nama Patanjali. Karena itu sejak Pancakusika, para murid Srikanthanatha membuat catatan pada lempengan tembaga kanca, 860 setelah masehi, inilah yang kemudian memasuki Jawa, disebutkan sebagai sektarian Syiwaisme India pertama yang memasuki Nusantara, namun menurut Kern bahwa pejalan-pejalan China telah menemukan kaum brahmana tersebut dalam abad ke-5. Sedang Buddhis memiliki riwayatnya memasuki Nusantara via Sumatra, bahkan pada abad ke- 7 telah mengembangkan seperangkat kesusastraan dan model sadhana. Kemudian pada abad 8 dan 9 Masehi telah berkembang Tantrisme Syiwa dan Buddha walaupun saat itu simbol-simbol yang diangkat masih berbeda-beda. Namun elemen-elemen mistik Tantrisme Budhaa, seperti Wajrayana, Sahajayana dan kalacakrayana berdasarkan filosofisnya diberikan oleh Yogacara dan sistem filsafatnya madyamika, inilah yang berproses secara generik dengan sebutan Mantrayana.
Dengan mode sadhana yang rumit, baik Syiwa dan Buddha memberikan tanda peninggalannya, yakni jika filosofi Wajradhara nampak pada Borobodur, maka Pasupata nampak pada Candi Prambanan. Dari sini mulai populer sebutan Syiwa Siddhanta, yang dapat dilacak setidaknya ke pertengah abad sembilan. Namun jika kesusatraan Tantra Syiwa Jawa yang ada sekarang digunakan sebagai panduan, paham Siddhanta adalah bermuara pada Jawa timur. Ide-ide Syiwa-Buddha ini dapat juga disusuri ke wilayah Bengal, namun baru setibanya di Jawa dan Bali dapat menjadi realitas. Spirit toleransi ini secara meluas dicerminkan dalam kesusatraan dan prasasti-prasati Jawa Kuno. Pada jaman Majapahit, dapat disimpulkan bahwa jaman ini adalah jaman dimana Sinkretisme sudah mencapai puncaknya. Agaknya aliran Syiwa dan Buddha dapat hidup bersamaan. Keduanya dipandang sebagai bentuk yang berragam dari suatu kebenaran yang sama. Syiwa dan Buddha dipandang sama nilainya dan mereka digambarkan sebagai 'Harihara' yaitu patung setengah Syiwa setengah Buddha. Didalam kitab Arjunawijaya diceritakan bahwa ketika Arjunawijaya memasuki candi Buddha, para bhikkhu menerangkan bahwa para Jina dari penjuru alam yang digambarkan pada patung-patung itu adalah sama saja dengan penjelmaan Syiwa. Wairocana sama dengan Sadasyiwa yang menduduki tempat tengah. Aksobya sama dengan Rudra yang menduduki tempat timur. Ratnasambhawa sama dengan Brahmaa yang menduduki selatan, Amitabha sama dengan Mahadewa yang menduduki barat dan Amogasiddhi sama dengan Wishnu yang menduduki utara. Oleh karana itu para bhikkhu tersebut mengatakan tidak ada perbedaan antara agama Buddha dengan Syiwa. Dalam kitab 'Kunjarakarna' disebutkan bahwa tiada seorangpun, baik pengikut Syiwa maupun Buddha yang bisa mendapat kebebasan sejati jika ia memisahkan yang sebenarnya satu, yaitu Syiwa-Buddha.
Sutasoma adalah itihasa dari paham Syiwa Buddha ini, selain Ramayana dan Mahabharata. Sutasoma memiliki sejarah yang panjang saat memasuki nusantara. Bahkan tercatat di era Dalem Waturenggong + tahun 1472, saat itulah Danghyang Nirarta mengajarkan agama di Bali. Beliau menasehatkan, "Apan tiwas juga sirang muni Budhha paksa. Yan tan wruhing para tatwa Syiwattwa marga. Mengkang munindra sangapaksa Syiwattwa yoga. Yan tan wruh ing Parama tattwa jinatwa manda,": "Karena dipandang kurang sempurna juga bila seorang pendeta penganut Buddha, jika tidak tahu akan inti ajaran Syiwa. Demikian pula para pendeta penganut Syiwa dipandang tidak sempurna,jika tidak tahu inti ajaran Buddha," Dalam ajaran Syiwa, huruf sucinya adalah Ongkara, dalam ajaran Buddha huruf sucinya adalah Hrih. Dalam bahasa langitnya, zat itu itu dua senyawa, yaitu Purusha dan Pradhana, dalam ajaran Syiwa itulah Rwabhineda, yakni Syiwa dan Uma, sedangkan dalam ajaran Buddha dinamai Adwaya-Adwayajnyana, atau Adwaya-Prajnyamita. Rwabhineda inilah juga disebut sebagai Arddhanaresywari, atau dalam Buddha disebut Adwaya-Prajnyamita. Apabila itu dipahami sebagai tiga segi dikenal sebagai Tri Murti, Tri Purusa atau Tyrnuka : Upati, Stithi dan Pralina (Tri Kona). Dalam ajaran Syiwa, Brahmaa, Wishnu dan Syiwa, yang menguasai tri bhuwana: Bayu, Syabda dan Idhep, dst.
Dari itihasa Sutasoma, yang populer hanyalah kata Bhineka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrwa. Namun tidak dijelaskan asal kalimat indah itu, bahwa itu bukanlah bahasa slogan yang muncul dengan spontan. Namun kalimat itu adalah hasil dari proses toleransi sejati, dialog mendalam dan penuh keiklasan untuk menjaga hidup kemanusiaan. Kalimat itu adalah pengingat dan inspirasi untuk selalu mengutamakan penghormatan sungguh-sungguh kepada perbedaan, bukan basa-basi, bukan sebatas formalitas.
Hal ini tampak juga dari cerita Bubuksah sebuah cerita yang juga dilukiskan di relief candi Panataran. Dua saudara yang tua bernama Gagang Aking, pengikut Syiwa dan Bubuksah pengikut Buddha, sejak muda hidup sebagai pertapa di gunung Wilis. Bubuksah makan segala sesuatu yang dapat dimakan sedangkan Gagang Aking memakan sayuran saja. Mereka berdebat tentang dua pertapaan ini. Kemudian dewa Mahaguru mengutus Kala Wijaya dalam wujud harimau putih untuk menguji kedua anak itu. Ketika harimau putih datang ke Gagang Aking, dinasehatinya supaya pergi saja keadiknya karena tubuhnya lebih gemuk. Ketika harimau itu tiba ditempat Bubuksah, dengan sengaja ia merelakan dirinya untuk disantap, supaya ia lepas dari dunia fana ini. Dari sini jelaslah bahwa Bubuksah itu pengikut Buddha yang suci sekalipun ia tidak keras dalam tapanya. Ia mendapat tempat di surga. Cerita ini mengungkapkan suatu polemik, yang menunjukan keunggulan agama Buddha. Sekalipun demikian carrita ini dilukiskan pada candi Panataran. Dari sini makin jelas bahwa unsur-unsur indonesia asli makin kedepan yang diuraikan dalam bentuk agama Hindhu dan Buddha. Dalam perubahan jaman berikutnya cerita tentang bukbuksah dan gagang aking ini digubah disesuaikan dengan kondisi kultur baru yang berkembang menjadi cerita Syekh Bela-belu dan Syekh Maulana.
Belajar kepada susastra Sutasoma, belajar kepada jalan kemuliaan yang melahirkan ajaran toleransi sejati, bukanlah untuk mendorong semua pihak yang berbeda meninggalkan ajarannya masing-masing. Namun mendorong semua pihak untuk ke dalam pribadi membangun konsep berpikir dan pola bertutur yang berdasarkan kesejatian ajaran masing-masing, disertai pengetahuan sejarah dan tradisi yang menyertainya. Menilik kitab Sutasoma tentang kemarahan Kalarudra yang hendak membunuh Sutasoma, titisan Buddha. Diceritakan bahwa para dewata mencoba meredakan Kalarudra dengan mengingatkan bahwa sebenarnya Buddha dan Syiwa tidak bisa dibedakan. Jinatwa (hakekat Buddha) adalah sama dengan Syiwatattwa (hakekat Syiwa). Selanjutnya dianjurkan agar orang merenungkan Syiwa-Buddha-tattwa, hakekat Syiwa-Buddha. Dalam khasanah sastra nusantara, terdapat serapan cerita yang boleh jadi bersumber dari kisah Sutasoma ini, seperti cerita tentang Ratu Boko yang gemar makan daging manusia yang berperang dengan Ratu adil Pengging. Selain itu Kisah datangnya Ajisaka dari pulau Majethi ke tanah Jawa membawa peradaban baru melawan Dewata Cengkar yang gemar memakan daging manusia.
Pencapaian kearifan ini, bukanlah proses sehari jadi, tidaklah juga karena semata-mata menanti datangnya kesadaran. Namun melalui proses dialog mendalam dan dengan didukung oleh kebijakan politik yang mendorong, agama sejatinya adalah menyelamatkan kemanusiaan manusiannya itu sendiri. Menyelam ke dasar Nusantara berarti berupaya menggali apa yang menjadi jati diri bangsa ini. Sesuatu yang secara universal dapat menembus batas-batas, sekat-sekat yang mampu memecah belah suatu bangsa seiring dengan dunia yang semakin tanpa batas terbesit suatu pertanyaan-pertanyaan John Lenon dalam lagunya Imagine, ketika tidak ada agama, tidak ada negara, tidak ada ...... apakah saat itu dunia penuh dengan kedamaian-Utopia.
Sumber: http://jv.wikipedia.org/, http://www.geocities.com/,
TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia),
Inspirasi dari UdaWi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar