Senin, 13 Desember 2010

PARA ÊMPU DI TANAH JAWA

Para Êmpu di Tanah Jawa






(Diambil dari Buku BAB DHUWUNG, berbahasa Jawa Krama, oleh Ki Darmosoegito, terbitan Yayasan Penerbitan Jayabaya, Surabaya, 1989. Diterjemahkan oleh Damar Shashangka)



D

ari berbagai macam primbon yang saya ketahui, yang runtut (sistematis) hanya primbon yang berasal dari Kadilangu/Demak, gubahan almarhum Kangjêng Pangeran Wijil. Akan tetapi, almarhum Kangjêng Pangeran Wijil yang keberapa, hinggga sekarang belum diketahui pasti. Setahu saya, almarhum Pangeran Jayaprana, yang dimakamkan di Pasar Gêdhe (Ngayogyakarta), sebelum diangkat sebagai Pujangga di Mataram, juga bergelar Panêmbahan/Pangeran Wijil. Putra beliau, yang menjabat sebagai Pujangga di jaman Kartasura awal, juga bergelar Pangeran Wijil (pertama), dimakamkan di Sêtana Nglawihan. Putra beliau, yang menjabat sebagai Pujangga di jaman Kartasura akhir, juga bergelar Pangeran Wijil (yang kedua), dimakamkan di Sêtana Gêndok (Bintara-Dêmak). Yang menjabat sebagai Pujangga di jaman Surakarta awal, yaitu Kyai Jurumartani, dimakamkan di Pêngging, juga bergelar Pangeran Wijil (yang ketiga). Lantas yang berdiam di Kadilangu, hingga turun temurun sampai kelima, juga bergelar Pangeran Wijil. Padahal semua sosok yang disebutkan diatas adalah para sarjana terpelajar dalam hal sastra dan ilmu kebatinan.

Oleh karenanya, saya meyakini, primbon tersebut pastilah memiliki nilai kebenaran yang tidak bisa serta merta di nafikan begitu saja. Saya meyakini, catatan tersebut dibuat tidak dengan sembarangan belaka mengingat kredibilitas sang penulisnya.

Menurut isi primbon tersebut, Êmpu yang terbilang paling tua bergelar RAMAYADI, hidup dijaman SANG PRABHU SRI MAHA DEWA BUDA manakala beliau memerintah tanah Jawa. Diceritakan, pusaka-pusaka yang dibuat adalah pusaka yang sering terdengar di jagad pewayangan semacam : Konta, Pasopati, Sarotama, Cakra, Naggala, Trisula, Limpung, Dhuwung, Cundrik, Waos, Sabêt, Patrêm dan sejenisnya yang sering digunakan sebagai senjata untuk bertempur. Konon saat membuat tanpa menggunakan peralatan sebagaimana para pandhe pada jaman sekarang. Tidak mempergunakan api, Palu, Paron, Kikir, Ungkal (Batu asah) dan semacamnya. Hanya di kepal-kepal, dipijit-pijit bagaikan memijat tubuh manusia, dipanasi dengan udara yang dikeluarkan dari mulut, didinginkan dengan lidah serta air liur.

ÊMPU RAMAYADI memiliki putra ÊMPU SÊKADI. Pusaka buatannya juga terkenal ampuh tiada beda dengan pusaka buatan ramandanya.

ÊMPU SÊKADI berputra ÊMPU BRAMAKÊDHALI. Tosan Aji buatannya yang terkenal : Dhuwung (Kêris) dhapur (model) Tilam-Upih, yang diberinama Kyai Jakapituruh, Waos (Tombak) yang diberinama Kyai Tundhungmungsuh dan Kyai Kêdhêr.

ÊMPU BRAMAKÊDHALI berputra ÊMPU CAKANG. ÊMPU CAKANG konon sangat gagah dan tampan. Buatannya Curiga (Kêris) yang sangat terkenal ampuh serta memiliki daya perbawa besar, bernama Kyai Manglar Monga, serta Cundrik (Kêris Kecil) bernama Kyai Badher.

ÊMPU CAKANG berputra ÊMPU JANGGITA. Buatannya tidak pernah disebut, konon hanya membantu ramandanya serta melanjutkan pekerjaan ramandanya yang belum selesai. Mempunyai putra enam orang :

1. ÊMPU DEWAYASA

2. ÊMPU KI PURBAGÊNI

3. ÊMPU KI ANDONGPURWA

4. ÊMPU KYAI MAYANG

5. ÊMPU KI MUNDHINGBRATA

6. ÊMPU KI BRATALINUWIH

Seluruh putra-putra ini melanjutkan pekerjaan ramandanya. Membuat tosan-tosan aji yang banyak dipergunakan untuk senjata berperang. Akan tetapi buatan mereka tidak pernah disebutkan. Malahan kemudian yang tercatat dan terkenal melanjutkan pekerjaan sebagai Êmpu hanyalah sang cucu. Cucu yang lahir dari putra bungsu (KI BRATALINUWIH), yang lain tidak diketahui.

Putra ÊMPU KI BRATALINUWIH yang melanjutkan pekerjaan ramanda dan kakendanya hanya seorang, bernama ÊMPU GANDAWISESA. Sedangkan kakaknya KYAI KUMBAYANA terpikat untuk menjalankan tapa brata, lantas menjadi seorang Wiku (Bhiksu/Bhikku)

ÊMPU GANDAWISESA mempunyai enam orang putra :

1. ÊMPU KANDHANG AJI

2. ÊMPU WINDUNATADI

3. ÊMPU WINDUWIDAGDA

4. ÊMPU WINDU SARPA

5. ÊMPU HANDAYA SANGKALA

6. ÊMPU KAJAT SARI

Seluruh keturunan dari enam bersaudara ini, yang terkenal menonjol dalam sejarah Para Êmpu di tanah Jawa, hanya cucu dari ÊMPU KAJAT SARI.

ÊMPU KAJAT SARI mempunyai dua orang putra :

1. ÊMPU KAJAT JATIWISESA

2. ÊMPU BRAMAKÊDHI

KYAI BRAMAKÊDHI berputra KYAI ANJANI. KYAI ANJANI terkenal berperawakan halus, tampan, kegemarannya suka bertapa diatas puncak-puncak gunung diseluruh Jawa Barat.

KYAI ANJANI mempunyai seorang putra laki-laki bernama KYAI MÊRCUKUNDHA, seorang Êmpu yang sangat terkenal di jaman Pajajaran.

Mempunyai dua orang putra, yang sulung bernama KYAI SANGGABUMI sedangkan yang bungsu bernama KYAI MANCA.

Diceritakan, KYAI SANGGABUMI setelah menginjak dewasa, mengembara ke tanah Sumatera sebelah barat, menyebarkan keterampilannya membuat tosan aji diwilayah Minangkabau. Sedangkan yang bungsu, KYAI MANCA, meneruskan mengabdi di Pajajaran, dan sangat dekat dengan Sang Prabhu.

KYAI MANCA mempunyai empat orang putra, yaitu :

1. KYAI KUWUNG tampan dan gagah, tosan aji hasil buatannya berwarna Gêdhah (Kehijau-hijauan)

2. KYAI ANGGA, kegemarannya bertapa, tosan aji hasil buatannya berwarna hitam bagai kan gosong.

3. KYAI KÊLÊNG, tosan aji hasil buatannya, bilahnya seperti ada serpihan serutan halus kayu.

4. KYAI SOMBRO, seorang Êmpu wanita yang terkenal kepiawaiannya. Akan tetapi tidak mau membuat dhapur (model) baru. Seluruh hasil buatannya hanya sekedar mutrani (membuat tiruan) seluruh tosan aji hasil buatan saudara-saudara tuanya. Pusaka hasil buatannya bilahnya juga seperti ada serpihan serutan halus kayu.

ÊMPU KYAI ANGGA dikemudian hari lantas berganti nama KYAI SINGKIR. Sebab mengapa berganti nama ceritanya adalah sebagai berikut.

Disuatu hari saat KYAI ANGGA tengah mencari inspirasi untuk membuat tosan aji dengan tingkat kesulitan yang tinggi serta hasilnya kelak bisa memberikan daya kebaikan bagi sesama, tak diduga mendapatkan wisik dari almarhum eyangnya, KYAI ÊMPU ANJANI, yang intinya agar supaya saat mengerjakan pembuatan harus berada ditengah samudera. Wisik yang demikian itu dipatuhi. KYAI ANGGA lantas mengucilkan diri dari masyarakat dan lantas bertempat tingal disebuah pulau kecil. Mulai saat itulah KYAI ANGGA lantas bergelar KYAI SINGKIR. Tosan aji hasil buatannya yang terkenal keampuhannya berbentuk dhuwung (kêris), diberinama SINGKIR GÊNI. Kekuatannya mampu menjauhkan sang pemilik dari bahaya api dan mampu memadamkan kobaran api.

KYAI KUWUNG mempunyai lima orang putra, semuanya lantas tinggal diwilayah Tuban, mereka adalah :

1. KI LARASÊMBAGA

2. KI JAKAJATI

3. KI PANITI

4. KI JAKASURATMAN

5. KI SALAETA

Didalam semua catatan primbon yang membahas tentang Dhuwung (Kêris), hasil buatan lima orang Êmpu ini diberinama awalan ‘Tuban’, contoh ‘Tuban Pamêkti. Hasil garapannya, bilah terkesan kering dan kesat.

KYAI SINGKIR mempunyai dua orang putra yang terkenal hasil karyanya, yaitu :

1. KI JIGJA, menjadi Êmpu diwilayah Majalengka (Majapahit). Konon menurut cerita, KI JIGJA ibujari tangan kanannya berbentuk mirip kepala ular.

2. KI SURAWISESA, mengabdi di Kadipaten Blambangan.

KI SURAWISESA memiliki dua orang putra, kedua-duanya juga meneruskan pekerjaan ramandanya, mereka adalah :

1. KYAI MLAYAGATI

2. KYAI CAKRABAWA

KYAI MLAYAGATI berputra dua orang :

1. ÊMPU KALUNGLUNGAN

2. ÊMPU SÊDHAH

Sedangkan KYAI CAKRABAWA mempunyai lima orang putra, yaitu :

1. KI JANGGA, menginjak dewasa lantas menjadi Êmpu diwilayah Surabaya

2. KI KUMÊNDHUNG

3. KI CANGKRING

4. KI TILAM

5. KI LANANGJAHA, setelah dewasa terkenal kesaktiannya, hasil buatannya adalah tosan aji yang mempunyai daya perbawa agung. Berdiam diri diwilayah Kudus (Catatan : Kota Kudus berdiri setelah jaman Dêmak, sebelumnya bernama Dêmakan)

KI KÊLÊNG, putra ÊMPU KYAI MANCA, setelah menginjak usia sepuh, berkelana kea rah timur, berdiam di dusun Pituruh, berganti nama menjadi KYAI WANABAYA. Hasil buatannya ampuh. Lantas pindah lagi ke pulau Madura, berganti nama KYAI KASA. Setelah di Madura, hasil tosan aji buatannya kebanyakan digunakan untuk para petani, memberikan keselamatan dan menjauhkan tanaman dari hama.

ÊMPU SÊDHAH mempunyai tiga orang putra, yaitu :

1. KI SUPA MANDRANGI, semenjak muda terpikat bertapa diwilayah Tuban

2. KI BODAG, tidak tertarik menjadi Êmpu dan memilih menjadi seorang Pandhita

3. KI SUPAGATI, suka bertapa juga ada diwilayah Tuban.

Diceritakan, KI SUPA MANDRANGI dikemudian hari mendapat anugerah seorang putri Majapahit. Diangkat derajatnya oleh Sang Prabhu Brawijaya di Majapahit dengan gelar PANGERAN ING SÊDAYU. Berkuasa atas wilayah selebar 100 Jung ( 1 Jung sama dengan 28.386 meter persegi : Damar Shashangka). Lantas lebih dikenal dengan gelar PANGERAN SÊDAYU.

Sebab mendapat anugerah sedemikian itu kisahnya adalah sebagai berikut.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar