Senin, 23 Agustus 2010

HIKAYAT RAJA PASAI



1. Sinopsis


Hikayat Raja Pasai terdiri dari tiga bab. Bab I menceritakan tentang peristiwa-peristiwa yang diawali sejak sebelum berdirinya kerajaan Samudra Pasai hingga meninggalnya Sultam Malik al-Mahmud. Bab II menceritakan peristiwa-peristiwa di sekitar hubungan antara Tun Beraim Bapa dengan Sultan Ahmad hingga meninggalnya Tun Beraim Bapa. Bab III bercerita tentang Putri Gemerencang dari Majapahit yang jatuh cinta kepada Tun Abdul Jalil hingga runtuhnya Pasai. Hikayat ini diakhiri dengan daftar kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Majapahit.

Dua bersaudara, yaitu Raja Muhammad dan Raja Ahmad, hendak membangun sebuah negeri di Samarlangga. Ketika menebas hutan, Raja Muhammad menemukan seorang anak perempuan yang muncul dari pokok bambu. Anak itu diberi nama Putri Betung. Raja Ahmad mendapat seorang anak lelaki yang dibawa seekor gajah, diberi nama Merah Gajah. Setelah kedua anak itu dewasa, keduanya dikawinkan, dan pasangan ini mempunyai dua orang putra, Merah Silu dan Merah Hasum.

Pada suatu hari Merah Gajah melihat sehelai rambut Putri Betung yang berwarna emas. Dia minta agar rambut itu dicabut. Istrinya menolak dan mengingatkan, bila rambut itu dicabut akan terjadi perceraian di antara mereka. Namun Merah Gajah memaksa mencabutnya sehingga keluar darah putih dari kepala Putri Betung, dan wafatlah Putri Betung. Karena peristiwa itu, terjadilah peperangan antara Raja Muhammad dan Raja Ahmad. Banyak prajurit dari kedua pihak tewas, dan akhirnya kedua raja itu pun menemui ajal di peperangan itu.

Setelah perang usia, Merah Silu dan Merah Hasum sepakat meninggalkan Samarlangga untuk membuka negeri lain. Mereka berjalan sampai ke Beurana (atau Biruna atau Bieureun). Di hulu sungai, Merah Silu menemukan cacing gelang-gelang yang kemudian berubah menjadi emas dan perak setelah direbus. Dengan emas dan perak itu, ia mengupah orang agar menangkap kerbau liar untuk dijinakkan. Hal itu tidak disukai oleh Merah Hasum, maka diusirlah Merah Silu. Setelah berjalan jauh, Merah Silu tiba di Bukit Talang, ibukota sebuah kerajaan yang diperintah oleh Megat Iskandar. Di ibukota itu Merah Silu diperkenankan tinggal. Ia memperkenalkan adu ayam jago. Atraksi ini menarik perhatian banyak orang dari negeri lain hingga mereka berdatangan ke Bukit talang.

Megat Iskandar sangat menyukai Merah Silu. Dia bermusyawarah dengan orang-orang besar dan sepakat menobatkan Merah Silu menjadi raja mereka. Saudara Megat Iskandar, Malik al-Nasr, tidak setuju. Terjadilah peperangan di antara keduanya dan Malik al-Nasr kalah. Tidak lama kemudian Merah Silu membuka negeri di atas tanah tinggi, diberi nama mengikut nama semut besar yang dijumpainya di situ.

Dikisahkan pula bahwa menjelang wafat, Nabi Muhammad SAW mewartakan kepada para sahabatnya bahwa di benua bawah angin kelak akan muncul sebuah negeri bernama Samudra. Ketika Samudra Pasai telah berdiri, segera berita itu terdengar di Mekkah. Syarif Mekkah pun memerintah Syekh Ismail, seorang ulama dan fakir (sufi) terkemuka, agar berlayar ke Samudra bersama pengikutnya untuk mengislamkan raja Samudra Pasai. Dalam pelayaran ke Samudra itu mereka singgah di Mangiri (atau Mengiri), yang sultannya keturunan Abu Bakar Siddiq, sedangkan Abu Bakar Siddiq telah turun tahta menjadi fakir. Abu Bakar Siddiq lalu ikut berlayar ke Samudra bersama Syekh Ismail.

Sebelum kapal Syekh Ismail berlabuh di Samudra, Merah Silu bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW yang mengajarinya mengucapkan kalimat syahadat dan tata cara salat. Setelah diislamkan, Merah Silu diberi gelar Sultan Malik al-Saleh. Setelah itu seluruh rakyat Samudra Pasai berbondong-bondong memeluk agama Islam. Setelah itu Malik al-Saleh membuka negeri baru, sebuah kota yang strategis sebagai pelabuhan dagang di Selat Malaka, yang diberi nama Pasai, mengikuti nama anjing kesayangannya yang berhasil menangkap seekor pelanduk ajaib ketika negeri baru itu mulai dibuka.

Tidak lama setelah itu, Malik al-Saleh menikahi putri sultan Perlak yang bernama Putri Ganggang. Dari perkawinan ini lahir seorang anak lelaki, Malik al-Zahir. Setelah dewasa, Malik al-Zahir menjadi raja di Pasai, sementara Sultan Malik al-Saleh tetap menjadi raja di Samudra hingga mangkat. Sultan Malik al-Zahir dikaruniai dua orang putra, Sultan Malik al-Mahmud dan Sultan Malik al-Mansur. Setelah Sultan Malik al-Zahir mangkat, Sultan Malik al-Mahmud menjadi raja di Pasai, sedangkan Sultan Malik al-Mansur menggantikan Sultan Malik al-Saleh sebagai raja di Samudra.

Di bawah pemerintahan Sultan Malik al-Mahmud, Pasai bertambah makmur dan maju. Raja Siam yang mendengar berita itu merasa iri dan marah. Lantas ia membawa tentara lautnya menyerbu Pasai. Karena ketangguhan angkatan laut Pasai, tentara Siam dikalahkan dan dihalau dari perairan Selat Malaka tanpa pernah kembali lagi untuk menyerang Pasai.

Setelah penyerangan Siam itu terjadilah serangkaian peristiwa yang mencoreng nama baik kerajaan Pasai dan menyebabkan keruntuhannya. Hal ini bersumber dari ulah penguasa Samudra Pasai sendiri.

Pada suatu hari adik Sultan al-Mansur bertamasya dan melalui depan istana abangnya. Ketika itu Sultan Malik al-Mahmud sedang bepergian ke pantai. Sebenarnya, menterinya telah berupaya mencegah Sultan Malik al-Mahmud agar ia tak ke pantai, karena menteri itu tahu bahwa adik Sultan akan melalui depan istana dalam perjalanan tamasyanya. Menteri itu memperoleh firasat akan terjadi peristiwa yang bisa mendatangkan fitnah.

Ketika Sultan Malik al-Mansur melewati jalan di depan istana abangnya, seorang perempuan cantik muncul dari istana. Malik al-Mansur terpikat pada wanita itu dan sangat birahi. Lantas dengan paksa perempuan itu dibawanya pulang. Mendengar berita itu Malik al-Mahmud murka dan mencari jalan untuk membalas dendam. Suatu hari ia mengundang sang adik untuk menghadiri sebuah pesta. Dalam pesta itu Malik al-Mansur dibekuk, dan dipenjarakan di tempat yang jauh terpencil. Menteri yang mendampingi Malik al-Mansur dipenggal kepalanya dengan kejam.

Tidak berapa lama kemudian Sultan Malik al-Mahmud pun insyaf bahwa perbuatannya keliru. Dia lantas menyuruh Tun Perpatih Tulus Agung menjemput Malik al-Mansur. Di tengah perjalanan, setelah berziarah ke makam menterinya yang dihukum mati oleh kakaknya, Malik al-Mansur jatuh sakit dan menghembuskan nafas terakhirnya di situ.

Setelah Sultan Malik al-Mahmud wafat, tahta kerajaan jatuh ke tangan putranya, yaitu Sultan Ahmad. Sultan ini sangat menyukai wanita dan mengawini wanita kapan saja dia mau. Dia dikaruniai 30 anak. Lima di antaranya seibu sebapak, yaitu Tun Beraim Bapa, Tun Abdul Jalil, Tun Abdul Fadhil, Tun Medan Peria, dan Tun Takiah Dara. Tun Beraim Bapa terkenal karena keperwiraannya dan ketangkasannya di medan perang. Tun Abdul Fadhil sangat alim dan gemar mempelajari ilmu agama. Sedangkan Tun Abdul Jalil seperti ayahnya, gemar mengumbar nafsu. Dua adik mereka, Tun Medan Persia dan Tun Takiah Dara, sangat cantik. Sultan Ahmad sangat birahi kepada dua putrinya itu dan memberitahukan niatnya akan mengawini dua putri kandungnya tersebut.

Tun Berahim yang mendengar berita itu segera membawa lari kedua adiknya ke Tukas. Sultan Ahmad murka. Berbagai cara dilakukan Sultan untuk membunuh putra sulungnya itu, namun selalu gagal. Sultan bertambah murka setelah mengetahui bahwa putranya itu bersenda gurau dengan seorang dayang-dayang cantik bernama Fatimah Lampau. Pada suatu kesempatan, Sultan Ahmad mengajak Tun Beraim Bapa bertamasya dan memberikan ayapan yang beracun. Karena tidak mau durhaka kepada ayahnya, Tun Beraim Bapa memakan juga ayapan itu walau tahu dua adik perempuannya mati karena santapan yang sama. Dia pun wafat dan jenazahnya dimakamkah di Bukit Fadhillah.

Kezaliman Sultan Ahmad tidak berkurang karenanya. Dia nekad membunuh Tun Abdul Jalil hanya karena putranya ini dicintai oleh Putri Gemerencang, anak Raja Majapahit. Ketika Putri Gemerencang tiba di Pasai dan mendengar kematian kekasihnya, dia pun berdoa supaya mati dengan cepat dan kapalnya tenggelam. Terjadilah yang diharapkan itu. Ini menyebabkan Raja Majapahit menyerang Pasai. Karena panglima perangnya yang handal, Tun Beraim Bapa, telah tiada, Pasai pun kalah. Dengan penuh penyesalan Sultan Ahmad melarikan diri ke Menduga.

Sesudah dipaparkan cerita tentang adu kerbau antara Majapahit dan Minangkabau, dan kerbau Raja Majapahit kalah melawan Kerbau Putih Ketamanggungan dari Minangkabau, uraian diakhiri dengan daftar negeri-negeri Melayu yang ditaklukkan oleh Majapahit.


2. Tentang Manuskrip


2.1 Judul Manuskrip


Russell Jones, dalam pengantarnya untuk edisi terbaru Hikayat Raja Pasai yang diterbitkan oleh Yayasan Karyawan dan Penerbit Fajar Bakti (Kuala Lumpur, 1999), berpendapat bahwa judul asli karya ini adalah “Hikayat Raja Pasai”. Untuk menguatkan pendapatnya, Russell merujuk pada halaman 140 Manuskrip A, di kolofon, di mana terbubuh kata-kata “Tamat Hikayat Raja Pasai....” [1]

Namun, Russell juga berpendapat bahwa hikayat ini mengisahkan bukan hanya satu orang raja, melainkan beberapa raja, sehingga “tidaklah perlu kita menganggap ‘Raja‘ di sini sebagai kata yang berbentuk tunggal” (Jones, 1999: xvi). Karena itu, Russell berpendapat bahwa bila diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, maka judul tersebut dapat mengadopsi bentuk jamak, sehingga menjadi Chronicle of the Rulers of Pasai.

Piah dkk sependapat dengan Jones dengan menyatakan bahwa judul asli hikayat ini memang Hikayat Raja Pasai—dengan “Raja” berbentuk tunggal. Walaupun tidak memberikan alternatif judul bila hikayat ini harus diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Piah dkk mengajukan dugaan bahwa bentuk jamak “Raja-raja” yang muncul dalam beberapa terbitan disebabkan oleh penyalinan yang dilakukan oleh Delaurier pada tahun 1838 dan terjemahannya dipublikasikan pada tahun 1849 di Paris[2] (lihat Piah dkk, 2002: 262, catatan kaki no. 1 dan Jones, 1999: xvi).


1.2 Genealogi Manuskrip


Walaupun teks Hikayat Raja Pasai tidak mengandung tarikh apapun, namun dapat diperkirakan bahwa hikayat ini mencakup peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam rentang waktu antara 1280 dan 1400 M, atau bertepatan dengan 680 hingga 800 H. Namun, yang lebih sulit adalah menentukan pergerakan dan perubahan teks sebelum munculnya sebuah salinan manuskrip hikayat ini di Jawa pada tahun 1797. Jones menegaskan bahwa perubahan dan pergerakan teks itu hanya dapat diperkirakan saja dan tidak bisa dipastikan (lihat Jones, 1999: xiii).

Penelusuran Jones menemukan bahwa terdapat tiga manuskrip Hikayat Raja Pasai. Manuskrip yang pertama, yang dikenal luas selama hampir dua abad lamanya, adalah MS Raffles Malay No. 67, yang tersimpan di The Royal Asiatic Society, London. Manuskrip ini menjadi Manuskrip A. Yang kedua adalah manuskrip yang disalin langsung dari Manuskrip A oleh seorang sarjana Perancis, Edouard Dulaurier, pada tahun 1838. Manuskrip ini tersimpan di Bibliotheque Nationale, Paris, No. Mal.Pol.50. Karena merupakan salinan langsung, manuskrip ini tidak cukup membantu dalam studi perbandingan. Manuskrip yang ketiga baru ditemukan pada tahun 1986 di London, dan dibeli oleh British Library pada tahun itu juga. Manuskrip ini menjadi Manuskrip B (jones, 1999: xiii).

Keterangan tentang manuskrip-manuskrip Hikayat Raja Pasai berikut ini dikutip dari pengantar Russell Jones bagi Hikayat Raja Pasai seri Karya Agung (Kuala Lumpur, 1999).


Manuskrip A


Manuskrip ini bentuknya sederhana. Ukurannya kecil dan dijilid dengan kain hitam. Tarikh yang tertera pada manuskrip ini adalah 3 Januari 1815, yang berarti dekat dengan akhir masa kekuasaan Raffles di Jawa. Kemungkinan besar Raffles membawa pulang naskah ini ke Inggris pada tahun 1816. Setelah Raffles meninggal dunia, manuskrip ini diwariskan kepada Lady Raffles. Pada tahun 1830, Lady Raffles menyumbangkan manuskrip ini kepada The Royal Asiatic Society.

Catatan dalam huruf Jawa pada halaman 140 manuskrip itu menyebutkan bahwa karya tersebut diperoleh dari Bupati Demak pada tahun Jawa 1742 (bertepatan dengan 1814-1815 M). Bupati tersebut bernama Kiai Suradimanggala. Bangsawan ini dilahirkan sekitar tahun 1765 dan memegang jawatan di bawah pemerintahan Belanda sebagai Bupati Demak. Setelah Raffles dilantik sebagai Letnan Gubernur Jawa pada tahun 1811, kiai ini menjadi orang pilihan karena pengetahuannya tentang sastra dan sejarah Jawa.


Tabel 1. Struktur Manuskrip A

Ukuran halaman

230 x 172 mm. Satu halaman terdiri dari 15 baris.

Kertas

Agak tebal dan keras. Warna putih kekuningan. Tanda kertas tidak ada. Kemungkinan besar kertas ini berasal dari India.

Tulisan

Rapi. Dawat (tinta) hitam. Dawat merah digunakan bagi kata pelengkap.

Ukuran ruang teks

163 x 120 mm.

Kuras

Tiap-tiap kuras terdiri dari 10 lembar.

(Sumber: Jones, 1999: xvii)


Pada tanggal 30 Juni 1814 sang kiai dilantik sebagai penerjemah Melayu dan Jawa di Pejabat Penerjemah Jawa yang didirikan oleh Raffles di Buitenzorg. Pada tanggal 17 Juli 1815 ia dicalonkan untuk memegang jabatan di jawatan lain, namun sebelumnya ia telah merampungkan 15 manuskrip dalam koleksi Raffles yang mengandung pasase dalam bahasa Jawa yang merujuk pada Bupati Demak, kecuali dua manuskrip di antara manuskrip-manuskrip yang bertarikh 13 September 1814 (MS Raffles Malay No. 55) dan 29 Juli 1815 (MS Raffles Malay No. 58). Russell Jones menyatakan bahwa Hikayat Raja Pasai diselesaikan pada tanggal 3 Januari 1815 di bawah pengawasan Kiai Suradimanggala di skriptorium Raffles di Buitenzorg. Dengan cara inilah Raffles memperoleh manuskrip ini.

Tidak ada keterangan tentang naskah yang menjadi contoh dalam proses penyalinan. Namun, Jones menduga bahwa contoh tersebut dibawa dari Sumatra, mungkin oleh salah seorang pegawai yang bertugas dengan Raffles. Pada tahun 1812, pasukan Inggris di bawah komando Mayor Jenderal Gillespie menyerbu Palembang. Sultan Palembang melarikan diri ke hulu sungai dengan peti harta dan alat kebesarannya. Ternyata sang sultan telah meninggalkan sekurang-kurangnya beberapa buah manuskrip yang dapat ditemukan oleh pasukan Inggris. Drewes (dalam Jones, 1999) menerangkan bahwa telah terjadi perampasan di perpustakaan istana Palembang, jadi tidak mengherankan bahwa contoh untuk penyalinan Hikayat Raja Pasai dibawa juga ke Batavia.

Namun, tidak ada keterangan tentang naskah contoh tersebut setelah penyalinan selesai. Mungkin sekali karya itu ditinggalkan di Betawi.


Manuskrip B


Manuskrip ini bertarikh 1211 H atau 1797 M, jadi inilah manuskrip yang paling tua. Namun, manuskrip ini tidak utuh sehingga tidak bisa dijadikan sebagai naskah dasar. Manuskrip ini disalin di Semarang. Jadi, pada masa itu sudah ada paling tidak satu contoh Hikayat Raja Pasai di Jawa Tengah. Bila diingat bahwa pada Manuskrip A terdapat pengaruh Jawa, maka harus dipikirkan lagi tentang asal manuskrip itu. Manuskrip A jelas tidak disalin dari Manuskrip B, dan Manuskrip B pun jelas tidak disalin dari Manuskrip A. Tidak jelas apakah Manuskrip A dan Manuskrip B sama-sama disalin dari contoh Hikayat Raja Pasai yang diperoleh Raffles.


Tabel 2. Struktur Manuskrip B

Ukuran halaman

197 x 150 mm. Satu halaman terdiri dari 17 baris.

Kertas

Kertas laid Belanda, garis rantai melintang dan terdapat bayang garis rantai. Tanda kertas: (i) “Pagar” (Maid of Holland) dalam folio berselang folio 1-selesai, (ii) G & I HONIG dalam folio berselang folio 2-folio 49; (iii) GR bulatan bermahkota dalam folio berselang folio 44-selesai.

Tulisan

Agak rapi. Dawat hitam coklat.

Ukuran ruang teks

155 x 110 mm.

Kuras

Kuras umumnya terdiri dari 10 lembar.

Kecemaran (noda/bercak)

Ada, seluruh manuskrip, terutama pada kulit depan.

(Sumber: Jones, 1999: xviii)


Bagian I: Hikayat Raja Handik (juga disebut Hikayat Nabi Perang dengan Raja Khandak). Folio 1v-45r berisi cerita lengkap Hikayat Raja Handik. Kuras-kuras terdiri dari sepuluh folio. Folio asli yang pertama hilang, akibatnya halaman yang sekarang menjadi nomor 1r sudah kotor, tetapi folio yang selembar (conjoint leaf), nomor 9, masih ada.



Bagian II: Hikayat Raja Pasai


Hikayat Raja Pasai terdapat pada folio 45v-folio 83v = 75 halaman berisi tulisan. Kuras-kuras terdiri dari sepuluh folio. Kalau dibandingkan dengan Manuskrip A, dapat diperkirakan bahwa kira-kira 15,5 halaman yang bertulis dari naskah ini telah hilang. Yang hilang adalah folio di antara folio 79, 80, 84, dan juga kira-kira 8 folio yang terakhir pada codex. Yang masih ada sama dengan halaman 1-107 dan 110-121 dalam Manuskrip A.

Kolofon: karena folio-folio yang terakhir sudah hilang, maka Hikayat Raja Pasai dalam manuskrip ini tidak memiliki kolofon lagi. Dari Hikayat Raja Handik dapat ditentukan bahwa manuskrip ini disalin oleh Encik Usman di Semarang pada tahun 1211 H atau 1797 M.


1.3 Publikasi Teks


Edisi pertama Hikayat Raja Pasai diterbitkan oleh Edouard Delaurier di Paris pada tahun 1849. Ia menyalin manuskrip ini dengan tangan sewaktu melawat ke London pada tahun 1838. Edisi Jawi ini bermutu tinggi, malah mungkin sekali lebih baik daripada edisi-edisi yang diterbitkan setelahnya (Jones, 1999: xvi). Kadang-kadang Delaurier “membetulkan” teks itu. “Pembetulan”-nya yang paling kentara adalah pengubahan pada halaman terakhir Hikayat Raja Pasai menjadi Hikayat Raja-raja Pasai.

Edisi kedua diterbitkan oleh J.P. Mead, seorang pegawai perkhidmatan awam Negeri-negeri Melayu Bersekutu. Edisi ini mengandung banyak kesalahan bacaan. Hal ini dapat dimengerti karena transliterasinya dilakukan di London dan teksnya diterbitkan di Singapura, sehingga tidak banyak peluang untuk melakukan penyuntingan secara rinci. Mead juga menyebut karya ini sebagai Hikayat Raja-raja Pasai.

Edisi ketiga diusahakan oleh Dr. A.H. Hill, dan diterbitkan sebagai Jilid 33 Bahagian 2 JMBRAS pada tahun 1960 (tetapi baru terbit pada tahun 1962). Edisi ini adalah edisi yang paling lengkap. Namun, karena Dr. Hill meninggal dalam kecelakaan udara di Jawa pada bulan Januari 1961, beliau tidak sempat menyimak naskah akhirnya sebelum diterbitkan. Maka, terbitan ini memiliki banyak kekurangan. Setelah itu, tugas penyiapan edisi diambil alih oleh John Bottoms di School of Oriental and African Studies, London, dan berakhir dengan meninggalnya Bottoms pada tahun 1865.

Edisi keempat diterbitkan sendirian oleh Teuku Ibrahim Alfian dengan judul Kronika Pasai, Sebuah Tinjauan Sejarah (1973). Sayang sekali manuskrip Melayu-nya tidak sempurna.

Edisi kelima disiapkan oleh Russell Jones selama dua puluh tahun, dan teks Melayu-nya diterbitkan oleh Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd. pada tahun 1987. Edisi yang paling baru adalah edisi tahun 1999 yang diterbitkan oleh Yayasan Karyawan, bersama-sama dengan Fajar Bakti berdasarkan edisi 1987 dengan beberapa perubahan dan perbaikan setelah Jones meneliti Manuskrip B di British Library. Beberapa kata dari Manuskrip A pada edisi 1987 digugurkan dan beberapa kata dari Manuskrip B dimasukkan ke dalam edisi yang paling baru ini.

1.4 Publikasi Teks Terjemahan

Teks Hikayat Raja Pasai telah diterbitkan terjemahannya sebanyak dua kali. Yang pertama adalah terjemahan ke dalam bahasa Perancis, berdasarkan edisi Doularier, oleh A. Marre berjudul Sumatra: Histoire de Rois de Pasey, Traduite du Malay et Annotée (1874). Terjemahan yang kedua adalah ke dalam bahasa Inggris, diterjemahkan dalam Hill, 1960: 109-66.



3. Nilai-nilai yang Terkandung di dalam Hikayat Raja Pasai


Hikayat Raja Pasai adalah karya sastra kesejarahan Melayu-Islam tertua di Nusantara. Ditulis dengan aksara Jawi, hikayat ini menyorot peristiwa-peristiwa sejarah dalam lingkup kerajaan Pasai. Walaupun di dalam narasinya terdapat juga dongeng dan legenda, namun maknanya sebagai sumber sejarah tidak hilang. Isi hikayat ini bukan paparan kesejarahan yang melulu berisi sanjungan bagi para raja. Ia sering juga memandang tokoh-tokohnya dengan kritis.

Abdul Hadi WM (2006) berpendapat bahwa kritisisme itu muncul karena adanya pengaruh dari tradisi sastra Islam di Arab dan Persia. Di dalam kedua tradisi sastra tersebut berlaku konvensi bahwa yang semestinya diutamakan dalam karya sastra adalah hikmah atau pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa sejarah. Konvensi ini agaknya berpengaruh besar pada Hikayat Raja Pasai yang isinya didominasi oleh narasi tentang bangkit dan runtuhnya sebuah dinasti.

Pendapat tersebut sesuai dengan pendapat Braginsky (1998). Menurut Braginsky, Hikayat Raja Pasai menyatupadukan ciri-ciri historis dan mitologis. Struktur komposisinya yang cukup rapi didasari oleh etika negara, yang telah mendarah-daging pada masyarakat Melayu tradisional. Meskipun hikayat ini tidak merumuskan ajaran tersebut secara langsung, tetapi dari huruf pertama hingga titik penutup terasa diresaspi olehnya (Josselin de Jong dalam Braginsky, 1998: 136).

Konsep etika negara ini didasari oleh kepercayaan pada keselarasan dan keseimbangan seisi alam semesta yang dijaga dan dipelihara oleh seorang raja. Paham ini berasal dari kepercayaan pra-Islam yang berkembang dalam zaman animisme dan Hindu-Buddha, tetapi baru semasa Islam menjadi kukuh dan memperoleh bentuknya yang lengkap, serta mendapat pengesahan sebagai konsep peraturan negara yang sempurna. Di dunia Melayu-Islam, bentuk konsep ini lebih banyak mengikuti contoh Parsi daripada contoh Arab (Braginsky, 1998: 136).

Menurut ajaran ini, raja merupakan pendukung kuasa sakti yang harus memerintah dengan adil, sedangkan rakyat harus setia kepada rajanya walaupun pemerintahannya sangat lalim sekalipun. Jika syarat tersebut tidak dipenuhi, harmoni negara dan jagat raya akan terlanggar, dan pemulihannya yang mutlak harus dilakukan disertai dengan akibat yang setimpal bagi pihak yang bersalah. Karena itu, dua bagian pertama hikayat itu justru melukiskan balasan bagi mereka yang patuh dan yang ingkar kepada etika negara.

Dalam lingkup pembicaraan tentang kesusastraan Melayu tradisional, Hikayat Raja Pasai dapat diklasifikasikan sebagai karya sastra kesejarahan. Braginsky (1998) menyatakan bahwa Hikayat Raja Pasai merupakan “genre campuran”, yang menggabungkan antara kronik sejarah dengan epos kepahlawanan (lihat Braginsky, 1998: 14). Epos kepahlawanan terlihat pada Bagian II, yang bercerita tentang Tun Beraim Bapa. Putra sulung Sultan Ahmad ini mengalami konflik antara kesetiaan seorang kawula dan anak dengan kezaliman raja.

Sementara itu, dalam rumusan Piah dkk (2002), karya sastra kesejarahan berkaitan dengan karya-karya yang fokus utamanya adalah deskripsi sejarah tentang situasi-situasi politis yang spesifik. Deskripsi ini terbentuk oleh ide-ide yang dominan pada saat penulisan karya tersebut. Karena itu, karya-karya kesejarahan dari periode klasik jelas tidak sama dengan karya-karya kesejarahan masa kini yang lebih saintifik (Piah dkk, 2002: 257).

Tentang kebenaran sejarah dalam karya sastra kesejarahan, A.H. Hill dalam pengantarnya untuk Hikayat Raja-raja Pasai mengajukan gagasan tentang “kebenaran subjektif” dan “kebenaran objektif”. Semakin dekat peristiwa yang diceritakan dengan masa hidup sang penggubah dan pengalaman pribadinya, maka sang penggubah cenderung akan semakin objektif. Ia akan memberikan fakta-fakta yang spesifik dan konkret. Namun, semakin jauh peristiwa yang terjadi, maka narasinya akan semakin subjektif. Ia menyisihkan kemampuan kritisnya dan sekadar mengungkapkan ulang kepercayaan umum demi melayani sang majikan (A.H. Hill dalam Piah dkk., 2002: 269-270).

Menurut kerangka berpikir tersebut, maka dapat dimaklumi bahwa, misalnya, penggubah Hikayat Raja Pasai memasukkan pula unsur-unsur legenda atau dongeng. Asal mula dinasti Pasai yang diawali dengan kemunculan seorang putri dari sebatang rebung betung, seekor gajah yang memandikan seorang bocah laki-laki, cacing gelang-gelang yang berubah menjadi emas dan perak setelah direbus, adalah manifestasi kebenaran subjektif. Sedangkan penobatan Malik al-Saleh sebagai raja Islam pertama di kerajan “gabungan” Samudra-Pasai, peristiwa penyerbuan tentara kerajaan Siam ke Pasai, dan penyerbuan kerajaan Majapahit ke Pasai dapat dianggap sebagai kebenaran objektif.

Namun, “kategorisasi kebenaran sejarah” ini tidak bisa memperhitungkan data-data yang masih kabur sifatnya, seperti keberadaan seorang putri bernama Gemerencang dalam silsilah keluarga raja Majapahit, birahi Sultan Ahmad terhadap kedua putri kandungnya, dan adu kerbau antara Majapahit dengan Minangkabau.

Yang tak kalah pentingnya adalah asal nama Samudra dan Pasai. Menurut Hikayat Raja Pasai, pada suatu hari Merah Silu, setelah mengalahkan Malik al-Nasr dan dirajakan di Rimba Jerana, berburu bersama anjingnya yang bernama Si Pasai: “Maka dilepaskannya anjing itu, lalu ia menyalak di atas tanah tinggi itu. Maka dilihatnya ada seekor semut besarnya seperti kucing. Maka ditangkapnya|oleh Merah Silu semut itu, maka lalu dimakannya. Maka tanah tinggi itu pun disuruh Marah Silu tebasi pada segala orang yang sertanya itu. Maka setelah itu diperbuatnya akan istananya; setelah sudah, maka Marah Silu pun duduklah ia di sana, dengan segala hulubalangnya dan segala rakyatnya diam ia di sana. Maka dinamai oleh Marah Silu negeri Samudera ertinya semut yang amat besar” (Jones, 1999: 14).

Si Pasai berperan lagi dalam penamaan tempat. Di dalam Hikayat Raja Pasai diceritakan bahwa pada suatu hari Sultan Malik al-Saleh berburu bersama Si Pasai. Ketika baginda masuk ke hutan, Si Pasai berjumpa dengan seekor pelanduk. Ketika Si Pasai hendak menangkapnya, si pelanduk menyalak hingga Si Pasai mengundurkan diri. Kemudian Si Pasai dan pelanduk itu berdekap-dekapan. Baginda dan laskarnya terheran-heran menyaksikan hal itu. Maka baginda memutuskan untuk mendirikan sebuah negeri di tempat itu bagi anaknya, Sultan Malik al-Zahir. Setelah negeri itu berdiri, Si Pasai meninggal di situ. “Maka disuruh sultan tanamkan akan dia di sana jua. Maka dinamai baginda akan nama anjing itu nama negeri itu” (Jones, 1999: 23).

Pola penamaan tempat atau negeri tersebut jelas menampakkan ciri legenda. Maka, Hikayat Raja Pasai harus dipahami dengan cara yang berbeda dari cara pemahaman karya kesejarahan modern. Untuk itu, dibutuhkan pencermatan terhadap beberapa aspek Hikayat Raja Pasai sebagai karya sastra kesejarahan.

Yang pertama-tama harus diperhatikan dalam memahami karya sastra kesejarahan adalah konsep tentang waktu. Para penulis karya kesejarahan tradisional memandang waktu sebagai rangkaian peristiwa yang panjang dan bukannya rangkaian peristiwa yang tak terhingga. Tidak ada cara yang cukup ketat dalam memilah antara satu waktu (saat) dengan waktu lainnya. Orang Melayu pada zaman dahulu mengukur laju waktu dengan cara yang longgar dan seringkali lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan estetis ketimbang presisi matematis.

Maka muncullah frase-frase pengukur waktu seperti sepenanak nasi, puntung sejengkal tinggal sejari, dan sekali penat burung terbang. Dalam karya-karya sastra kesejarahan, kita juga sering menjumpai frase-frase yang longgar semacam itu, yang dimaksudkan untuk menunjukkan peralihan dari satu peristiwa ke peristiwa lain, misalnya lepas itu, kemudian, tak lama kemudian, dan beberapa tahun selepas itu. Hal ini juga berlaku dalam Hikayat Raja Pasai, yang membubuhkan ukuran waktu yang walaupun lebih langsung namun jelas kabur secara matematis seperti setelah sudah, kemudian, setelah beberapa lamanya, dan setelah berapa lama antaranya, selain keterangan waktu yang implisit seperti maka—yang dipakai hampir di setiap awal paragraf baru.

Aspek kedua dari karya sastra kesejarahan adalah pendekatan klasik terhadap sejarah. Seringkali, penulisan suatu karya kesejarahan diawali oleh titah seorang raja. Sejarah suatu kerajaan atau negara di Melayu pada zaman klasik adalah sejarah monarki atau dinasti yang menguasainya. Para sultan Melayu ingin kebaikan dan keagungannya diingat dan dikagumi oleh generasi yang lebih muda sekaligus ingin mewariskan nilai-nilai yang dapat memberikan inspirasi (Piah dkk, 2002: 259). Dapat dikatakan bahwa karya sastra kesejarahan Melayu dimaksudkan untuk melestarikan suatu pandangan hidup yang diharapkan dapat berlaku bagi semua kurun waktu. Maka, dapat dimaklumi mengapa karya semacam ini tidak semata-mata mengandung fakta-fakta sejarah saja, melainkan juga nilai-nilai subjektif tertentu.

Tidak terdapat keterangan tentang penggubah asli Hikayat Raja Pasai. Pada teksnya pun tidak terdapat keterangan tentang siapa yang memerintahkan penulisan hikayat ini. Namun, jelas hikayat ini mengandung nilai-nilai tertentu yang hendak disampaikan kepada audiensnya. Hal ini tampak jelas dalam narasinya secara keseluruhan, yang secara implisit memberikan peringatan bahwa bangkit dan runtuhnya suatu dinasti sangat dipengaruhi oleh watak penguasa. Pasai runtuh karena Sultan Ahmad mengumbar hawa nafsunya sendiri sehingga tega membunuh panglima perang sekaligus anaknya yang paling handal. Akibatnya, Pasai tak berdaya menghadapi serbuan Majapahit.

Contoh lain tentang nilai-nilai yang hendak disampaikan adalah tentang perilaku yang seharusnya diamalkan oleh penguasa. Di dalam Hikayat Raja Pasai diceritakan bahwa menjelang meninggal, Sultan Malik al-Saleh mengundang anak-anak dan cucu-cucunya. Salah satu wasiat baginda adalah “... hubaya-hubaya jangan kamu beri teraniaya daripada segala hamba Allah dan jangan kamu mengerjakan segala pekerjaan yang bersalahan dengan hukum Allah, karna firman Allah Taala dalam Quran demikian bunyinya: Wa man lam yahkumu bi-ma anzala‘llahu fa-ula‘ika humu‘l-khasiruna yang artinya barangsiapa tiada menghukumkan dengan barang hukum yang diturunkan Allah, maka bahawasanya mereka itu jadi kafir” (Jones, 1999: 24).

Aspek ketiga adalah kedudukan raja dalam struktur kekuasaan kerajaan Melayu. Pada masa pengaruh Hindu, raja dipandang sebagai penjelmaan dewa sehingga kekuasaannya bersifat absolut. Raja Melayu mengklaim diri sebagai keturunan langsung dari para dewa. Praktek ini bukan praktek yang khas Melayu karena, misalnya, Raja Airlangga di Jawa mengklaim diri sebagai penjelmaan Dewa Wisnu—demikian juga dengan raja-raja lain yang tersebut dalam Negarakrtagama (Piah dkk, 2002: 260). Islam menolak klaim raja-dewa tersebut.

Namun, bukan berarti kekuasaan raja Melayu berkurang. Para sultan Melayu mengklaim bahwa mereka adalah “wakil Tuhan” di dunia dan memakai gelar khalifah. Sebagai “bayangan Tuhan di dunia”, mereka berhak untuk mengatur dan menguasai apa saja dan siapa saja yang menjadi rakyatnya. Sama dengan kesaktian raja pada masa pengaruh Hindu, raja Melayu masih dianggap sebagai orang pilihan, yang memiliki kesaktian dan kemampuan istimewa yang tak dapat disamai oleh rakyatnya. Atribut-atribut ini disimbolkan oleh gelar “Sultan”.

Di bawah pengaruh Islam juga muncul istilah daulat, yang merujuk pada kekuasaan sultan yang diperoleh secara ilahiah. Konsep lain yang terkait dengan konsep ini adalah derhaka/durhaka, yang merujuk pada tindakan pemberontakan atau pembangkangan terhadap raja. Bahkan, setiap tindakan yang tidak disetujui oleh sultan dianggap sebagai tindakan durhaka. Rasa takut untuk berbuat durhaka ini menguatkan posisi sultan dan merupakan penghormatan terhadap kesaktiannya (Piah dkk, 2002: 260). Dalam Hikayat Raja Pasai, Tun Beraim Bapa terpaksa menculik kedua adiknya agar tidak menjadi korban tindakan asusila Sultan Ahmad. Karena itu, ia dianggap telah berbuat durhaka terhadap sultan sekaligus ayahnya. Namun, Sultan Ahmad sendiri juga melakukan tindakan durhaka, yaitu terhadap kedaulatannya sendiri. Akibat kedurhakaannya itu, Pasai runtuh ketika diserang oleh Majapahit.



4. Silsilah Raja Pasai

Russell Jones telah menyusun silsilah raja-raja Pasai sebagaimana tercantum di dalam Hikayat Raja Pasai sebagai berikut:



Gambar 1. Silsilah raja-raja Pasai menurut Hikayat Raja Pasai

Sumber: Russell Jones (1999: 84)



5. Tahun Penulisan dan Pembandingan dengan Sejarah Melayu

Para pakar kesusastraan Melayu tradisional telah lama mempersoalkan tahun penulisan Hikayat Raja Pasai dan klaimnya sebagai karya kesejarahan Melayu-Islam yang paling tua. Manuskrip-manuskrip hikayat ini tidak membubuhkan tahun penciptaan secara eksplisit. Sehingga, titimangsa untuk peristiwa-peristiwa yang masuk akal yang diceritakannya hanya bisa diperkirakan dengan membandingkan peristiwa-peristiwa itu dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang diceritakan oleh sumber-sumber lain.

R.O. Winstedt memperkirakan bahwa Hikayat Raja Pasai ditulis pada abad ke-15 (lihat Braginsky, 1998: 71). Menurut Winstedt, Hikayat Raja Pasai berakhir dengan jatuhnya Kesultanan Pasai ke tangan Majapahit pada tahun 1350 (mungkin tahun yang benar 1630), oleh karenanya tidak mungkin ditulis sebelum tahun itu. Bagian-bagian tertentu dari Hikayat Raja Pasai berbentuk parafrase digunakan dalam Sejarah Melayu yang juga pernah disunting oleh Winstedt, sehingga dengan demikian bisa diperkirakan bahwa Hikayat Raja Pasai diciptakan sebelum tahun 1536.

Tetapi kecil kemungkinan hikayat ini ditulis sesudah 1524, yaitu ketika Pasai ditaklukkan oleh Sultan Aceh dan dimasukkan sebagai daerah jajahannya. Pasalnya, penulis-penulis kronik Melayu menulis “untuk mengambil hati kalangan istana”. Maka sukar dibayangkan bahwa ada penulis yang diberi dorongan untuk menulis sejarah Pasai sesudah 1524. Apalagi sejarah Pasai dalam waktu itu dapat ditulis hanya berupa suatu bab dengan gaya pengungkapan yang sangat hati-hati dalam kronik sejarah Aceh (Winstedt dalam Braginsky, 1998: 71).

Akhirnya, Winstedt berpendapat bahwa kecil kemungkinannya bahwa Hikayat Raja Pasai telah jatuh ke tangan penggubah Sejarah Melayu sesudah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Maka, hikayat ini pasti digubah antara tahun-tahun 1350 dan 1511. Tarikh yang sangat awal ini ditopang oleh penggunaan bahasa yang arkhais di dalam hikayat ini ((Winstedt dalam Braginsky, 1998: 71).

Roolvink (1954) mendukung tarikh yang diusulkan oleh Winstedt, bahkan memberi tambahan kekhasan dengan menyatakan bahwa di dalam Hikayat Raja Pasai tidak ditemukan bentuk kebahasaan istana Malaka. Namun, Roolvink menyangsikan apakah penulis Sejarah Melayu memang menggunakan naskah tertulis Hikayat Raja Pasai yang dikenal pada saat itu, atau menggunakan sumber-sumber lain, atau bahkan versi lisan, yang mirip dengan sumber-sumber tersebut (Roolvink dalam Braginsky, 1998: 72).

Pembandingan antara Hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu telah dilakukan oleh dua pakar sastra Melayu, yaitu A.H. Hill (1960) dan A. Teeuw (1964). Hill melihat bahwa pada tertentu Sejarah Melayu tidak lebih merupakan parafrase saja dari bab-bab bersangkutan dalam Hikayat Raja Pasai. Ia bahkan menyebut penulis kronik Malaka tersebut sebagai plagiator (Braginsky, 1998: 72). Hill terutama menegaskan kerserupaan episode-episode awal Hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu, yaitu mulai dari perselisihan antara pendiri negara Samudra di Sumatra Utara, Marah Silu, dengan saudara laki-lakinya, Marah Hasum, dan berakhir dengan kegiatan Syekh Ismail dalam mengislamkan Samudra.

Hill menulis demikian: “Bagian-bagian tertentu kedua teks itu menggunakan kata-kata yang sama, juga urut-urutan yang sama..., tidak bisa disangsikan bahwa penulis Sejarah Melayu telah menggunakan tulisan yang sangat mirip dengan bagian pertama dari Hikayat Raja Pasai” (Hill dalam Braginsky, 1998: 570). Adanya kemiripan ini disetujui oleh A. Teeuw, yang menunjukkan adanya kemiripan-kemiripan yang sangat nyata dalam episode-episode terakhir Hikayat Raja Pasai, yang juga terdapat pada Sejarah Melayu (di dalamnya digambarkan saling hubungan antara Samudra dan pasai), dan beranggapan bahwa hal ini benar-benar dapat dianggap sebagai parafrase (Teeuw dalam Braginsky, 1998: 570).

Walaupun bagian terbesar dari kedua karya tersebut sangat mirip, dan bahkan kadang berpaduan secara tekstual, tetapi Hill dan Teeuw juga menemukan perbedaan mendasar di antara keduanya. Yang paling mencolok dari hal ini adalah bahwa bila penulis Hikayat Raja Pasai tiga kali memberikan interpretasi positif terhadap kejadian-kejadian sejarah dan menguntungkan Pasai, maka penulis Sejarah Melayu menafsirkan kejadian-kejadian yang sama secara negatif dan merendahkan martabat Pasai. Sedangkan interpretasi positif terhadap kejadian-kejadian tersebut selalu dikaitkan dengan sejarah Malaka (Braginsky, 1998: 72).

Tabel 3. Perbedaan-perbedaan mendasar antara bagian-bagian yang cenderung mirip dalam Hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu

Hikayat Raja Pasai

Sejarah Melayu

Terdapat mitos asal-usul cikal bakal dinasti Samudra-Pasai

Tidak terdapat mitos asal-usul dinasti Samudra-Pasai

Pasai dilukiskan sebagai negara Islam pertama pertama di dunia Melayu. Negeri ini diislamkan oleh Nabi Muhammad pribadi, dengan merasuki mimpi Raja Samudra, sehingga ketika bangun telah menjadi hapal seluruh ayat Al-Qur‘an.

Samudra merupakan negeri di Sumatra bagian utara yang terakhir kali diislamkan, dan ini dilakukan oleh ulama biasa. Kisah merasuknya Nabi Muhammad ke dalam mimpi Raja Samudra, dihubungkan dengan Sultan Malaka, Muhammad Syah (1424-1444).

Terdapat legenda tentang pendirian Pasai di suatu tempat, di mana pelanduk berhasil mengusir anjing pemburu (Si Pasai).

Legenda pendirian tempat yang berkaitan dengan pelanduk di Pasai ditutup-tutupi, tetapi di bagian lain dicantumkan sebagai sejarah didirikannya kerajaan Malaka.

Dalam perang melawan tentara Siam, Pasai menang.

Dalam perang melawan Siam, Pasai kalah dan sultannya tertawan serta dipaksa bekerja sebagai pemelihara ayam milik orang-orang Siam. Pelukisan peperangan antara Malaka-Siam mirip dengan lukisan peperangan Pasai-Siam.

Pinangan Malik al-Saleh kepada Putri ganggang dari Perlak dibantu oleh menteri yang memperlihatkan kebijaksanaannya.

Menteri yang membantu peminangan putri dari Perlak dilukiskan sebagai menteri yang dungu, yang tidak mampu membedakan antara seorang putri calon mempelai yang sepadan dengan rajanya, dengan seorang perempuan yang lebih rendah kedudukannya dari raja.

Pendiri dinasti Pasai adalah orang berdarah biru, yaitu Malik al-Saleh.

Karena mitos asal mula Pasai tidak dicantumkan, maka pendiri dinasti Pasai dianggap sebagai orang biasa.

Mencantumkan narasi tentang kedudukan Barus dan Pasai, serta tentang orang dari Keling (India) yang mencari emas, yang memperlihatkan kebesaran Pasai.

Mencantumkan narasi yang menjelek-jelekkan Pasai, seperti sengketa antara raja Samudra, Malik al-Mansur, dengan raja Pasai, Malik al-Mahmud.

Sumber: Braginsky, 1998: 570-571


Menurut pandangan Hill, adanya perpaduan tekstual antara Hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu memungkinkan untuk menyatakan, bahwa penulis Sejarah Melayu telah menggunakan versi Hikayat Raja Pasai tertulis. Sementara itu perubahan radikal bahan-bahan dari Hikayat Raja Pasai, yang terlihat pada Sejarah Melayu, disebabkan oleh kesengajaan penulis kronik Malaka, yaitu dalam usahanya untuk, di satu pihak, merendahkan peranan Pasai dan, di pihak lain, menonjolkan kebesaran Malaka terhadap Pasai.

Salah satu caranya adalah dengan memindahkan peristiwa-peristiwa kejayaan sejarah Pasai ke dalam Sejarah Malaka, dan sebaliknya mengganti peristiwa sejarah Pasai itu dengan gambaran-gambaran yang bersifat penghinaan. Dengan demikian, pengarang Sejarah Melayu mencapai efek kontras yang sangat mencolok. Maka, perbedaan di antara kedua kronik tersebut bukan merujuk pada digunakannya versi lain Hikayat Raja Pasai, baik yang tertulis maupun lisan, sebagai bahan, melainkan pada keadaan yang lazim terjadi dalam historiografi Melayu, yang mungkin bisa disebut sebagai “perang buku” (Braginsky, 1998: 72-73).

Siti Chamamah Soeratno (2002) menyetujui hasil pembandingan ini dan mengajukan beberapa penjelasan lagi. Menurut Hikayat Raja Pasai, Pasai adalah tempat yang pertama kali menjadi kerajaan Islam.[3] Kedatangan Islam di wilayah ini sudah menjadi kehendak Rasulullah SAW, tokoh tertinggi dalam masyarakat Islam. Tampaknya, Rasulullah pulalah yang membawa Islam ke Pasai/Samudera, yaitu melalui tatap muka di kala tidur antara Marah Silu dengan Rasulullah. Rasulullah pula yang mensyahadatkan dan membuat Marah Silu dapat membaca Al-Qur‘an 30 juz, yaitu setelah terlebih dahulu meludahi mulut Marah Silu. Rasulullah pula yang membuat Marah Silu telah berkhitan. Islamisasi lewat peran langsung Rasulullah kiranya menunjukkan proses yang esensial bagi Pasai karena dengan demikian keislaman Pasai adalah berkat campur tangan langsung dari tokoh tertinggi dalam masyarakat Islam (Siti Chamamah Soeratno dalam Sumitro [ed], 2002: 39).

Proses yang lain dilewati melalui tokoh fakir yang dilatari oleh sabda Rasulullah juga. Proses ini pada hakikatnya merupakan proses lanjutan dari proses yang telah ditempuh oleh Rasulullah dan merupakan pelaksanaannya. Dalam proses inilah Marah Silu tinggal dinobatkan sehingga proses Islamisasi yang dilakukan oleh fakir ini berjalan lancar. Dalam proses yang kedua ini cukup dilaksanakan oleh seorang fakir, yaitu fakir Muhammad, bekas raja di Maabri. Dialah pula yang melanjutkan pengislaman kepada penduduk Pasai/Samudera seluruhnya (Siti Chamamah Soeratno dalam Sumitro [ed], 2002: 39).

Chamamah selanjutnya berpendapat bahwa Sejarah Melayu telah memanipulasi beberapa unsur dalam Hikayat Raja Pasai sedemikian rupa dengan tujuan untuk membina citra “kebesaran Melayu secara utuh”[4] sehingga citra kebesaran Pasai sebagai pusat keislaman harus dikurangi. Salah satu wujudnya adalah dengan mengeksploitasi peranan tokoh pembawa Islam yang pertama. Dalam Sejarah Melayu, tokoh Rasulullah sebagai pembawa Islam yang pertama diganti dengan tokoh lain, yaitu tokoh fakir. Pemberian fungsi tersebut pada tokoh tertinggi dalam masyarakat Islam, yaitu Rasulullah, akan mencetak citra pada kesempurnaan Pasai, yang berarti bertentangan dengan citra kesempurnaan yang menurut Sejarah Melayu hanya disediakan bagi Melayu (2002, dalam Sumitro [ed], 2002: 40-41).

Fungsi tersebut dibebankan juga pada bentuk kalimat yang dipakai untuk mengekspresikannya, yaitu “maka oleh fakir itu Merah Silu pun diislamkannya, dan diajarnya kalimah syahadat (VI: 72). Sengaja kalimat yang dipakai menggunakan bentuk pasif dengan menempatkan pelaku di depan sehingga terbaca bahwa pelakunya (fakir) ditegaskan. Penegasan diberikan juga dengan pemakaian kata gantinya, yaitu “-nya” sebagai bentuk pleonasme. Dari pernyataan dalam teks tersebut, jelas bahwa yang mengislamkan dan mengajar syahadat raja Pasai dalam Sejarah Melayu bukan Rasulullah, melainkan hanya seorang fakir. Dalam Sejarah Melayu, pada proses Islamisasi tokoh Rasulullah dimunculkan juga tetapi sesudah Merah Silu diislamkan (Siti Chamamah Soeratno dalam Sumitro [ed], 2002: 40-41).

Demikian pula halnya dengan modifikasi yang dilakukan terhadap tokoh yang menobatkan dan memberi gelar Merah Silu. Dalam teks Hikayat Raja Pasai setelah diislamkan, Merah Silu kemudian dinobatkan oleh Rasulullah lewat tatap muka di kala tidur dengan gelar Sultan Malik al Saleh (57). Pemberian peran tersebut kepada Rasulullah pastilah akan menyempurnakan citra kerajaan Pasai/Samudera. Dalam Sejarah Melayu, keadaannya menjadi berlainan. Penyesuaian dengan konteks memerlukan tokoh diganti, yaitu digantikan oleh Syaikh Ismail, nakhoda kapal dari Mekah. Bagian ini pun dalam Sejarah Melayu dikemukakan jelas-jelas, “Maka oleh Syaikh Ismail segala perkasa kerajaan yang diabwanya itu semuanya diturunkannya. Maka dinamainya Sultan Malik al Saleh” (72) (Siti Chamamah Soeratno dalam Sumitro [ed], 2002: 40-41).

Deskripsi persyahadatan pun mengandung potensi bagi fungsi tematis Sejarah Melayu. Oleh karena itu, data yang terdapat dalam Hikayat Raja Pasai perlu dieksploitasi. Dalam Hikayat Raja Pasai, unsur tersebut dikemukakan secara analitis, yaitu dengan menyajikannya dalam bentuk serangkaian dialog antara Rasulullah dengan Merah Silu (57). Dengan dialog serta bentuk narasi yang analitis, kadar Islamisasi terasa tinggi, lebih tinggi daripada hanya diberitakan. Maka dalam Sejarah Melayu tidak akan dikemukakan dalam bentuk yang analitis, selain karena tidak diperlukan, juga justru akan menggangu konteks. Hal ini dapat dilihat pada bagian teks berikut, “Maka oleh fakir itu Merah Silu itu pun diislamkannya dan diajarkannya kalimat syahadat”. Jadi, peristiwanya cukup “diberitakan” untuk menjadi unsur struktur dalam Sejarah Melayu (Siti Chamamah Soeratno dalam Sumitro [ed], 2002: 40-41).


Gambar 2. Peta Kerajaan Pasai

Sumber: Russell Jones, 1999: 82

Walaupun melihat juga adanya pertentangan antara kedua karya tersebut, tetapi Teeuw cenderung mengemukakan penjelasan yang lain. Pertama-tama ia berpendapat bahwa Sejarah Melayu bersikap hormat terhadap Hikayat Raja Pasai. Pada satu tempat, Sejarah Melayu pernah menyebut bahwa Pasai termasuk di dalam daftar negara-negara kepulauan terbesar pada zamannya, sesudah Majapahit namun sebelum Malaka. Pada tempat, lain Pasai disebut “sama” (setara) dengan Malaka. Hal ini membuktikan bahwa kecil kemungkinannya Sejarah Melayu secara sengaja berusaha menghancurkan kewibawaan Pasai (lihat Braginsky, 1998: 73).

Teeuw berusaha membuktikan tentang adanya kemungkinan yang sama besar, apakah Sejarah Melayu yang bersumber kepada Hikayat Raja Pasai ataukah sebaliknya. Hikayat Raja Pasai melukiskan kejadian-kejadian dengan gaya sanjungan yang berlebihan dan penuh dengan konvensi-konvensi kesusastraan. Sedangkan gaya pengungkapan dalam Sejarah Melayu bersifat lebih hidup dan riil. Hal ini barangkali merupakan bukti tentang kesejarahan Sejarah Melayu, dan sekaligus menimbulkan kesangsian kalau-kalau Hikayat Raja Pasai mendahului Sejarah Melayu. Teeuw juga berpendapat bahwa ada salah satu resensi (komentar) Sejarah Melayu yang dikarang sekitar 1450. Mengingat bahwa Hikayat Raja Pasai memang ditulis untuk mengagung-agungkan Pasai, maka bisa diasumsikan bahwa justru Hikayat Raja Pasai itu merupakan semacam jawaban terhadap bab-bab tentang Pasai yang terdapat di dalam komentar Sejarah Melayu tersebut (Braginsky, 1998: 73).

Selanjutnya Teeuw mengungkapkan bahwa penulis Hikayat Raja Pasai tidak menyebut-nyebut baik tentang Malaka dan sejarah awal Melayu, maupun tentang Iskandar Zulkarnain, nenek moyang keluarga para raja Melayu. Bagi Teeuw, ini membuktikan bahwa penulis Hikayat Raja Pasai mungkin tidak tahu tentang adanya Sejarah Melayu. Sementara itu, Sejarah Melayu sama sekali tidak berbicara tentang sejarah putra mahkota Pasai, Tun Beraim Bapa, dan juga tentang sejarah penaklukan Pasai oleh Majapahit. Hal-hal itu pasti akan diceritakan seandainya penulis Sejarah Melayu memiliki salinan Hikayat Raja Pasai yang dikenal sekarang ini. Teeuw menyimpulkan, patut disangsikan adanya kaitan langsung antara Hikayat Raja Pasai dan Sejarah Melayu. Kemungkinan paling besar ialah, kedua karya ini mencerminkan adanya dua tradisi saga sejarah Sumatra Utara yang sejalan, walupun pada akhirnya kedua-duanya bertolak dari satu sumber yang sama (lihat Braginsky, 1998: 73).

Namun, menurut Braginsky (1998), Teeuw kurang memperhatikan sifat polemis Sejarah Melayu, yang bukan saja mengandung polemik terbuka tetapi juga polemik tersirat yang dilakukan dengan halus dan mahir sekali. Misalnya, dalam pemeringkatan negara-negara besar di kepulauan Melayu, pada akhirnya Kesultanan Malakalah yang harus berada di peringkat tertinggi—bahkan Majapahit dan Cina pun mesti ditempatkan di bawah Malaka. Sedangkan usaha penulis Sejarah Melayu untuk mengurangi peranan historis Pasai dan merendahkan kewibawaan dan kekunoan dinastinya sangat bisa dipahami. Selama tiga dasawarsa pertama abad ke-15, Pasai merupakan saingan dagang utama bagi Malaka, menjadi pusat Islam yang tertua, dan karenanya paling disegani di dunia Melayu. Walaupun Malaka berusaha mencampuri usaha-usaha perebutan tahta di pasai, tetapi Malaka tetap tidak berhasil menjadikan Pasai sebagai jajahannya (Braginsky, 1998: 74).

Perbedaan gaya narasi juga tidak memberikan bukti yang kuat. Sama sekali tidak mengherankan bila di dalam menyusun kronik tentang keagungan negerinya, si penulis Hikayat Raja Pasai memilih gaya yang lebih berhias dan bernada sanjung puji. Sementara itu, penulis Sejarah Melayu, yang tujuannya mungkin tidak sama dengan penulis Hikayat Raja Melayu, bisa saja memilih gaya yang lebih hidup dan mengandung humor. Dalam batas-batas tertentu, pemilihan gaya penceritaan bergantung pada kesukaan pribadi penulis dan keluasan pengetahuannya. Tidak boleh dilupakan juga gaya Sejarah Melayu yang berkedudukan istimewa di dalam sastra Melayu tradisional (Braginsky, 1998: 75).

Hill (1960) menyatakan bahwa mungkin Hikayat Raja Pasai bukan merupakan karya yang utuh karena adanya perbedaan gaya penulisan. Bahkan, Hill juga menduga bahwa penulis hikayat ini bukan hanya satu orang, melainkan enam orang (lihat Braginsky, 1998: 77). Sedangkan Roolvink (1954) menegaskan bahwa Bagian I dan Bagian II hikayat ini memang selaras, sama-sama menyatakan bahwa dengan menaati prinsip-prinsip tertentu negara akan berkembang dan jaya, sebaliknya pelanggaran akan mengakibatkan kehancuran (penaklukan oleh Majapahit). Roolvink juga berpendapat bahwa Bagian III, yang didominasi oleh penaklukan Pasai oleh Majapahit, cerita tentang adu kerbau antara Majapahit-Minangkabau, serta daftar taklukan Majapahit, hampir tidak mempunyai hubungan apapun dengan dua bagian terdahulu (Braginsky, 1998: 77). Sementara itu, Hill berpendapat bahwa penutupan (Bagian III) terlalu mendadak (Hill dalam Braginsky, 1998: 77).

Namun, Braginsky menegaskan bahwa memang ketergesaan itu memang fungsi bagian III, yaitu sebagai penyelesaian atau epilog. Penekanannya adalah bahwa “Pasai hanya bisa ditundukkan oleh negara yang sangat kuat dan tidak terkalahkan, namun juga menegaskan bahwa kerajaan penakluk semacam itu pun masih dapat ditaklukkan, yaitu dalam adu kerbau (Braginsky, 1998: 78). Dengan demikian, Hikayat Raja Pasai adalah sebuah karya yang utuh. Walaupun menyerap bahan-bahan yang sebelumnya pernah ada, tetapi semua bahan telah dirangkai menjadi satu gubahan yang lengkap dan selesai.

Braginsky menyimpulkan, kecil kemungkinannya bahwa hikayat ini ditulis sesudah tahun 1511. Sangat tidak mungkin lagi bila karya yang melukiskan Sultan Ahmad dengan cara yang sangat negatif disusun pada masa kekuasaan sultan tersebut. Sultan Ahmad hidup semasa dengan penyerbuan Majapahit pada tahun 1360. Bila memang demikian, maka hikayat ini harus ada hanya sesudah tahun 1383 (Braginsky, 1998: 78).

Selanjutnya, Braginsky menguatkan pendapatnya dengan penalaran berikut ini. Pengenalan geografis yang baik mengenai daerah-daerah jajahan Majapahit merupakan hal yang khas bagi Hikayat Raja Pasai, tetapi tidak bagi kronik-kronik Melayu lainnya. Karena itu tidak mungkin karya ini ditulis terlalu jauh dari masa ekspansi militer Majapahit (1365, sebagaimana diluksikan dalam Negarakrtagama) atau meninggalnya Hayam Wuruk pada tahun 1389. Sementara itu, hikayat ini juga menyerap pengaruh dari Hikayat Amir Hamzah (yang dipengaruhi oleh sastra Pesia) sebagaimana yang tampak dalam penyebutan tentang senjata api, yang telah dikenal di Iran pada tahun 1387 (Braginsky, 1998: 78).

Bila perkiraan ini benar, maka kecil kemungkinannya Hikayat Raja Pasai lahir lebih awal dari pergantian abad ke-14 ke abad ke-15, atau sebelum periode keturunan Sultan Ahmad berkuasa, yaitu Sultan Zainal Abidin. Sultan yang berusaha mengukuhkan pengaruh politik Pasai ini, sangat berkepentingan untuk menafsirkan sebab musabab kehancuran negaranya sedemikian rupa, sehingga menjadi ramalan optimistis untuk masa depan. Sangat besar kemungkinannya bahwa justru pada masa pemerintahan sultan inilah Hikayat Raja Pasai digubah atau disunting sebagai karya utuh yang terdiri dari tiga bagian (Braginsky, 1998: 78-79).

Maka, walaupun tahun penulisannya sukar untuk ditetapkan, dapat diperkirakan bahwa Hikayat Raja Pasai besar kemungkinan diciptakan dalam peralihan abad ke-14 ke abad ke-15, atau dalam permulaan abad ke-15.


Daftar Bacaan

· Braginsky, V.I., 1998. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal. Jakarta: INIS

· Harun Mat Piah et.al., 2002. Traditional Malay Literature. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka

· Jones, Russell, 1999. Hikayat Raja Pasai. Kuala Lumpur: Yayasan Karyawan dan Penerbit Fajar Bakti

· Sardono W. Kusumo dkk, 2006. Aceh dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: IKJ Press

· Sunaryo Purwo Sumitro (ed.), 2002. Dari Samudera Pasai ke Yogyakarta. Yogyakarta: Yayasan Masyarakat Sejarawan Indonesia & Sinergi Press

(AI/sas/01/06-09)


Sumber foto: dokumentasi melayuonline.com


[1] Bunyi lengkap kolofon tersebut adalah “Tamat Hikayat Raja Pasai. Selamat sempurna yang membaca dia dan segala yang menengarkan dia, istimewa yang menyuratkan dia, dipeliharakan Allah Subhanahu wa Taala apalah kiranya dari dunia datang ke akhirat, berkat syafaat Nabi Muhammad Mustafa, salla‘Llahu ‘alaihi wa sallam (Hikayat Raja Pasai suntingan Russel Jones, Kuala Lumpur, 1999: 70).

[2] Menurut Abdul Hadi WM, terjemahan dalam bahasa Perancis untuk judul hikayat ini adalah La chronique du royaume de Pasey (lihat Sardono W. Kusumo dkk, 2006: 187)—tidak terdapat keterangan dari edisi manakah judul ini diperoleh. Karena artinya adalah “kerajaan”, maka “royaume” di situ tidak menunjukkan kuantitas jamak atau tunggal, sehingga kemungkinan besar judul Hikayat Raja-raja Pasai yang juga banyak tersebar diperoleh dari terjemahan dalam bahasa Inggris seperti yang dimaksudkan oleh Jones. Tetapi, menurut Jones, terjemahan ke dalam bahasa Perancis yang dilakukan oleh A. Marre berdasarkan edisi Delaurier tersebut berjudul Histoire de Rois de Pasey, Traduite du Malay et Annotée (lihat Jones, 1999: xix). Kata “Rois” yang berarti “raja-raja” menunjukkan kuantitas jamak, sedangkan untuk kuantitas tunggal “raja” dalam bahasa Perancis adalah “Roi”.

[3] Di sini anakronisme yang terkait dengan klaim kerajaan Islam yang pertama muncul. Dalam Hikayat Raja Pasai suntingan Russell Jones (1999), di halaman 20 terdapat pasase yang berbunyi demikian: “Sebermula Megat Sekandar dan Megat Kedah itu keduanya kakanda kepada Sultan Malikul Nasir di Rimba Jerana....” Pasase ini muncul sebelum pengislaman Marah Silu. Bila gelar Sultan biasanya hanya digunakan oleh raja yang telah menganut agama Islam, maka sebelum Marah Silu pun semestinya telah ada raja yang beragama Islam, yaitu Sultan Malikul Nasir.

[4] “Melayu” yang dimaksud di sini adalah kerajaan Melayu yang memiliki persambungan dengan Kesultanan Malaka di Semenanjung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar