Membuka Diri
Menggali Kebenaran
BUDAYA
PRIORITAS : EDISI 62 - TAHUN II | 18 - 24 MARET 2013
Serat atau Suluk Gatholoco kembali hadir menyentakkan kesadaran bahwa roh agama adalah spiritualitas. Upaya menepis kekakuan dalam kehidupan beragama.
PRIORITAS/Komarul Iman
Buku Gatholoco karya Damar Shashangka.

Jikalau
 aku harus mandi/ tubuhku sudah penuh air/ jikalau aku harus mandi api/ 
di dalam tubuhku penuh api/ jikalau bisa bersih menggosok badan dengan 
tanah/ sudah jelas (daging ini) berasal dari tanah/ Jikalau aku mandi 
angin/ badanku sumber angin/ beritahukan kepadaku apa yang yang harus 
kupakai untuk mandi? Ketiga guru menjawab/ Tubuhmu dari cairan (sperma)/
 Layaklah jika mandi air agar suci tubuhmu itu. 
Gatholoco
 lantang menjawab/ kalian santri bodoh/ jikalau bisa suci karena mandi 
air/ aku akan berendam selama sembilan bulan saja/ tidak perlu mencari 
ilmu (Ketuhanan)/ Ketahuilah bahwa sesungguhnya/ aku telah mandi Tirta 
tekad suci ening (air tekad suci yang jernih)/ yaitu jernihnya hati 
tanpa dikotori oleh segala macam perbuatan salah/ itulah mandi yang 
sesungguhnya. 
Kalimat di atas 
adalah petikan salah satu Suluk Gatholoco, ajaran filosofi tentang 
perjalanan pencarian kebenaran yang diperkirakan ditulis pada 1800- an.
 Tak jelas siapa pengarang asli ajaran yang dikemas dalam bentuk tembang
 macapat dalam bahasa Jawa ini. 
Mashuri,
 sastrawan yang juga mengkaji Serat Gatholoco mengatakan banyak nama 
yang diduga menulis karya ini seperti Raden Soewandi, Soeryonegoro 
bahkan Ronggowarsito. “Hingga kini belum diketahui siapa pengarang 
sesungguhnya,” kata Mashuri kepada Prioritas, Jumat pekan lalu. 
Sejak
 kelahirannya hingga saat ini, ajaran spiritualitas dalam suluk 
Gatholoco menjadi kontroversi. Ada yang menganggap suluk ini menyerang 
ajaran agama Islam merujuk pada penggunaan nama-nama tokoh dan tempat 
yang identik dengan Islam. Ajaran ini pun nyaris terlupakan dan tak 
berkembang di masyarakat. Selama ini suluk Gatholoco hanya dikaji dalam 
ruang-ruang kuliah. 
Adalah Damar Shasangka, penulis novel Sabdo Palon yang
 menterjemahkan naskah lama ini dan memberi interpretasi dalam sebuah 
buku berjudul Gatholoco sama dengan nama suluk ini. Buku setebal 394 
halaman ini dilengkapi dengan catatan kaki dan penjelasan mendalam oleh 
penulisnya tidak hanya merujuk pada ajaran Islam tapi juga Kristen, 
Hindu dan Budha.
Damar Shasangka
 kembali menyuguhkan ajaran yang me-ngandung tiga tradisi kepercaya-an 
Hindu-Budha, Islam Tasawuf dan Kejawen ini karena ia ingin mengajak 
kembali generasi muda menengok kearifan ajaran Jawa. Karena bagi Damar 
ketika generasi muda menjauhi dari akar budaya berarti pertanda 
kehancuran suatu bangsa. “Karena itulah saya menerjemahkan dan 
menginterpretasikan serat Gatholoco,” kata Damar kepada Prioritas Jumat pekan lalu.
Ia
 mengakui ajaran yang disampaikan lewat sosok tokoh imajiner bernama 
Gatholoco ini cukup kritis menelaah ajaran agama Islam misalnya tentang 
konsep hidup, mati, surga, neraka, halal, haram dan pencapaian 
spritualitas. Namun menelaahnya melalui pemahaman seksualitas dengan 
pembahasan mendalam filosofi Lingga Yoni. Akibatnya serat Gatholoco ini 
banyak mendapatkan penenta-ngan terutama dari kaum puritan ortodok.
Apalagi
 pemilihan tokoh Gatholoco dan Dewi Perjiwati yang merujuk pada alat 
kelamin laki-laki dan alat kelamin perem-puan dianggap terlalu vulgar. 
Padahal hasil telaah Mashuri pada naskah lama penggunaan simbolisasi 
tersebut sejak dulu telah sering digunakan.
Mashuri
 pun menambahkan banyak kalangan dominan yang menganggap serat Gatholoco
 ini hanya milik aliran Kebatinan atau Kejawen. Aliran-aliran ini 
dianggap bukan bagian dari Islam. “Padahal jika ditelusuri beberapa 
aliran kebatinan cukup Islami,” ujar Mashuri. Tidak se-perti yang 
anggapan umum yang dikembangkan selama ini.
Bagi
 Mashuri suluk Gatho-loco ini bukanlah bentuk perlawanan pada ajaran 
Islam yang saat itu mulai berkembang di Jawa. Kendati di dalam suluk itu
 muncul nada minor dan plesetan pada ajaran Islam. Si penulis suluk yang
 misterius ini sejatinya ingin mengajak agar seseorang membuka diri pada
 kebenaran yang bertebaran di alam semesta. Jangan sampai menutup diri 
pada kebenaran karena kesadaran batinnya akan terlelap sehingga terjebak
 oleh ilusi kebodohan. 
•Yekthi Hesthi Murthi  
buku-buku seperti ini seharusnya banyak beredar di belahan nusantara.ditengah, kealpaan terhadap keanggunan dan keaslian nusantara terdahulu.
BalasHapushiruk pikuk perdebatan agma, antara benar-salah di negeri penganut pancasila ini sudah seharusnya melek.bahwa, kedigjayaan nusantara akan berpulang kemuasal. meskipun, bongkar pasang sejarah kerapkali dilakukan. oleh mereka yang memiliki 'status berwenang'.
bagus sekali, semoga bermanfaat.
BalasHapuspasti akan banyak yang menentang keberadaan buku ini, dan hanya beberapa gelintir orang yang bakal meng-apresiasi termasuk saya.
BalasHapusgood job-lah
Buku gini hrsnya dr dulu ada,agar negri ini gak dijajah ama ideologi import.miris kan??? Budaya sendiri jadi anak tiri di negri sendiri.lihat aja anak negri cara berpakaiannya lebih pilih budaya arab ketimbang budwya nenek moyangnya.
BalasHapusKomentarnya mantap semua, sedulur semestinya bangga dan menjunjung nilai2 luhur yg terkandung dari tinggalan nenek moyang sendiri
BalasHapus