Sabtu, 25 Desember 2010

SÊRAT WEDATAMA (6 - Tamat)

Sêrat Wedatama

Yasan Dalêm

(Karya Paduka):

Kangjêng Gusti Pangeran Arya Adipati

Mangkunegara IV

Kawangun saha kababar mawi basa Indonesia dening :

(Diterjemahkan dan diulas ke dalam bahasa Indonesia oleh: )

Damar Shashangka

2010




Pupuh V

K inanthi




1. Mangka kantining tumuwuh, salami mung awas eling, eling lukitaning alam, wêdi wiryaning dumadi, supadi nir ing sangsaya, yeku pangrêksaning urip.

Oleh karenanya sebagai pegangan hidup, selamanya haruslah Awas dan Ingat, Ingat pada sabda alam (hukum alam – Hukum Sebab Akibat), takut kepada kemuliaan makhluk hidup (maksudnya menghargai Ke-Illahi-an yang ada didalam badan seluruh makhluk hidup), agar jauh dari segala penderitaan, itulah cara untuk menjalani hidup.


2. Marma den tabêri kulup, angulah lantiping ati, rina wêngi den anêdya, pandak-panduking pambudi, bêngkas kahardaning driya, supadya dadya utami.

Oleh karenanya rajin-rajinlah anakku, mengolah tajamnya hati (kesadaran), siang dan malam berusaha, mampu menambah/meningkatkan kesadaran, menyingkirkan kekotoran batin, agar menjadi utama.


3. Pangasahe sêpi samun, aywa êsah ing salami, samangsa wis kawistara, lalandhêpe mingis-mingis, pasah wukir Rêksamuka, kêkês srabedaning budi.

Pengasahnya adalah kondisi hening, jangan sampai tergoyahan selamanya, jika sudah berhasil akan terlihat, tajamnya tiada tara, mampu menghancurkan Gunung Reksamuka (Sebuah Gunung yang didaki oleh Bhima Suci dalam mencari Kesejatian, bisa juga diartikan ; Gunung – Sebuah penghalang/perintang, Reksa – Memfokuskan diri pada, Muka – Wajah. Sebuah penghalang untuk memfokuskan kesadaran dalam mengamati diri sendiri/wajah sendiri/ego sendiri : Damar Shashangka), akan menyerah kalah segala penghalang kesadaran murni.


4. Dene awas têgêsipun, wêruh warananing Urip, miwah wisesaning tunggal, kang atunggil rina wêngi, kang mukitan ing sakarsa, gumêlar ngalam sakalir.

Dan yang dimaksud Awas, tahu akan penghalang/hijab/illusi yang menghalangi kesejatian Hidup, serta tahu akan penghalang/hijab/illusi dari yang Mempunyai Kewenangan Tunggal, yang sesunguhnya Tunggal siang dan malam (dengan diri kita), yang berkehendak tiada batas, yang melingkupi diseluruh penjuru alam semesta.


5. Aywa sêmbrana ing kalbu, wawasên wuwus sireki, ing kono yêkti karasa, dudu ucape pribadi, marma den sêmbadeng sêdya, wêwêsên praptaning uwis.

Jangan ceroboh dalam bersikap, hati-hatilah dalam berbicara, nyata disana akan terasa, bukan ucapan pribadi, oleh karenanya harus benar-benar memegang niat yang kuat, peganglah hingga sampai pada tujuan (Kesejatian Purna)


6. Sirnakna sêmanging kalbu, den waspada ing pangeksi, yeku dalaning kasidan, sinuda saka sathithik, pamothahing napsu hawa, linalantih mamrih titih.

Hilangkan segala keragu-raguan, waspadakan penglihatan kesadaranmu, itulah jalan kesempurnaan, kurangilah segalanya sedikit demi sedikit, segala keinginan nafsu angkara, latihlah kesadaranmu pelan-pelah hingga mahir.


7. Aywa mamatuh nalutuh, tanpa tuwas tanpa kasil, kasalibuk ing srabeda, marma dipun ngati-ati, urip keh rêncananira, sambekala den kaliling.

Jangan terus dirundung ketidak puasan diri, tiada akhir dan tak ada hasil sikap demikian itu, jelas telah terkena penghalang batin, oleh karenanya harus hati-hati, dalam hidup penuh godaan, segala penghalang waspadakanlah benar-benar.


8. Upamane wong lumaku, marga gawat den liwati, lamun kurang ing pangarah, sayêkti karêndhêt ing ri, apêse kasandhung padhas, babak bundhas anêmahi.

Diumpamakan manusia yang tengah berjalan, melewati jalan yang sangat berbahaya, jika kurang kehati-hatiannya, pastilah tersayat duri, lebih parah terantuk batu padas yang tajam, babak belur pada akhirnya.


9. Lumrah bae yen kadyeku, atêtamba yen wis bucik, duwea kawruh sabodhag, yen ta nartani ing kapti, dadi kawruhe kinarya, ngupaya kasil lan melik.

Lumrahnya jika sudah seperti itu, baru mencari obat jika sudah terluka parah, ingatlah walau memiliki pengetahuan sebanyak apapun, jika tidak bisa memahami, maka segala pengetahuannya hanya dibuat, untuk mencari keuntungan dan pamrih semata.


10. Mêloke yen arsa muluk, muluk ujare lir wali, wola-wali nora nyata, anggêpe pandhita luwih, kaluwihane tan ana, kabeh tandha-tandha sêpi.

Keajaibannya hanya jika berbicara semata, berbicara bagai seorang wali, berkali-kali tak terbukti ucapannya, menganggap dirinya seorang pandhita yang sudah sempurna, padahal tak ada kelebihan apapun dalam dirinya, sepi dari segala tanda-tanda keutamaan.


11. Kawruhe mung ana wuwus, wuwuse gumaib gaib, kasliring thithik tan kêna, mancêrêng alise gathik, apa pandhita antiga, kang mangkono iku kaki.

Pengetahuannya hanya ada didalam ucapan belaka, ucapannya sok gaib, diprotes sedikit tidak mau, raut mukanya akan keruh dan alisnya akan menyatu (marah/tersinggung), apakah pantas disebut pandhita yang mempunyai benih keutamaan, manusia yang sedemikian itu oh anakku?


12. Mangka ta kang aran laku, lakune Ngelmu Sajati, tan dahwen pati openan, tan panasten nora jail, tan njurungi ing kaardan, amung ênêng mamrih êning.

Padahal yang dinamakan laku, laku dari Ilmu Sejati, tak suka mencela dan tak suka mencampuri urusan orang lain, tidak gampang marah dan jahil, tidak mendorong orang untuk melakukan keburukan, hanya tenang agar hening.


13. Kunanging budi luhung, bangkit ajur ajer kaki, yen mangkono bakal cikal, thukul wijining utami, nadyan bênêr kawruhira, yen ana kang nyulayani.

Dengan sikap seperti itu (Tenang agar Hening), akan bangkit kesadaran untuk menghargai sesama, dan disana adalah tempat, bertumbuhnya benih keutamaan, walaupun benar pemahamannya, jika ada yang membantah.


14. Tur kang nyulayani iku, wus wruh yen kawruhe nêmpil, nanging laire angalah, katingala angêmori, mung ngenaki tyasing liyan, aywa êsak aywa sêrik.

Dan yang membantah tersebut, hanya sekedar tahu dari kata orang (belum membuktikan sendiri dalam sebuah pendakian spiritual), maka orang yang sadar harus mengalah, tetap bergaullah, hanya untuk sekedar menyenangkan hati orang lain, jangan mendendam jangan membenci.


15. Yeku ilapating wahyu, yen yuwana ing salami, marga wimbuh ing nugraha, saking Hêb Kang Maha Suci, cinancang pucuking cipta, nora ucul-ucul kaki.

Begitulah cara memelihara wahyu (kesadaran diri), jika bisa teguh selamanya, adalah jalan untuk mendapatkan tambahan anugerah, dari Kasih Yang Maha Suci, ikatlah diatas puncak kesadaranmu, jangan sampai terlepas lagi.


16. Mangkono ingkang tinamtu, tampa nugrahaning Widdhi, marma ta kulup den bisa, mbusuki ujaring janmi, pakoleh lair batinnya, iyeku budi prêmati.

Begitulah manusia yang ditentukan, mendapat anugerah Hyang Widdhi, oleh karenanya anakku seyogyanya, bersikap mengalahlah kepada sesama, hasilnya untuk lahir dan batinmu, adalah kesadaran yang stabil.


17. Pantês tinulad tinurut, laladane mrih utami, utama kêmbanging mulya, kamulyaning jiwa dhiri, ora yen ta ngêplêkana, lir leluhur nguni-uni.

Pantas untuk dicontoh dan ditauladani, tingkah laku semacam itu agar bisa menjadi utama, keutamaan bunga dari kemuliaan, kemuliaan jiwa dan diri, bukan berarti harus bisa menyamai persis, sebagaimana keutamaan leluhur masa lalu.


18. Ananging ta kudu-kudu, sakadarira pribadi, aywa tinggal tutuladan, lamun tan mangkono kaki, yekti tuna ing tumitah, poma kaestokna kaki.

Akan tetapi berusahalah, semampu diri sendiri, jangan meninggalkan suri tauladan yang baik, jikalau tidak oh anakku, akan rugi menjadi seorang manusia, oleh karenanya perhatikan sunguh-sungguh semua nasehatku ini.



(Tamat)

(25 Desember 2010, by Damar Shashangka)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar