Sabtu, 18 Desember 2010

SÊRAT WEDATAMA (5)

Sêrat Wedatama

Yasan Dalêm

(Karya Paduka):

Kangjêng Gusti Pangeran Arya Adipati

Mangkunegara IV

Kawangun saha kababar mawi basa Indonesia dening :

(Diterjemahkan dan diulas ke dalam bahasa Indonesia oleh: )

Damar Shashangka

2010

Pupuh IV

Gambuh


16. Samêngko kang tinutur, sêmbah katri kang sayêkti katur, mring Hyang Sukma sukmanên sahari-hari, arahên dipun kacakup, sêmbahing Jiwa sutengong.

Sekarang yang hendak dituturkan, sembah ketiga (Sembah Jiwa : Haqiqat : Damar Shashangka) yang harus sungguh-sungguh dihaturkan, kepada Hyang Suksma (Tuhan) wujudkanlah (sembah ini) dalam keseharianmu, arahkan agar seluruhnya tercakup, tercakup seluruh isi Jiwamu untuk menghaturkan sebuah sembah, anakku.

17. Sayêkti luwih prêlu, ingaranan pêpuntoning laku, kalakuan kang tumrap bangsaning batin, sucine lan Awas Emut, mring alame alam amot.

Sungguh sembah ini sangat penting, bisa dianggap sebagai puncak dari laku, laku dari segala laku bathin, sarana untuk bersucinya dengan Kesadaran yang senantiasa Awas dan Ingat (maksudnya Awas kepada munculnya kembali kekotoran bathin dan Ingat selalu pada kemurnian Kesadaran itu sendiri : Damar Shashangka), pada tingkat ini kondisi batin sudah menapaki sebuah alam dimana seluruh alam termuat sudah disana.

18. Ruktine ngangkah ngukut, ngikêt ngrukut triloka kakukut, Jagad Agung ginulung lan Jagad Cilik, den kandêl kumandêl kulup, mring kêlaping alam kono.

Usahakan mengarahkan Kesadaran untuk menarik, mengikat dan mengambil seluruh triloka (maksudnya seluruh kesadaran rendah badani : Damar Shashangka), selanjutnya satukan Kesadaran diri dengan Kesadaran Semesta Raya, perkuat Kesadaranmu anakku, akan godaan gemerlapnya ego yang bisa muncul kembali.

19. Kêlême mawa limut, kalamatan jroning alam kanyut, sanyatane iku kanyataan kaki, sajatine yen tan emut, sayêkti tan bisa awor.

(Sebab) Bisa terbenam/jatuh lagi tingkat Kesadaran yang telah diperoleh tersebut disebabkan oleh sebuah penghalang, penghalang nan lembut yang terbersit dari alam yang menghanyutkan (alam yang menghanyutkan adalah alam ego, inilah sebuah penghalang lembut yang akan menjatuhkan kembali Kesadaran seorang pelaku spiritual jika tidak senantiasa waspada : Damar Shashangka), sungguh hal ini adalah suatu kenyataan yang banyak terjadi, manakala dirimu tidak senantiasa Ingat, maka akan gagal untuk bisa menyatu.

20. Pamête saka luyut, sarwa sareh saliring panganyut, lamun yitna kayitnan kang mitayani, tarlen mung pribadinipun, kang katon tinonton kono.

Kegagalan sering terjadi disebabkan keterhanyutan, oleh karenanya harus tenang menghadapi segala hal yang menghanyutkan, jikalau dirimu mampu tetap waspada maka meningkat pula kewaspadaan Kesadaran, dan TAK LAIN HANYA DIRI KITA SENDIRI, YANG TERLIHAT DAN KITA SAKSIKAN DISANA.

21. Nging aywa salah surup, kono ana sajatining Urub, yeku Urup Pangarêp Uriping Budi, sumirat sirat narawung, kadya kartika katongton.

Akan tetapi jangan sampai salah mengerti, yang kita lihat itu adalah Pancaran Nyala Perwujudan Kesadaran manusiawi kita (bukan Kesadaran Atma/Ruh kita : Damar Shashangka), nyala yang bersinar menyemburat dan menerawang, jika diamati bagaikan sorot cahaya bintang gemintang.

22. Yeku wênganing kalbu, kabukane kang wêngku winêngku, wêwêngkone wis kawêngku neng sireki, nging sira uga kawêngku, mring kang pindha kartika byor.

Disanalah letak pintu Hati, jika mampu membukanya maka akan menemukan rahasia dari Yang memangku dan yang dipangku (Gusti dan Kawula), seluruhnya sudah ada didalam dirimu, akan tetapi dirimu juga ada, didalam cahaya yang bagaikan bintang gemintang tersebut. (maksudnya cahaya bagaikan bintang itu tak lain adalah wujud Kesadaran kita sendiri : Damar Shashangka)

23. Samêngko ingsun tutur, gantya sêmbah ingkang kaping catur, Sêmbah Rasa karasa rosing dumadi, dadine wis tanpa tuduh, mung kalawan kasing Batos.

Sekarang aku hendak menuturkan, ganti sembah yang keempat, (yaitu) Sembah Rasa (Ma’rifat : Damar Shashangka) yang menyentuh inti rasa seluruh makhluk hidup, sudah tidak bias didefinisikan lagi, akan berjalan sendiri dengan ke-khas-an batin yang jernih.

24. Kalamun durung lugu, aja pisan wani ngaku-aku, antuk siku kang mangkono iku kaki, kêna uga wênang muluk, kalamun wus padha mêlok.

Manakala belum benar-benar mencapai tingkatan tersebut, jangan sekali-kali berani mengaku-aku, akan mendapatkan balak pengakuan palsu yang sedemikian oh anakku, boleh mengakui tingkatan Kesadaran spiritualnya telah mencapai taraf sedemikian itu, jikalau memang telah benar-benar mencapainya.

25. Mêloke ujar iku, yen wus ilang sumêlanging kalbu, amung kandêl kumandêl ngandêl mring takdir, iku den awas den emut, den mêmêt yen arsa momot.

Bukti dari pengakuan tersebut, bisa dilihat manakala yang mengaku telah hilang segala keresahan dan kecemasan batinnya, nyata hanya terlihat kuat keyakinannya kepada jalannya takdir (pasrah total), ingat-ingat dan awaslah, harus benar-benar jeli dalam melakukan penilaian.

26. Pamoring ujar iku, kudu santosa ing Budi têguh, sarta sabar tawêkal lêgaweng ati, trima lila ambêk sadu, wêruh wêkasing dumados.

Pamor (bukti nyata) dari pengakuan tersebut (selain ciri diatas), tak lain adalah kuat dan teguh Kesadarannya (berkesadaran stabil), sabar tawakal dan ikhlas, batin yang menerima dan rela serta senantiasa berkelakuan suci (sadhu : suci), bahkan ada yang mampu mengetahui jalannya takdir manusia (melihat masa yang belum terjadi : Damar Shashangka).

27. Sabarang tindak-tanduk, tumindake lan sakadaripun, den ngaksama kasisipaning sasami, sumimpanga ing laku dur, hardaning Budi kang ngrodon.

Segala tingkah lakunya, tidak berlebih-lebihan, senantiasa memaafkan segala kesalahan sesama, selalu menyimpang dari perbuatan angkara, yaitu segala perbuatan yang dihasilkan oleh Kesadaran yang tercemar.

28. Dadya wruh iya dudu, yeku minangka pandoming kalbu, ingkang buka ing kijabullah agaib, sêsêngkêran kang sinêrung, dumunung têlênging batos.

Sadar mana yang palsu dan mana yang sejati, kesadaran ini diperoleh dari Pandoming Kalbu (Sang Penuntun Hati tak lain adalah suara Roh/Atma atau Hati Nurani : Damar Shashangka), yang telah terbuka dari balutan Hijab (Dinding Penghalang) milik Allah Yang Gaib, yang senantiasa terahasiakan dalam gelap, yang berada dipusat batin.

29. Rasaning urip iku, krana momor pamoring sawujud, Wujuddullah sumrambah ngalam sakalir, lir manis kalawan madu, êndi arane ing kono.

Sesungguhnya hidup kita ini, adalah pamor dari kesatuan tunggal, Wujud Allah menyelimuti semesta raya, bagaikan rasa manis dan madunya, bagaimanakah kita bisa memisahkan keduanya?

30. Êndi manis êndi madu, yen wis bisa nuksmeng pasang sêmu, pasamoning hêbing Kang Maha Suci, kasikêp ing tyas kacakup, kasat mata lair batos.

Mana ‘manis’ dan mana ‘madu’, jika sudah menyadari rahasia ini, rahasia keteduhan (kasih) Yang Maha Suci, dan merasuk tercakup dalam kesadaran, maka Tuhan akan terlihat secara lahir maupun batin.

31. Ing batin tan kaliru, kêdhap kilap liniling ing kalbu, kang minangka colok cêlaking Hyang Widdhi, widadaning budi sadu, pandak panduking liru nggon.

Tidak tersamarkan lagi Kesadarannya, segala lintasan pikiran teramati, tak terkecoh lagi dengan hiasan-hiasan yang menutupi Kesejatian Hyang Widdhi, begitu kokoh Kesadaran sucinya. Namun pada kenyataannya masih banyak yang belum bisa menyadari.

32. Nggonira mamrih tulus, kalaksitaning reh kang rinuruh, gyanira mrih wikan warananing gaib, paranta lamun tan wêruh, sasmita jatining êndhog.

Agar supaya murni Kesadarannya, agar berhasil dalam laku tapa untuk meluruhkan kekotoran batin, dan agar bisa menyadari penghalang gaib kesejatian, manakala tidak memahami, tentang perlambang sebuah telor.

33. Putih lan kuningpun, lamun arsa titah têka mangsul, dene nora mantra-mantra yen ing lair, bisa alêliru wujud, kadadeyane ing kono.

Dimana putih dan kuningnya, jika kelak sudah hendak menetas, tak disangka-sangka wujudnya, bisa berganti, padahal disana.

34. Istingarah tan mêtu, lawan istingarah tan lumêbu, dene ing njro wêkasane dadi njawi, rasakna ingkang tuwajuh, aja kongsi kabasturon.

Tak teramati bagaimana bisa menjadi bagian luar (yang semula didalam), dan tak teramati bagaimana bisa menjadi bagian dalam (yang semula diluar), pada akhirnya bagian dalam menjadi bagian luar, renungkanlah apa yang aku maksudkan ini, jangan sampai tak memahami. (Telur adalah simbol Syariat/Kulit luar agama (Cangkang telur) sekaligus Hakikat/Inti sari agama (Putih dan Kuning telur). Jika Kesadaran pelaku spiritual sudah meningkat pesat, maka diibaratkan sebutir telur yang telah menetas dan berubah menjadi makhluk yang baru. Cangkang kulit luarnya telah musnah dan tak diperlukannya lagi. Dan banyak manusia yang belum bisa memahami Kebenaran ini. Banyak yang masih terus menganggap Syariat/Cangkang adalah segala-galanya. : Damar Shashangka)

35. Karana yen kabanjur, kajantaka tumêkeng saumur, tanpa tuwas yen tiwasa ing dumadi, dadi wong ina tan wêruh, dheweke den anggêp dhayoh.

Sebab jika terlanjur, akan menyesal seumur-umur, tiada arti dititahkan menjadi manusia, menjadi hina karena tak memahami, dirinya sendiri dianggap tamu.

1 komentar:

  1. izin share ya kang.. untuk menambah wawasan,,, hehehe,,,

    trims..

    BalasHapus