Diambil dari naskah asli bertuliskan huruf Jawa
yang disimpan oleh
PRAWIRATARUNA.
Digubah ke aksara Latin oleh :
RADEN TANAYA
Diterjemahkan dan diulas oleh :
DAMAR SHASHANGKA
PUPUH V
Asmaradana
1.Rehning sira wis ngakoni, benjang lamun sira pêjah, rasakna badanmu kuwe, kalawan cahyamu gêsang, obah-osiking manah, anggawa lapal Suksmamu, munggah mring suwarga loka.
Karena kamu sudah mengakui, kelak manakala kamu meninggal, Rasa badanmu (Sthula Sariira/Jasad), berikut Cahaya Hidup (Atma Sariira/Ruh), serta segala sensasi pikiranmu, terbawa pula Suksma (Suksma Sariira/Nafs)mu, naik ke Surga.
2.Sang Ijaril ingkang ngirid, sowan ngarsane Hyang Suksma, yen mangkono sira kuwe, ora ngamungna neng dunya, olehmu dadi bangsat, aneng akherat dadi pandung, anggawa dudu duweknya.
Sang (Malaikat) Izrail yang mengiringi, menghadap kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha Gaib), jika memang begitu dirimu, tidak hanya didunia saja, dirimu menjadi maling, diakherat-pun kamu menjadi maling, karena mengakui menghadapkan sesuatu yang bukan milikmu (tapi kamu akui sebagai hak milik). (Maksudnya makhluk ini semua adalah ‘nihil’ alias ‘tidak ada’. Karena semua ini adalah perwujudan Tuhan. Lantas jika merasa memiliki personalitas terpisah dengan Tuhan, bukankah itu illusi? Seseorang yang mengaku memiliki personalitas sendiri yang terpisah dengan Tuhan, mengklaim punya asset pribadi, berarti sama saja dengan seorang maling, yang mengklaim sesuatu yang bukan miliknya. Dan lagi bagaimana bisa meng-klaim jika ‘diri-nya’ itu sendiri ‘tidak ada’?)
3.Sira aneng dunya iki, kadunungan barang gêlap, ora tuku ora nyileh, sira anggo sabên dina, ing mangka aneng akherat, anggawa dudu duwekmu, dunya-kherat dadi bangsat.
Didunia ini dirimu, ketempatan barang gelap, tidak beli tidak pinjam, kamu pakai tiap hari, sedangkan diakherat nanti, tetep kamu merasa memiliki yang bukan milikmu, dunia akherat kamu maling!
4.Tanpa gawe jungkar-jungkir, nêmbah salat madhep keblat, clumak-clumik kumêcape, angapalake alip lam, têgêse iku lapal, angawruhana asalmu, urip prapteng kailangan.
Tak ada guna jumpalitan (dalam sembahyang), mendirikan shalat menghadap kiblat, komat-kamit bibirnya, menghafalkan alif lam (maksudnya doa-doa), sesungguhnya makna dari ayat-ayat yang kamu baca (itulah yang harus kamu resapi, bukan hanya sehedar dihafal dan dibaca), karena dari ayat-ayat tersebut kamu akan mengetahui asal, dan tujuan hidup-mu.
5.Sireku kaliru tampi, ngawruhi asale wayah, subuh luhur myang asare, mahrib lawan bakda isak, sayêkti tanpa guna, sipat urip duwe irung, padha wêruh marang wayah.
Dirimu salah mengerti, sangat-sangat mematuhi waktu-waktu shalat, mulai subuh dzuhur hingga ashar, maghrib dan isya’, sungguh tanpa guna, selayaknya hidup memiliki hidung (maksudnya kepekaan Kesadaran), untuk memahami makna shalat.
6.Yen mangkono sira kuwi, mung mangeran marang wayah, tan mangeran Ingkang Gawe, lamun bêngi sarta awan, pijêr kêtungkul wayah, ora mikir mring awakmu, urip prapteng kailangan.
Jikalau demikian dirimu (yang hanya sekedar mematuhi waktu shalat dan tidak memahami makna dari shalat itu sendiri), hanya ber-tuhan-kan saat-saat shalat semata, tidak ber-Tuhan-kan yang membuat waktu, siang dan malam hanya, berfokus mematuhi waktu-waktu shalat semata, tidak meniti ke dalam diri, untuk memahami asal kehidupan dan tujuannya.
7.Rasane badanmu kuwi, kagungane Rasulullah, cahyane uripmu kuwe, kagunganira Pangeran, obah-osiking manah, Muhammad kang nggawa iku, duwekmu amung pangrasa.
Rasa badanmu itu (Sthula Sariira/Jasad), milik/perwujudan Rasulullah (maksudnya Ruh atau Atma), Cahaya hidup (Atma Sariira/Ruh)-mu itu, milik/perwujudan Pangeran (Tuhan/Brahman/Allah), segala gerak-gerik batinmu (maksudnya Suksma Sariira/Nafs), Muhammad yang menggenggam (Muhammad maksudnya juga Ruh atau Atma), milikmu hanya ‘Perasaan memiliki/Illusi’ saja!
(Jika Jasad ini milik/perwujudan Rasulullah (Ruh), Ruh milik/perwujudan Allah, Nafs milik/perwujudan Muhammad (maksudnya Ruh juga), sedangkan Allah, Muhammad dan Rasul itu tak lain adalah Allah juga, lantas apa yang hendak kita anggap sebagai personalitas makhluk jikalau semua ini adalah PERWUJUDAN ALLAH? Hanya Illusi saja yang menjadi milik para makhluk. ILLUSI MERASA DIRINYA ADALAH ENTITAS YANG TERPISAH DENGAN SEMESTA BAHKAN DENGAN TUHAN ITU SENDIRI!)
8.Mangka sira gawa kuwi, ora sira ulihêna, balekna marang Kang Duwe, yen sira maksih anggawa, titipan tri prakara, apa sira ora lampus, Kyai Guru duk miyarsa.
Sedangkan apa yang kamu akui itu (bahwa memiliki personalitas tersendiri dengan Tuhan), tetap juga tidak kamu kembalikan (maksudnya tetap ber-Kesadaran seperti itu), kepada Dia Yang Memiliki, jika kamu masih juga memegang (maksudnya tetap tidak mau membuka Kesadaran) dan masih juga mengaku memiliki Triprakara (Tiga Unsur ~ Ruh/Atma, Nafs/Suksma dan Jasad/Sthula) sendiri, akan abadikah dirimu kelak? Kyai Guru begitu mendengar (semua yang diuraikan Gatholoco).
9.Kethune binanting siti, muring-muring ngucap sora, Mring ngêndi nggonku ngulihke, ingsun tan rumasa nyêlang, titipan tri prakara, Gatholoco gya gumuyu, Sira urip tanpa mata.
(Kyai Guru) seketika membanting kethu (kopiah)-nya ke tanah! Marah-marah dan berkata kasar, Kemana aku mau mengembalikan!! Aku tidak merasa telah meminjam, titipan Triprakara tadi, Gatholoco tertawa geli (mendapati yang diajak dialog tidak memahami maksudnya namun malah marah-marah), Kamu memang hidup tanpa mata (maksudnya Kesadarannya buta)!
10.Upama Padhanging Rawi, asalira saking Surya, sirna kalawan Srêngenge, kalamun Padhange Wulan, asale saking Rembulan, sirnane kalawan Santun, bali maneh asalira.
Seandainya Cahaya Matahari, yang berasal dari Surya, akan terserap musnah hilang kedalam Matahari kembali, seandainya Cahaya Rembulan, yang berasal dari Rembulan, akan terserap musna hilang kedalam Rembulan, kembali keasalnya lagi!
11.Kasan Bêsari nauri, Krana ngapa Rasanira, lan Cahyamu Urip kuwe, myang obah-osiking manah, tan sira ulihêna, marang Kang Kagungan iku, Gatholoco asru nyêntak.
Kasan Bêsari (Hassan Bashori) berkata, Lantas sekarang mengapa Rasa Badanmu (Jasad/Sthula Sariira), beserta Cahaya Hidup (Ruh/Atma Sariira)-mu, berikut Gerak batin (Nafs/Suksma Sariira)-mu, tidak kamu kembalikan (maksudnya masih terlihat nyata dan belum musnah) kepada Yang Mempunyai ? Gatholoco keras membentak.
12.Ingsun iki ora wani, ngulihake durung masa, yen tan ana pamundhute, ingsun wêdi bok kinira, anampik sihireng Hyang, manawa nêmu sêsiku, sireku kaliru tampa.
Aku tidak berani, memusnahkan ini semua karena belum saatnya, jika tanpa ada permintaan (dari Yang Mempunyai Perwujudan), aku takut nanti dianggap, menolak kasih Hyang (Tuhan), dan akan mendapatkan balak, sungguh kamu yang sebenarnya tidak paham! (Tidak paham akan maksud Gatholoco akan makna ‘Mengembalikan’ seperti yang telah diuraikannya diatas).
13.Kang kasêbut kitab mami, pan saking Nabi Muhammad, Kyai Guru pangucape, Salat witri iku iya, salat sakobêrira, Gatholoco alon muwus, sireku kaliru tampa.
Menurut Kitab-ku, yang berasal dari Nabi Muhammad, Kyai Guru berkata lagi, Shalat witir adalah, shalat yang tidak terikat waktu (maksud Kyai Hassan Bashori ada juga shalat yang tidak harus berfokus pada waktu, yaitu shalat witir. Jadi salah jika Gatholoco menganggap dirinya terlau mengagung-agungkan waktu), Gatholoco menjawab, Sekali lagi dirimu tidak paham!
14.Yen mangkono sira kuwi, dudu umat Rasulullah, dene sira ngestokake, sarengate Nabi lima, êndi panêmbahira, mring Nabi Muhammad iku, Kyai Guru saurira.
Bahkan lagi dirimu, bukanlah ummat Rasulullah, karena dirimu meyakini, dan mengikuti tingkah laku lima Nabi, mana shalat yang kamu jadikan untuk mengingat-ingat akan keagungan, dari Nabi Muhammad? (Ada keyakinan beberapa aliran agama Islam, bahwasanya shalat Subuh itu meniru Nabi Adam, manakala diturunkan di dunia, belum tahu mana arah mata angin, lantas ketika matahari terbit, Nabi Adam bersujud syukur karena tahu mana arah Timur. Lantas shalat Dzuhur, meniru Nabi Nuh, shalat Ashar meniru Nabi Ibrahim, shalat Maghrib, meniru Nabi Musa dan Shalat Isya’, meniru Nabi Isa, dan rupanya keyakinan inilah yang dianut oleh Kyai Hassan Bashori, lawan debat Gatholoco), Kyai Guru menjawab.
15.Sêmbahingsun salat witri, iya ing samasa-masa, Gatholoco pamuwuse, Sira iku santri blasar, mangka Nabi Muhammad, têtela Nabi Panutup, tunggule nabi sadaya.
Untuk mengingat Nabi Muhammad adalah shalat Witir, tidak terikat waktu! Gatholoco berkata, Kamu santri tersesat, padahal Nabi Muhammad, jelas-jelas Nabi Penutup, penutup seluruh Nabi.
16.Parentahe ora sisip, wus kapacak aneng kitab, ingkang salah sira dhewe, kinen sujud kaping lima, rina wêngi mangkana, esuk-esuk wayah Subuh, sujud tumrap maring Adam.
Setiap perintahnya tidak keliru, sudah jelas didalam semua kitab, yang salah memaknai adalah dirimu sendiri, diperintahkan sujud lima kali sehari, siang dan malam, pada saat pagi hari waktu Subuh, sujud kepada Adam.
17.Iku dudu Adam Nabi, adam suwung sujudana, kang suwung langgêng anane, marmanira sinujudan, dene luwih kuwasa, ngilangake pêtêng iku, kagênten padhanging surya.
Sesungguhnya bukan Adam Nabi, Adam berarti ‘Kosong’ dan sujudlah, kepada Yang Maha Kosong dan Yang Abadi Ada-Nya (tersebut), oleh sebab mengapa wajib untuk bersujud, karena Yang Maha Kosong sungguh berkuasa, menghilangkan kegelapan, dan menggantikannya dengan terang. (Maksudnya Yang Maha Kosong mampu memberikan terang kepada Kesadaran semua makhluk dan mampu mengusir semua kegelapan batin).
18.Panase saya ngluwihi, saking kuwasaning Allah, surya iku darma bae, sakehe manusa dunya, samya susah sadaya, krana saking panasipun, Nabi Muhammad parentah.
Menjelang tengah hari (maksudnya dalam pengembaraan Ruh didunia fana) panasnya sangat-sangat menyiksa (maksudnya dualitas dunawi sangat membelenggu Ruh), karena kuasa Allah, Matahari hanya sarana semata (maksudnya dualitas hanya sarana menggembleng Kesadaran Ruh saja), seluruh manusia/makhluk didunia, sangat menderita (terombang-ambing dualitas dunia), karena sangat-sangat panasnya, Nabi Muhammad memerintahkan.
19.Marang umatira sami, supaya padha sujuda, marang Kang Murbeng alame, tatkala patang rakangat, kabeh padha nuwuna, mring sudane panas iku, lan sudane dosanira.
Kepada seluruh ummatnya, agar ditengah hari bersujud, kepada Yang Menguasai Alam (Dualitas), sebanyak empat raka’at, seluruh ummat diperintahkan untuk memohon, agar mengurangi panas (penderitaan) duniawi, berikut memohon agar dilebur segala dosa-dosa (seluruh karma buruk)-nya.
20.Lan padha nuwuna maning, linanggêngna kaluhuran, kaya luhure srêngenge, pramilane lama-lama, tumurun saya andhap, daya asrêp panasipun, wong akeh ngarani Ngasar.
Dan juga agar memohon, tetap mendapat keluhuran (Tingginya Kesadaran), bagaikan luhur (tinggi)-nya matahari kala tengah hari, lantas sedikit demi sedikit, matahari turun semakin rendah, panasnya mulai berkurang (lambang penderitaan berganti dengan kesenangan), semua orang menamakan waktu Ashar.
21.Nabi Muhammad ningali, parentah mring umatira, supayane sujud maneh, sarta padha nênuwuna, langgêng ananing Suksma, lan padha nuwuna iku, linanggêngna kaluhuran.
Nabi Muhammad melihat, lantas memerintahkan kepada ummatnya, agar kembali bersujud, dan agar memohon, kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha Gaib), agar tetap langgeng (Ketinggian Kesadarannya walau penderitaan tengah berganti dengan kegembiraan).
22.Pangeran Kang Maha Luwih, angganjar ing asorira, linanggêngna kamulyane, dadine bisa kalakyan, tumurun saya andhap, mulane ngaranan surup, sira padha sumurupa.
Tuhan Yang Maha Kuasa, mampu menganugerahkan kemuliaan dan kehinaan (Kesadaran), semoga senantiasa langgeng kemuliaan Kesadaran, agar bisa selamat sampai tujuan (Moksha/Jannatun Firdaus), semakin turun matahari, dinamakan ‘surup’ (sore), karena maksudnya ‘sumurupa’ (ketahuilah)!
23.Kuwasanira Hyang Widdhi, bisa gawe pêtêng padhang, gawe unggul lan asore, kang padhang têgêse gêsang, kang pêtêng iku pêjah, Nabi Muhammad andulu, parentah mring umatira.
Akan kekuasaan Hyang Widdhi, yang mampu membuat gelap dan terang, mampu membuat tinggi dan rendah, yang ‘terang’ maksudnya ‘Hidup’, yang ‘gelap’ maksudnya ‘Mati’, (Manusia disebut Hidup manakala telah mencapai Terang Sejati, dan manusia disebut ‘Mati’ manakala masih terikat jerat duniawi dan lahir berulang-ulang di alam fisik ini), Nabi Muhammad melihat, lantas kembali memerintahkan kepada ummatnya.
24.Den purih sujuda maning, marang Ingkang Murbeng alam, dene luwih kuwasane, bisa gawe pêtêng padhang, lan gawe pêjah gêsang, bilahi asor lan unggul, lama-lama kang baskara.
Agar kembali bersujud, kepada Yang Menguasai Alam (Dualitas), karena kuasa-Nya, mampu membuat gelap dan terang, membuat mati dan hidup, hina dan mulia (Dualitas duniawi), lama-lama matahari.
25.Jagade datan kaeksi, pêtênge saya katara, amratani jagad kabeh, manusane alam dunya, rumasa kasusahan, krana saking pêtêngipun, amarga suruping surya.
Dunia tak terlihat, kegelapan semakin merebak, merata diseluruh jagad, seluruh makhluk, merasa sedih, disebabkan karena kegelapan tersebut, gelap karena hilangnya matahari. (Lambang dari kegelapan Kesadaran karena pengaruh dualitas duniawi).
26.Sagunge umat nuruti, nênuwun marang Pangeran, kanthi nangis panuwune, mulane ngaranan Ngisa, tegese Anangisa, marang Ingkang Murbeng Luhur, Nênuwun supaya padhang.
Seluruh ummat menurut, memohon kepada Tuhan, dengan isak tangis, makanya (bagi orang Jawa) menyebut waktu shalat sehabis mahgrib adalah Ngisa, karena saat kegelapan Kesadaran adalah saat untuk ‘Anangisa’ (Menangislah), kepada Yang Menguasai Keluhuran (Ketinggian), memohon supaya agar tetap diberikan terang (Kesadaran).
27.Kagênten padhanging sasi, sakehe manusa suka, uninga wulan cahyane, padhang sarta ora panas, cacade mung pisahan, mulane ingaran santun, santun warna sabên dina.
Terang yang digantikan oleh terangnya Rembulan (maksudnya dalam kegelapan Kesadaran, terang yang reduppun sudah cukup daripada gelap gulita tanpa cahaya Kesadaran), seluruh makhluk bisa sedikit bersuka cita, melihat Rembulan dan cahayanya, walau terang tiada panas, walaupun tidak stabil, makanya disebut ‘santun’ (Berubah), karena cahaya Rembulan (cahaya Kesadaran yang redup ditengah kegelapan), berubah-rubah setiap hari. (Tidak stabil).
(Rembulan disebut juga ‘Santun’ yang artinya ‘Berubah-rubah/Tidak stabil’ oleh orang Jawa, maksudnya Rembulan dilambangkan sebagai Kesadaran yang redup. Dan Kesadaran yang redup sangat tidak stabil).
28.Têgêse sasi samya sih, Kyai Guru aris mojar, kitab apa pathokane, Gatholoco angandika, Barulkalbi arannya, mangrêtine Barul: Laut, dene Kalbi iku Manah.
Arti ‘Sasi’ (padanan kata Rembulan/Santun) adalah ‘SA-mya SI-h’ (Semua Kasih ~ maksudnya walaupun ditengah kegelapan sekalipun, tetaplah menebarkan Kasih. Walaupun ditengah Kesadaran redup karena pengaruh penderitaan duniawi, tetaplah mengedepankan Kasih), Kyai Guru pelan bertanya, Dari Kitab apa semua yang kamu uraikan tadi? Gatholoco menjawab, (Kitab) Barulkalbi (Bahri Al-Qalbi), Bahri artinya Samudera, sedangkan Qalbi artinya Hati/Kesadaran.
29.Ati kang kaya jaladri, tanpa watês jero jêmbar, lan maneh akeh isine, Kasan Bêsari têtannya, sira ora sêmbahyang, Gatholoco aris muwus, sêmbahyang langgêng tan pêgat.
Hati/Kesadaran yang luas seluas Samudera, tiada batas tiada terukur dalam dan luasnya, dan sangat-sangat banyak terkadung isi mutiara, Kasan Besari (Hassan Bashori) bertanya, Kamu menjalankan shalat? Gatholoco pelan menjawab, Shalatku langgeng tiada terputus.
30.Sujud-mami sujud eling, keblatku têngahing jagad, barêng napasku sujude, napasku mêtu mbun-mbunan, salatku mring Pangeran, mêtu saking utêkingsung, sêmbahyangku mring Hyang Suksma.
Sujud-ku Sujud Ingat (Maksudnya Kesadaran yang terus stabil), Kiblat-ku Pusat Semesta (Maksudnya focus penyembahan adalah Inti Dunia dan Inti Makhluk, tak lain adalah Brahman/Tuhan), Sujud-ku diiringi dengan Nafas (Maksudnya Kesadaran ini saat Ruh terikat badan materi, sangat terkait dengan nafas. Pengendalian nafas mampu mengendalikan Kesadaran juga. Nafas dan Kesadaran, saat badan materi masih membelenggu Ruh, tidak bisa dipisahkan), Nafas-ku keluar dari ubun-ubun (Nafas yang dikendalikan seolah bukan keluar masuk dari hidung lagi, tapi seolah-olah keluar masuk dari ubhun-ubun, menyatu dengan Kesadaran), shalatku menghadap kepada Tuhan, keluar dari otakku (Shalat yang terus menerus dilaksanakan keluar dari Kesadaran), shalatku menghadap kepada Hyang Suksma (Tuhan Maha Gaib).
31.Ingkang mêtu lesan-mami, sêmbahyang mring Rasulullah, kang mêtu irungku kiye, ingkang Dzat pratandhanira, iku taline gêsang, kabeh saking napasingsun, sêbutku Allahu Allah.
Pujian yang keluar dari lidahku, pujian kepada Rasulullah (Ruh), sama dengan pujian yang keluar dari hidungku (nafas) ini, sesungguhnya semua perwujudan Dzat (Hidup/Tuhan), nafas adalah pengikat Hidup (selama ada nafas, selama itu pula Hidup/Tuhan/Dzat masih ada didalam badan materi), bisa dilihat dari adanya nafas, pujian nafasku berbunyi Allahu Allah.
32.Sira padha ora ngrêti, Rasulullah sabatira, iku durung linairke, lintang wulan lawan surya, alam dunya wus ana, yêkti tuwa suryanipun, iku kang kitab Ambiya.
Kalian semua tidak mengetahui, Rasulullah (maksudnya Nabi Muhammad) panutan kalian, saat belum dilahirkan, seandainya diibaratkan dengan bintang rembulan dan matahari, beserta bumi ini, jelaslah lebih tua matahari, hal ini tercatat dalam Kitab Anbiya’.
33.Kang tinitahake dhingin, dening Hyang Cahya Muhammad, iku lawan sakabate, nanging wujud êRoh samya, neng jroning Lintang Johar, mangka Lintang Johar iku, wawadhahe Roh sadaya.
(Sebelum Nabi Muhammad lahir) yang ada dahulu, adalah Hyang Cahya Muhammad (Nur Muhammad ~ Cahaya Terpuji/Cahaya Perwujudan Tuhan pertama kali yang merupakan cikal-bakal semesta raya ~ Purusha dalam istilah Weda), beserta seluruh para sahabatnya (maksudnya seluruh Atma-Atma semua), akan tetapi masih berwujud Ruh, berada didalam kandungan Lintang Johar (Lintang ~ Bintang, Johar/Jauhar ~ Mutiara, maksudnya juga Nur Muhammad tersebut), ketahuilah Lintang Johar itu, sumber segala Ruh makhluk.
34.Babonira saking Urip, dadi saking Nur Muhammad, lintang rêmbulan srêngenge, ora liya asalira, pan saking Nur Muhammad, mangka Lintang Johar iku, dadi pusêre Muhammad.
(Nur Muhammad atau Lintang Johar) adalah perwujudan Hidup (Allah), semesta raya ini berasal dari Nur Muhammad, bintang rembulan matahari, tiada lain sumbernya dari sana, berasal dari Nur Muhammad, sedangkan Lintang Johar, ibarat pusar (tempat keluarnya) seluruh semesta.
35.Yen sira maido mami, dadi nampikakên sira, mring Kuran sêsêbutane, Kasan Beêari miyarsa, rumaos kaungkulan, mangkana denira muwus, Wis Gatholoco minggata.
Jikalau kamu membantahku, sungguh sama saja kamu menolak, kepada ajaran Al-Qur’an, Kasan Besari (Hassan Bashori) mendengarnya, merasa kalah, beginilah dia akhirnya berkata, Sudah Gatholoco minggatlah kamu dari sini!
36.Gatoloco anauri, sun linggih langgare Allah, kabênêran panggonane, iki aneng têngah jagad, ingsun sênêng kapenak, linggih langgar karo udut, ngênteni prentahing Allah.
Gatholoco menjawab, Aku duduk di musholla Allah, sangat nyaman tempatnya, aku merasa dipusat semesta, aku merasa nyaman, duduk didalam musholla sembari menghisap candu (spiritualitas), sembari menunggu perintah Allah.
37.Sakala Kasan Bêsari, sidhakep kendêl kewala, puwara alon wuwuse, wus dadi prasêtyaningwang, kalamun bantah kalah, kabeh iki darbekingsun, sira wajib mengkonana.
Seketika Kasan Besari (Hassan Bashori), bersendekap sembari diam, lantas terdengar suaranya, Sudah menjadi janjiku, jikalau aku kalah berdebat, maka semua ini akan menjadi milikmu, dirimu wajib memilikinya.
38.Ingsun rila lair batin, langgar wisma barang-barang, pasrah sah duwekmu kabeh, santri murid ing Cêpêkan, ingkang sênêng ngawula, mara sira anggêguru, wulangên ilmu utama.
Aku rela lahir batin, musholla rumah berikut seluruh perabotan, aku berikan kepadamu semua, para santri murid Cepekan, jika memang hendak tetap berguru, silakah berguru kepadamu, ajarilah ajaran utama.
39.Para Kyai mitra mami, ingsun sumarah kewala, apa kang dadi karsane, manira saiki uga, nêja lunga lêlana, kabeh keriya rahayu, Kasan Bêsari gya mangkat.
Para Kyai sahabatku semua, aku sudah pasrah, apa yang menjadi kehendak-Nya, diriku sekarang juga, hendak berkelana, semoga yang aku tinggalkan disini mendapat keselamatan, Kasan Besari (Hassan Bashori) segera berangkat.
40.Nalangsa rumasa isin, saparan kalunta-lunta, katiwang-tiwang lampahe, ingkang kantun ing Cêpêkan, Gatholoco sineba, para murid tigang atus, andêr samya munggeng ngarsa.
Sangat-sangat malu, terlunta-lunta dalam perjalanan, sedih dalam pengembaraan, yang ditinggalkan di Cepekan, Gatholoco dihadap, seluruh murid sebanyak tiga ratus orang, bersila rapi berada dihadapan.
NB :
URIP ~ KANG NGURIPI ~ KANG GAWE URIP
PARAMASHIWA ~ SADASHIWA ~ ATMA
BRAHMAN ~ PURUSHA ~ ATMAN
ALLAH ~ (NUR) MUHAMMAD ~ RASUL (MUHAMMAD)
ALLAH BAPA ~ ALLAH PUTRA ~ ROH KUDUS
Mohon direnungkan.....
terimakasih kang damar semoga kesadarn ini menyebar luas keseluruh penjuru alam hingga insan kamil merata menyangga kerahayu-an seluruh alam...
BalasHapusTiada harapan paling mulia lagi selain berusaha mencapai kedamaian diri juga ikut serta menciptakan kedamaian di seluruh semesta..
BalasHapusMangasah Mingising Buddhi, Mamasuh Malaning Bhumi
(Mengasah Tajamnya kESADARAN, untuk Membasuh Kekotoran Semesta)
Rahayu kang sarwa pinanggih mas Antok...