Kamis, 15 Juli 2010

SERAT GATHOLOCO (14)



Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa

yang disimpan oleh

PRAWIRATARUNA.

Digubah ke aksara Latin oleh :

RADEN TANAYA

Diterjemahkan dan diulas oleh :

DAMAR SHASHANGKA




29.Kabeh ingkang sipat gêsang, kang ana ing dunya iki, Pangucape Pirang Kêcap, mangka Leklu iku Klimis, Gatholoco miyarsi, reka-reka tan sumurup, malenggong palingukan, gedheg-gedheg angucemil, Rara Bawuk gumujêng alatah-latah.

Semua manusia yang hidup, yang ada didunia ini, berapakah banyak ucapan yang keluar dari mulut mereka? Sedangkan Leklu pasti Klimis, Gatholoco mendengar, pura-pura tidak memahami, terlolong celingukan, menggelengkan kepala kebingungan, Rara Bawuk tertawa terbahak-bahak.


30.Sarwi kêplok bokongira, angencêpi ngisin-ngisin, Sira maneh yen bisaa, anjawab cangkriman mami, dhapurmu anjêjinggis, kaya antu lara ngêlu, Gatholoco angucap, Mbuh bênêr mbuh luput iki, sun badhenên dhiajêng cangkrimanira.

Sembari menepuk pantatnya, mencibir dan mengolok-olok, Mana mungkin kamu bisa, menjawab teka-tekiku, wujudmu saja jelek sekali, mirip hantu sakit kepala, Gatholoco berkata, Entah benar entah salah, akan aku jawab diajeng teka-tekimu ini.


31.Ucape kang sipat gêsang, kang ana ing dunya iki, Pan Amung Salikur Kêcap, nora kurang nora luwih, dene sastra kang muni, pan iya amung salikur, kabeh ucaping jalma, kang ana ing dunya iki, Leklu Klimis iya iku tegesira.

Ucapan yang keluar dari mulut manusia yang hidup, yang ada disunia ini, hanya ada Duapuluh satu macam, tidak lebih dan tidak kurang, sedangkan seluruh catatan tentang mereka, juga hanya terdiri dari Dua puluh satu buah, itulah jumlah ucapan manusia, yang hidup didunia ini, Leklu Klimis itu artinya. (Maksud Gatholoco, seperti yang pernah diterangkannya pada bagian tiga, pupuh Dandanggula II, pada (syair) 29, bahwasanya seluruh manusia didunia ini berjumlah Duapuluh Satu. Maksudnya, Angka Dua melambangkan mereka yang masih terjerat dualitas duniawi (suka-duka, sedih-senang, kaya-miskin dll), sedangkan angka Satu melambangkan mereka yang telah mampu lepas dari jeratan dualitas duniawi. Maka begitu pula ucapan yang keluar dari mulut mereka, pastinya juga cuma ada Dua puluh satu buah. Angka Dua melambangkan ucapan mereka yang masih terjerak dualitas, dan angka Satu melambangkan ucapan mereka yang telah lepas dari jeratan dualitas. : Damar Shashangka)


32.Têlek neng Alu lêsungan, yen Dicêkêl yêkti Amis, salawase durung ana, têlek ingkang mambu wangi, Rara Bawuk miyarsi, yen kajawab soalipun, rumasa katiwasan, ora wurung dirabeni, sêntot mundur sumingkir sêmu kisinan.

TeLEK neng aLU lesungan, yen di ceKeLI yekti aMIS (Tahi yang ada di alat penumbuk padi, manakala dipegang pasti berbau amis), selamanya belum ada, tahi yang berbau wangi, Rara Bawuk mendengar, dan menyadari teka-tekinya telah terjawab, merasa kalah dan pasrah, sudah pasti akan dinikahi (oleh Gatholoco), seketika undur menyingkir sembari malu. (LEKLU KLIMIS ~ teLEK neng Alu lesungan yen diceKeLI yekti Amis (Tahi yang ada dialat penumbuk padi, manakala dipegang pasti berbau amis, maksudnya sesuai dengan yang pernah diwejangkan Gatholoco pada bagian 12, pupuh Kinanthi VI, pada (syair) 35-38. Disana diterangkan tentang Martabating Pamanggih (Uraian tentang etika tingkah laku) yang terdiri dari lima hal, yaitu : 1. Kletheking Ati (Kekotoran Hati), 2. Katepeking Lampah : Suara Langkah/degup ketidak tenangan, 3. Panjriting Tangis : Jerit Tangis/ketidak puasan, adalah lambang ketidak murnian diri yang seharusnya sangat memalukan bagi manusia yang sadar. Ketidak murnian ini ada didalam diri yang berputar-putar bagai awan panas menggelora. 4. Kethuking Nutu adalah Ucapan yang keluar dari orang yang sadar yang bisa menetralisir segala hal-hal negative yang bergelayut didalam diri, sehingga ucapan yang keluar terdengar positif dan indah, bagai suara orang menumbuk padi yang merdu. Dan jika hal ini bisa dibiasakan, maka diri kita nyata telah menjadi 5. Cleret Ngantih : Perwujudan Pelangi atau Jamalullah : Kecantikan Allah bagi sesama. Tahi yang ada dialat penumbuk padi, adalah lambang dari kekotoran batin. Dalam menumbuk padi, pasti terdengar suara, ini lambang dari ucapan yang keluar. Jika alat menumbuknya sudah kotor, maka suara yang keluar juga akan kotor. Itu maksud simbolisasi TAHI YANG ADA DIALAT PENUMBUK PADI, MANAKALA DIPEGANG PASTI BERBAU AMIS : Damar Shashangka).


33.Angucap Ingsun wus kalah, saprentahmu sun lakoni, gantya Dewi Bleweh mapan, lênggah nêja bantah ilmi, Sang Dewi Bleweh angling, Badhenên cangkrimaningsun, Isine alam dunya, kabeh Ana Pirang Warni, lawan Pira Rasane lamun Pinangan.

Berkata Aku sudah kalah, apapun keinginanmu aku jalankan, kini ganti Dewi Bleweh maju kemuka, duduk hendak berbantahan ilmu, Sang Dewi Bleweh berkata, Jawablah teka-tekiku ini, Berapakah jumlah isi alam dunia ini? Dan berapakah jumlah rasa seluruh isi alam dunia ini jika dimakan?


34.Sun andulu Wujudira, adêge Wolung Prakawis, Pikukuhe Raga Tunggal, Sipat Papat Keblat Kalih, Patbêlas Ingkang Keri, Kang Loro Tutup-tinutup, samya Manjêr Bandera, Kêkalih pating karingkih, lan badhenên, mangrêtine dadi paran.

Aku menatap Wujudmu, terlihat Delapan Macam, Mewujud dalam Satu Raga, Mempunyai Empat Keblat (mata angin) dan, ditambah Empat Belas macam yang sangat penting, Yang Dua sangat dirahasiakan, Karena keduanya tempat mengibarkan Bendera, Keduanya sangat sensitif, nah tebaklah, bagaimana maksudnya?


35.Gatholoco duk miyarsa, reka-reka tan mangrêti, mung dhêlêg-dhêlêg kewala, Dewi Bleweh ngisin-isin, lenggak-lenggok nudingi, malerok sarwi gumuyu, Sira masa bisaa, ambatang cangkriman mami, wong dhapurmu saru kiwa irêng mangkak.

Gatholoco begitu mendengarnya, pura-pura tak mengerti, hanya terdiam saja, Dewi Bleweh mengolok-olok, melenggak-lenggokkan kepala dan menuding, menatap dengan tatapan menghina serta tertawa, Mana mungkin kamu bisa, menjawab teka-tekiku, wujudmu saja memalukan cacat hitam jelek bagai kain yang warnanya luntur.


36.Gatholoco saurira, Mêngko sun pikire dhisik, bismillah mbadhe cangkriman, cangkrimane gêndhuk kuwi, Isine Dunya Amung Sanga Kathahipun, ingkang kinarya ngetang, angkane mung Sangang Iji, ora nana ingkang luwih saking sanga.

Gatholoco menjawab, Sabarlah aku tengah berfikir, bismillah menjawab teka-teki, teka-teki gadis ini, Isi dunia hanya ada sembilan buah jumlahnya, sebab jelas angka yang dibuat untuk menghitung, Cuma ada sembilan buah, tidak ada angka yang melebihi dari angka sembilan.


37.Sawuse jangkêp sadasa, bali marang siji maning, iku tandhane mung sanga, isine dunya iki, kabeh mung sanga kuwi, Kahanane Rupa iku, yêktine Nem Prakara, wijange sawiji-wiji, Ireng Biru Putih Kuning Ijo Abang.

Manakala jumlah sudah genap sepuluh, maka angkanya akan kembali ke angka satu lagi, itu bukti bahwa seluruh dunia ini, hanya berjumlah sembilan buah, semua hanya sembilan jumlahnya, Keberadan wujud itu, hanya ada Enam Macam, uraiannya satu persatu adalah, Hitam Biru Putih Kuning Hijau Merah.


38.Liya iku ora nana, rupa ingkang manca warni, iku Padha Ngêmu Rasa, dene kabeh kang binukti, ing alam dunya iki, Rasane Mung Ana Wolu, Lêgi Gurih kalawan, Pait Gêtir Pêdhês Asin, Sêpêt Kêcut ganêpe wolung prakara.

Selain daripada warna itu tidak ada lagi, semua yang berwarna warni adalah campuran dari keenam warna dasar tersebut, seluruh Wujud memiliki Rasa, buktinya, didunia ini, Rasa hanya ada Delapan, Manis Gurih serta, Pahit Getir Pedas Asin, Sepat Kecut jumlah totalnya ada Delapan.


39.Adu Bokong têgêsira, gênah lamun Asu Ganjing, padha adu bokongira, Ngadêg Suku Wolung Iji, Keblatira Kêkalih, Madhêp Ngalor lawan Ngidul, Sipate iku Papat, Matanira Patang Iji, lawangane Bolongan Ana Patbêlas.

Beradu pantat maksudnya, jelas adalah Anjing yang tengah Kawin, mereka akan beradu pantat (Menyindir isi dunia yang suka bentrok karena keyakinan. Selaras dengan pepatah Jawa REBUT BALUNG TANPA ISI (Berebut tulang tanpa guna ~ merebutkan sesuatu yang kosong tak berisi. Yang suka bentrok karena keyakinan berbeda, Gatholoco mengatakan bagaikan Anjing Kawin, ribut melulu), berkaki empat tapi berjumlah delapan buah (karena ada dua ekor anjing ~ maksudnya walau memiliki Kesadaran, Perasaan, Pikiran dan Memori yang sama, tapi seolah mereka yang sedang bentrok memiliki Kesadaran, Perasaan, Pikiran dan Memori lain dan berbeda karena masing-masing sudah terdoktrin sedemikian kuatnya.) Arah mata angin hanya dua, hanya Utara atau Selatan ( Maksudnya, walau sebenarnya arah mata angin itu ada empat, bahkan bisa dikatakan delapan, bahkan sembilan jika dihitung arah tengah, bahkan sebelas jika mau dihitung arah bawah ditambah arah atas, namun bagi mereka yang punya doktrin fanatis semacam itu, arah mata angin bagi mereka hanya dua saja, utara atau selatan. Kafir atau non kafir. Golonganku atau diluar golonganku : Damar Shashangka), padahal mereka sama-sama memiliki Empat Belas Lobang kehidupan yang tiada beda.


40.Cangkêm Irung miwah Karna, Silite kalawan Prêji, gung-gunge kabeh Patbêlas, kang Tutup-tinutup sami, Panjine Dakar Prêji, pating krêngih êndêmipun, dene Umbul Pulêtan, Bandera Buntute Kalih, ting Jalênthir lir Bandera Karo pisah.

(Satu lobang) Mulut (Dua lobang) Hidung serta (Dua lobang) Telinga, (Satu lobang) Kemaluan dan (Satu lobang) Anus, total jumlahnya Empat Belas (ditambah Kesadaran, Pikiran, Perasaan, Memori dan yang Keempat Belas adalah Ruh/Atma : Damar Shashangka). Yang senantiasa Dirahasiakan, adalah Kemaluan dan Anus, sangat sensitif memabukkan, sedangkan maksud Bendera dikibarkan, adalah sama dengan sebuah tiang bendera yang dipasangi dua macam bendera sekaligus, sehingga berkelebat tidak karuan kekanan dan kekiri manakala terhembus angin. (maksudnya adalah, pada masa dulu, jika tengah menantang perang atau menyatakan kalah perang, diisyaratkan dengan mengibarkan bendera merah atau putih. Ini adalah isyarat menyampaikan maksud/hasrat untuk berperang atau menyerah kalah. Jika kemaluan dilambangkan tempat mengibarkan bendera, artinya kemaluan adalah tempat mengibarkan hasrat sexual, mengibarkan hasrat keinginan untuk bersetubuh dan bersenggama. Gatholoco menambahkan, kemaluan itu ibarat tiang untuk mengibarkan bukan hanya satu buah bendera hasrat, tapi dua buah, karena hasrat sexual manusia kadang sangat tidak karu-karuan berkelebat tak tentu arah bagai dua buah bendera yang dikibarkan sekaligus dalam satu tiang dan terkena angin dalam saat bersamaan. : Damar Shashangka)



41.Apa bênêr apa ora, mangkono pambatang mami, mara age wangsulana, Dewi Bleweh duk miyarsi, kajawab soalneki, sakalangkung gêtun ngungun, nggarjita jroning nala, pinasthi kalawan takdir, awakingsun kinanti wong kaya sira.

Apakah benar atau salah, begitulah jawaban dariku, nyatakanlah sekarang, Dewi Bleweh begitu mendengar, bahwasanya telah terjawab teka-tekinya, seketika kecewa bercampur heran, berkata didalam hati, sudah menjadi takdir hidupnya, harus ‘Kinanthi’ (Digandeng ~ maksudnya diperistri, selain itu juga menyatakan secara tersirat bahwa pupuh selanjutnya adalah Pupuh Kinanthi : Damar Shashangka) oleh manusa jelek seperti dia.



PUPUH IX

Kinanti



1.Dewi Bleweh nulya mundur, sarwi awacana manis, Ingsun wus rumasa kalah, sakarêpmu sun-lakoni, manira manut kewala, ora sumêja nyêlaki.

Dewi Bleweh lantas undur, sembari berkata manis, Diriku mengaku kalah, sekehendak hatimu akan aku turuti, aku akan menueut saja, tidak akan membantah lagi.


2.Namung kantun kusuma yu, Rêtna Dewi Lupitwati, mapan lênggah arsa bantah, Gatholoco nabda aris, Sireku keri priyangga, êmbane kalawan cantrik.

Tinggal sang bunga yang canti, Retna Dewi Lupitwati, segera mempersiapkan diri hendak berbantahan, Gatholoco berkata, Hanya tinggal kamu seorang, emban dan cantrikmu.


3.Kalah bantah padha mundur, sira Dewi Lupitwati, apa nutut apa berani, sa-buddhi-mu sun kêmbari, Rêtna Dewi angandika, Apa saujarmu kuwi.

Telah kalah dan mundur, kamu Dewi Lupitwati, apakah mampu apakah mundur, sampai dimana kesadaranmu akan aku imbangi, Retna Dewi berkata, Apa yang kamu ucapkan?


4.Yen sira ngarani têluk, yêktine têluk wak mami, yen sira ngarani bangga, sabênêre ingsun wani, mung iki cangkrimaning-wang, kathahe têlung prakawis.

Jika kamu mengatakan aku telah tunduk, benar aku hampir kamu tundukkan, tapi jika kamu mengatakan apakah aku berani, sungguh aku masih bernai, hanya ini teka-teki dariku, jumlahnya tiga macam.


5.Badhenên ingkang dumunung, têgêse Wong Laki Rabi, lan têgêse Wadon Lanang, tegese Sajodho kuwi, Gatholoco saurira, Ora susah nganggo mikir.

Jawablah dengan tepat, apa maksud dari Pernikahan, dan apa maksud Wanita dan Lelaki, apa maksud Jodoh itu? Gatholoco menjawab, Tidak usah berfikir diriku.


6.Prakara cangkriman iku, tegese Wong Laki Rabi, ingkang aran Wadon Lanang, ingsun uga wus mangrêti, mung remeh gampang kewala, rungokna pambatang mami.

Untuk menjawab teka-teki ini, arti dari Pernikahan, yang dimaksud Wanita dan Lelaki, aku sudah memahami dari dulu, hal yang remeh belaka, dengarkan jawaban dariku.


7.Têgêse Wong Lanang iku, Ala kang têmênan kuwi, iya iku ananingwang, rupane Ala ngluwihi, Wadon iku têgêsira, gênah Panggonane Wadi.

Arti dari LA-nang (Lelaki) itu, adalah ciptaan yang sangat a-LA (Buruk), dilambangkan dengan wujudku ini, seperti wujudku inilah wujud lelaki itu, WA-don (Wanita) itu adalah tempat WA-di (Rahasia). (Maksud Gatholoco, lelaki atau Lanang, adalah sebuah ciptaan yang buruk. Karena makhluk yang bernama lelaki diliputi oleh watak keras dan egoisme. Dilambangkan secara nyata dengan rupa Gatholoco sendiri. Seperti itulah sebenarnya makhluk yang dinamakan lelaki. Sedangkan wanita atau Wadon adalah makhluk yang diliputi dengan kerahasiaan dan ketidak jelasan, terlalu mempergunakan perasaan. Walau terlihat lembut, tapi sama juga jeleknya dengan keegoisan seorang laki-laki. Yang satu egois secara keras, yang satu egois secara lembut : Damar Shashangka)


8.Wadine Wong Wadon iku, Wujude Wujudmu kuwi, sabênêre Luwih Ala, dunung sarta asalneki, acampur kalawan priya, tuduhna kang ala iki.

Rahasia wanita itu, wujudnya seperti wujudmu itu (cantik), akan tetapi tetap juga buruk sebenarnya, asal dan keberadaanya sekarang ini, jika bercampur (bertemu/menikah) antara lelaki, maka akan terlihat keburukan ini semua.


9.Mula Rabi aranipun, Wong Lanang Amêngku Estri, rahab ngrahabi sadaya, kang ala lawan kang bêcik, mula lanang aranira, aja nglendhot marang estri.

Maka dinamakan RA-BI (Nikah), Lelaki menikahi Wanita, saling RA-hab ngraha-BI (saling ber-interaksi) dari semua watak yang ada, baik watak yang buruk maupun watak yang jelek, dan bisa dikatakan Jodoh manakala lelaki, tidak memaksakan kehendaknya kepada wanita (maksudnya saling mengingatkan untuk mengikis watak dasar yang buruk dari kedua makhluk ciptaan ini : Damar Shashangka)


10.Mung iku pambatangingsun, apa bênêr apa sisip, Lupitwati aturira, Pukulun pêpundhen mami, saestu lêrês sadaya, marmane amba samangkin.

Hanya itu jawaban dariku, apakah benar atau salah? Lupitwati menjawab, Duh yang mulia sesembahan hamba, sungguh benar semua, oleh karenanya hamba sekarang.


11.Nrimah kawon sampun têluk, sumanggêng karsa nglampahi, muhung asrah jiwa raga, tan pisan nêja gumingsir, ing dunya prapteng dêlahan, têtêp mantêp lair batin.

Menerima kalah dan tunduk, bersedia menjalani, memasrahkan jiwa raga, tidak akan tergoyahkan lagi, mulai dunia hingga mati, akan mantap lahir batin.


12.
Gatholoco sukeng kalbu, gumujêng sarwi mangsuli, Tuturira sun tarima, lan maneh wiwit saiki, sireku kabeh kewala, têtêp dadi garwa-mami.

Gatholoco gembira dalam hati, tertawa sembari berkata, Aku terima janjimu, dan mulai dari sekarang, kalian semuanya, akan ku ambil sebagai istriku.


13.
Mulane sira sadarum, kudu manut gurulaki, sabarang parentahingwang, abot entheng aywa nampik, lamun nampik siya-siya, tan wurung sida bilahi.

Oleh karenanya kalian semua, harus menurut kepada suami, semua yang diperintahkan, berat maupun ringan jangan membantah, manakala membantah, akan mendapatkan kecemaran.


14.Wus lumrah wong lanang iku, wajibe mêngkoni rabi, sanajan rupane ala, nanging pantês den ajeni, sinêmbah mring garwanira, krana aran gurulaki.

Sudah lumrah seorang lelaki, harus menikah, walaupun buruk rupa, akan tetapi sebagai seorang suami patut dihargai, dipatuhi oleh istrinya, oleh karenanya disebut Gurulaki (Seorang suami dalam tradisi Jawa disebut Gurulaki. Artinya selain Guru umum yang pernah atau telah memberikan pelajaran ilmu pengetahuan maupun spiritual kepada seorang wanita, sang suami-pun wajib pula disebut guru baginya jika dia kelak sudah menikah : Damar Shashangka).


15.Solah tingkah murih patut, satiti angati-ati, tan kêna kanthi sêmbrana, yen sêmbrana ora bêcik, sanajan lunga sadhela, kudu pamit marang mami.

Harus belajar beretika, berhati-hati, tidak boleh seenaknya, jika seenaknya itu tidak baik, walaupun keluar rumah sebentar, harus memberitahu kepada suami.


16.Kajaba kang kadi iku, rungokna pitutur mami, amurih salamêtira, aywa karêm karya sêrik, den sabar aywa brangasan, ngajenana mring sêsami.

Selain daripada itu, dengarkan nasehatku, agar diri kalian mendapatkan keselamatan, jangan suka membuat kebencian, belajarlah sabar dan jangan berangasan, hargailah semua manusia.


17.Upama sira katêmu, marang pamitranmu yayi, kalamun sira micara, kudu ingkang sarwa manis, dimene rêna kang myarsa, aywa nganti den ewani.

Manakala diri kalian bertemu, dengan sanabat-sahabatmu duh adikku semua, jika berbicara, harus yang sopan dan manis, agar senang yang mendengarkannya, jangan sampai mengucapkan kata-kata yang membuat kecewa orang lain.


18.
Yen sira micara saru, utawa dhêmên ngrasani, mring alane liyan janma, sayêkti akeh kang sêngit, datan sênêng malah ewa, sinêbut wong kurang buddhi.

Jika kalian berkata tidak sopan, atau suka bergunjing, membicarakan kejelekan orang lain, bakalan banyak yang membenci, tidak ada yang menyukai kalian, kalian akan disebut manusia kurang budi (kesadaran).


19.
Upamane ana tamu, den enggal sira nêmoni, kang sreseh nuli bagekna, linggihane ingkang rêsik, sireku kang lêmbah manah, sokur bisa nyugatani.

Jikalau ada tamu datang, bersegeralah menemui, yang sopan dan sambutlah, berikan tempat duduk yang bersih, harus sabar dan merendahkan diri, sukur-sukur jika bisa memberikan hidangan.


20.
Sanajan tan bisa nyuguh, nanging sumeh ulat manis, têmbunge grapyak sumanak, rumakêt sajak ngrêsêpi, supaya tamune suka, sênêng ora gêlis mulih.

Walaupun tidak mampu memberikan suguhan, akan tetapi jika sopan dan berwajah manis, ucapannya bersahabat dan menyenangkan, tidak mengambil jarak dan menyenangkan hati, (lakukanlah itu) agar sang tamu bergembira, dan betah.


21.Yen sira sêmu marêngut, kang mradayoh yekti wêdi, kinira kalamun ladak, utawa kinira êdir, den arani ora lumrah, datan kurmat mring sêsami.

Jikalau dirimu berwajah judes, yang bertamu akan takut, dikira kalian sombong, atau dikira pemarah, akan dikatakan wanita tidak lumrah, tidak bisa menghormati sesama.


22.Watak andhap asor iku, wêkasane nêmu bêcik, raharja sugih têpungan, kineringan mring sêsami, linulutan pawong mitra, akeh ingkang trêsna asih.

Watak merendahkan diri itu, akan menemukan kebaikan, tentram dan kaya teman, dihormati oleh sesama, dihargai oleh teman-teman semua, akan banyak yang menyayangi.


23.
Kang garwa samya tumungkul, sadaya matur wot sari, Dhuh pukulun kasinggihan, wulangipun gurulaki, saliring dhawuh paduka, sayêkti kawula pundhi.

Seluruh istri (Gatholoco) menunduk, semua berkata hendak menjalani, Duh yang mulia, nasehat dari seorang Gurulaki (suami), segala yang telah terucapkan, sungguh kami semua akan menjalani.


24.
Gatholoco alon muwus, Rehning sira wus ngantêpi, darma saking karsaningwang, kepengin arsa udani, pratandhane kang sanyata, apa bênêr sira estri.

Gatholoco pelan berkata, Dikarenakan kalian semua sudah mantap, setia bakti karena kehendak kalian sendiri sekarang aku ingin, hendak melihat, bukti nyata, apakah benar-benar kalian semua ini seorang wanita?


25.Samengko mrih gênahipun, manira arsa nontoni, mring prenah têtêngerira, wujude ingkang sajati, sireku pada lukara, supaya cêtha kaeksi.

Sekarang agar nyata, aku hendak melihat dengan mata kepalaku sendiri, kepada tempat tanda seorang wanita, wujudnya yang sesungguhnya, kalian semua bukalah busana kalian, agar jelas terlihat.


26.Para garwa alon matur, Dhuh pukulun kadi pundi, dene paring dhawuh lukar, kawula lumuh nglampahi, krana saking botên limrah, nalar saru tan prayogi.

Seluruh istri pelan berkata, Duh yang mulia bagaimana maksudnya? Memberikan perintah agar kami telanjang, kami malu menjalani, karena tidak lumrah hal itu dilakukan, sangat saru dan tidak baik.


27.Gatholoco asru bêndu, Tuturmu padha ngantêpi, mantêp lair batinira, mituhu mring gurulaki, kaya paran ing samangkya, tan miturut prentah mami.

Gatholoco berkata, Bukankah kalian tadis udah mantap, lahir hingga batin, menuruti perintah Gurulaki, sekarang bagaimana, kok membantah perintahku?


28.
Lamun rewel datan manut, sireku bakal bilahi, sidane nêmu cilaka, katiban gitik panjalin, wong siji kaping limalas, lan maneh sun sêpatani.

Jika rewel tidak menurut, kalian bakal cemar, mendapatkan kecelakaan, tertimpa pukulan penjalin, setiap orang lima belas kali, dan akan aku kutuk nanti.


29.
Ananging yen padha manut, nurut marang karêp mami, sawuse lukar busana, nuli marang tilam sari, awakingsun pijêtana, supaya kêsêle mari.

Akan tetapi manakala semua menurut, menuruti keinginanku, setelah bertelanjang bulat, seterusnya menuju ke peraduan, pijitlah diriku ini, agar hilang rasa lelah yang kurasakan.


30.Para garwa samya manut, tyas ajrih den supatani, sadaya lukar busana, Gatholoco dhuk umeksi, gumujêng alatah-latah, sarwi ngingkrang munggeng kursi.

Seluruh istri menuruti, dalam hati takut kalau dikutuk, semua membuka busananya, Gatholoco begitu melihat, tertawa terbahak-bakak, sembari duduk diatas kursi.


31.Mangkana denira muwus, Saiki katon sajati, wus cêtha nyata wanita, têngêre wadon kaeksi, warna-warna datan padha, ana gêdhê ana cilik.

Beginilah dia berkata kemudian, Sekarang sudah terlihat yang sesungguhnya, benar-benar jelas kalian seorang wanita, bentuk kewanitaan kalian sudah terlihat, beraneka bentuknya tidak sama, ada yang besar ada pula yang kecil.


32.
Rehning cêtha wus kadulu, wujudnya sawiji-wiji, akarya rênaning driya, ing samêngko sun lilani, kabeh padha tutupana, ngagêma busana maning.

Karena aku sudah melihatnya, bentuk satu persatu milik kalian, membuat diriku senang, sekarang aku mengijinkan, tutupilah lagi, pakailah busana kalian kembali.


33.
Yen sireku arsa wêruh, marang sajatining laki, duwekingsun tingalana, becike apa saiki, utawa mêngko kewala, sakarêpmu sun turuti.

Jikalau kalian ingin melihat, kepada bentuk milikku, lihatlah kemari, sekarang juga, atau nanti, terserah kalian.


34.
Lamun sira ngajak ngadu, duwekmu lan duwek mami, manira manut sakarsa, gêlêm bae ingsun wani, sira ngajak kaping pira, manira saguh ngladeni.

Jika kalian semua mengajak untuk mengadu, milik kalian semua dengan milikku, aku akan menuruti, aku berani walau kalian semua mengajak berapa kali, aku sanggup melayani.


35.Rêtna Dewi alon matur, Pukulun pêpundhen mami, prakawis nalar punika, amba tan kapengin uning, dhumatêng wujuding priya, nuwun gunging pangaksami.

Retna Dewi pelan berkata, yang mulia sesembahan hamba, masalah itu, kami tidak ingin melihat, kepada bentuk barang milik lelaki, kami memohon maaf.


36.Kang awit pamanggih ulun, kirang prêlu angingali, kawula datan mêntala, lan malih botên prayogi, pramilane botên susah, paduka paring udani.

Sebab menurut kami, kurang perlu untuk melihat hal itu, kami sangat malu, dan lagi tidak baik, oleh karenanya tidak usah saja, jika yang mulia hendak menunjukkannya.


37.Gatholoco alon muwus, Dhuh wong ayu mêrak ati, sumeh sêmune prasaja, susileng solah rêspati, wangsalan iki rungokna, wulang mring sira wong manis.

Gatholoco pelan berkata, Duh cantik yang menawan hati, yang manis dan sangat sopan, yang beretika dan menyenangkan hati, pantun ini dengarkanlah, ini wejanganku kepada kalian semua.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar