Selasa, 29 Juni 2010

JAKA TINGKIR (4)

Setelah berpamitan kepada Ki Ganjur, Jaka Tingkir-pun meninggalkan ibu kota Demak Bintara. Panjang lebar Ki Ganjur memberikan nasehat kepada keponakannya yang terlihat sangat terpukul tersebut. Dan, Ki Ganjur-pun akhirnya dengan berat hati melepaskan Jaka Tingkir.

Jaka Tingkir tidak pulang ke Tingkir. Dia merasa malu kepada ibunya, Nyi Ageng Tingkir. Dia tidak mau pulang sembari membawa kegagalan dan aib. Bukannya pulang membawa kebanggaan bagi ibunya.

Jaka Tingkir memutuskan menuju ke Pengging.

Tidak banyak orang Pengging yang tahu kehadiran Jaka Tingkir. Diam-diam dengan menyamar sebagai seorang pengembara, Jaka Tingkir menuju ke Pura Dalem Agung Pengging. Pura yang dulu dibangun oleh ayahandanya, Ki Ageng Pengging.

Dengan meminta ijin kepada Pemangku Pura, Jaka Tingkir berniat berdiam diri untuk beberapa hari. Sang Pemangku tidak mengenal Jaka Tingkir sebagai putra Ki Ageng Pengging. Dia memberi ijin kepada Jaka Tingkir untuk tinggal di Pura karena menyangka Jaka Tingkir adalah seorang pertapa pengembara yang tengah menjalankan laku spiritual.

Jaka Tingkir sudah berniat, sebelum mendapatkan petunjuk niskala, dia tidak akan beranjak pergi dari Pura tersebut. Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi dilaksanakannya. Dengan hati pedih, Jaka Tingkir memohon kemurahan Hyang Widdhi untuk berkenan memberikan petunjuk-Nya. Siang dan malam Jaka Tingkir tak lepas-lepas mengucarkan Japa dari mulutnya. Jika lelah ber-Japa, Jaka Tingkir bermeditasi. Jika lelah bermeditasi, Jaka Tingkir berbaring diam, hingga kadang-kadang tertidur.

Dengan uang yang dimilikinya, Jaka Tingkir setiap pagi turun ke desa mencari makan. Hanya sehari semalam sekali. Selepas itu dia berpuasa. Jaka Tingkir mencoba menghindari kecurigaan warga Pengging dengan selalu berpindah-pindah saat membeli makanan.

Tujuh hari telah berlalu, Jaka Tingkir tetap teguh menjalankan Tapa-nya. Dan pada malam yang ke tujuh, Jaka Tingkir merasa kelelahan. Tak sengaja dia tertidur dikala meditasinya.

Saat tertidur, Jaka Tingkir merasa melihat seberkas cahaya meluncur deras dan berhenti tepat didepannya. Cahaya itu pelahan berubah menjadi sosok manusia. Sesosok lelaki yang gagah dan tampan dengan tubuh yang memendarkan sinar luar biasa lembut dan terang!

Antara sadar dan tidak, Jaka Tingkir melihat sosok lelaki itu tersenyum kepadanya dan berkata :

“Ngger Karebet putraningsun, aja kedlarung-dlarung anggenira kasusahan ing pikir. Wis angger, sesuk esuk ambarengi pletheking bagaskara ing bang wetan, sira mangkata, anjujuga padukuhan Banyu Biru. Suwitaa marang Ki Ageng Banyu Biru. Ing kono wahanane sira bakal nemoni kamulyan lan pepadhanging lakunira.”

(Anakku Karebat, janganlah berlarut-larut kamu bersusah hati. Sudah, anakku. Besok pagi bersamaan dengan terbitnya matahari dari ufuk timur, berangkatlah dari sini, pergilah ke dukuh Banyu Biru, mengabdilah kepada Ki Ageng Banyu Biru. Disana tempat kamu akan mendapatkan kemuliaan dan terang dalam hidupmu.)

Jaka Tingkir menyembah dalam dan bertanya :

“Siapakah yang hadir didepan saya ini ?”

Sosok itu menjawab dengan senyum penuh kedamaian:

“Weruha angger, ya ingsun iki Ki Ageng Kebo Kenanga ya Ki Ageng Pengging. Ramanira kang satuhune.”

(Ketahuilah anakku, aku ini adalah Ki Ageng Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging, ayahandamu yang sesungguhnya.)

Jaka Tingkir kaget. Serta merta dia langsung menghambur dan menubruk sosok tersebut sembari menangis! Tangis kerinduan Jaka Tingkir yang tertahankan selama ini pecah sudah! Diciuminya kaki sosok Ki Ageng Pengging tersebut dengan berurai air mata.

Dan Jaka Tingkir lebih terperanjat lagi manakala dirasakannya ada sosok lain yang hadir dan tengah mengelus-elus kepalanya. Jaka Tingkir mencoba beringsut untuk melihat siapakah itu. Dan Jaka Tingkir melihat sesosok wanita cantik sembari tersenyum, bersimpuh didekatnya dan membelai kepalanya.

“Kangjeng Ibu?”, suara Jaka Tingkir tercekat haru.

Sosok wanita itu mengangguk pelan dan menjawab :

“Iya anakku, aku ibumu. Nyi Ageng Tingkir..”

Tangis Jaka Tingkir kembali memecah tak terbendungkan! Diciumnya kaki ibunya...

Terdengar suara Ki Ageng Pengging lembut :

“Karebet, wis ngger, elinga welingingsun, JALMA UTAMA TANSAH NETEPI ANGGERING DHARMA. Aja pegat rina lan wengi tansah memuji Hyang Widdhi. Ing kono bagya mulya bakal sira tampa. Kariya basuki putraningsun Karebet..”

(Karebet, sudahlah anakku, ingat-ingatlah pesanku, MANUSIA UTAMA SENANTIASA MEMEGANG TEGUH KETENTUAN DHARMA. Jangan pernah putus memuji Hyang Widdhi siang dan malam. Disana kedamaian dan kemuliaan akan engkau dapatkan. Selamat tinggal putraku Karebet.)

Dan sosok Ki Ageng Pengging beserta Nyi Ageng Pengging-pun lenyap seketika dari hadapan Jaka Tingkir.

Bersamaan dengan itu, Jaka Tingkir tersadar dari meditasinya. Air mata masih membasahi kelopak matanya...

Dan seketika itu juga, Jaka Tingkir bersujud syukur kepada Hyang Widdhi. Semalaman penuh Jaka Tingkir tak dapat memincingkan mata sedikitpun.

Keesokan harinya, tepat ketika matahari menyembul di ufuk timur, Jaka Tingkir berpamitan kepada Pemangku Pura.




Ki Ageng Banyu Biru.


Ki Ageng Banyu Biru adalah pemimpin sebuah padepokan Shiwa Buddha ( Sampai sekarang saya tidak mengetahui pasti dimana letak Padepokan Banyu Biru : Damar Shashangka). Banyak para siswa yang berguru kepada beliau. Kebanyakan adalah mereka-mereka yang masih tetap teguh memegang ajaran Shiwa Buddha.

Ki Ageng Banyu Biru memiliki dua orang adik laki-laki. Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil. Disana, sudah beberapa waktu yang lama, telah menetap dan berguru seorang pemuda keturunan Prabhu Brawijaya V, Ki Mas Manca.

Ki Mas Manca adalah keturunan Arya Jambuleka II. Sedangkan Arya Jambuleka II adalah putra Arya Jambuleka I. Dan Arya Jambuleka I adalah putra selir Prabhu Brawijaya V.

Ki Ageng Banyu Biru yang waskita batinnya, pagi itu memerintahkan para siswa membersihkan Padepokan. Tak ada yang mengetahui apa maksud beliau. Hanya Ki Mas Manca yang diberitahu bahwasanya sore hari nanti, akan datang seorang tamu keturunan Prabhu Brawijaya V yang hendak berguru ke padepokan tersebut.

Dan benar, menjelang selesai sandhya sore atau sembahyang sore, seorang pemuda nampak memasuki Padepokan serta meminta ijin kepada seorang cantrik (siswa) untuk bertemu dengan Ki Ageng Banyu Biru.

Cantrik tersebut segera menghadap Ki Ageng. Dan Ki Ageng serta merta memerintahkan Ki Mas Manca untuk menyambut kedatangan pemuda tersebut yang tak lain adalah Jaka Tingkir!

Jaka Tingkir terkejut juga mendapati kedatangannya disambut sedemikian rupa oleh Ki Ageng. Rupanya beliau sudah tahu pasti bahwa pada sore hari itu, dia akan datang kesana. Didepan Ki Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir menceritakan apa sebabnya hingga dirinya sampai ke Padepokan Banyu Biru. Berhari-hari Jaka Tingkir berusaha mencari letak padepokan tersebut, dan pada akhirnya berkat Hyang Widdhi, dia sampai juga dan bisa bertemu langsung dengan Ki Ageng Banyu Biru.

Ki Ageng Banyu Biru memperkenalkan Ki Mas Manca kepada Jaka Tingkir. Kedua pemuda keturunan Majapahit itu saling berpelukan bahagia. Bahkan, Ki Mas Manca sedemikian bahagianya sampai-sampai menitikkan air mata.

Ki Ageng Banyu Biru memerintahkan Jaka Tingkir berdiam di Padepokan untuk sementara waktu. Dengan ditemani Ki Mas Manca, Jaka Tingkir mempelajari berbagai macam ilmu dari Ki Ageng Banyu Biru. Kini, Jaka Tingkir lebih mendalami Ilmu Kesempurnaan yang berasal dari butir-butir Upanishad Weda. Jaka Tingkir benar-benar mendalami Ilmu tinggi tersebut.

Berbulan-bulan Jaka Tingkir digembleng dengan Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi. Kecerdasaan dan kesungguhan Jaka Tingkir membuat Ki Ageng sangat menyayanginya. Berbagai lontar-lontar rahasia Shiwa Buddha dengan mudah dikuasai Jaka Tingkir. Hanya dalam beberapa bulan, kemajuan spiritual Jaka Tingkir sudah sedemikian pesatnya. Jaka Tingkir yang dulu lebih mumpuni dalam Olah Kanuragan, kini, Kesadaran spiritual-nya benar-benar terasah tajam berkat Ki Ageng Banyu Biru.

Ki Ageng Banyu Biru bangga melihat perkembangan Jaka Tingkir.

Dan manakala sudah dirasa cukup, Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Jaka Tingkir untuk turun dari Padepokan. Konon, dari Ki Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir mendapatkan Aji Lembu Sekilan, yaitu sebuah ilmu kesaktian yang langka, yang berguna untuk melindungi tubuh dari berbagai serangan dalam batas satu jengkal jari ( satu jengkal jari dalam bahasa Jawa adalah sekilan ; Damar Shashangka). Konon pula, ilmu ini menyerap energi Lembu Andini, seorang Atma Suci yang berwujud seekor Lembu dan menjadi tunggangan Shiwa Mahadewa.

Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil untuk menemani Jaka Tingkir. Sebelum meninggalkan padepokan, Ki Ageng memberikan sebuah taktik jitu kepada Jaka Tingkir agar dapat kembali diterima oleh Sultan Trenggana



SULTAN TRENGGANA


Pada setiap musim penghujan, Sultan Trenggana pasti meninggalkan ibu kota Demak dan berdiam diri di Pegunungan Prawata. Banjir seringkali melanda ibu kota Demak. Dan tidak banyak yang tahu bahwasanya Sultan kerapkali berdiam diri di Pegunungan Prawata tiap kali musim banjir tiba. Hanya para Pasukan Pengawal Sultan saja yang mengetahuinya.

Untuk kembali mendapatkan kepercayaan Sultan Trenggana, Ki Ageng Banyu Biru menyarankan kepada Jaka Tingkir membuat sebuah keonaran dengan meminta bantuan beberapa gerilyawan Majapahit. Keonaran tersebut harus mampu mengancam keselamatan Sultan Trenggana yang tengah bermukin di Pegunungan Prawata. Dapat dipastikan, tidak bakalan banyak prajurid angkatan bersenjata Demak yang berada disana.

Sebelum pasukan bantuan Demak datang dari Demak menuju Pegunungan Prawata, Jaka Tingkir harus secepatnya tampil menjadi sosok penyelamat. Dengan demikian, Sultan pasti akan kembali menaruh kepercayaan kepada Jaka Tingkir.

Pada hari yang ditentukan, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil-pun berangkat. Tujuan mereka adalah Pegunungan Prawata.



Arya Bahureksa.


Untuk mempersingkat perjalanan dari Banyu Biru ke Pegunungan Prawata, keempat pemuda ini memilih menghindari jalur darat. Mereka memilih menggunakan jalur suingai.

Rakit-pun dibuat. Setelah rampung membuat rakit yg kokoh, keempatnya segera menaiki rakit.

Disuatu tempat, karena waktu telah menjelang sore hari, keempatnya memutuskan untuk menepi dan mencari tempat bermalam dipinggir sungai. Kebetulan, tak jauh dari tepi sungai, waktu itu banyak para gadis tengah mencuci pakaian. Melihat kehadiran keempat orang asing yang tak dikenal, para gadis seketika menyingkir ketakutan.

Dasar Jaka Tingkir dan Ki Mas Manca yang memang masih belia, salah seorang gadis tercantik diantara sekawanan gadis lain, sempat digoda oleh keduanya. Gadis tersebut marah dan pulang dengan hati mendongkol.

Tak ada yang menyangka jika menjelang malam menanjak, tempat dimana keempat pemuda ini bermalam seadanya tiba-tiba dikepung oleh orang-orang tak dikenal dengan senjata lengkap! Perselisihan terjadi. Apa daya empat orang melawan sebegitu banyak manusia, pada akhirnya keempatnya menuruti keinginan segerombolan orang-orang tak dikenal tersebut.

Akhirnya, Jaka Tingkir dan ketiga temannya tahu duduk permasalahan sebenarnya setelah mereka dibawa ke tempat hunian ditengah hutan, sarang para gerombolan.

Tempat dimana mereka bermalam ternyata adalah wilayah hunian para gerombolan gerilyawan Majapahit. Dan salah seorang gadis cantik yang sore tadi mereka goda adalah anak perempuan sang pemimpin gerombolan.

Untung, begitu Jaka Tingkir memperkenalkan siapa dirinya, para gerombolan gerilyawan langsung berbalik menghormatinya. Tiga hari tiga malam keempat pemuda dari Banyu Bitu ini dijamu disana. Arya Bahureksa, sang pemimpin, sangat-sangat bersuka cita bisa bertemu dengan putra Ki Ageng Pengging.

(Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, manakala rakit yang dinaiki Jaka Tingkir hendak menepi, mereka melihat seorang gadis cantik dipinggiran sungai. Jaka Tingkir dan Ki Mas Manca menggodanya. Gadis marah dan serta merta menghilang. Disusul rakit berputar sendiri dan hujan seketika turun rintik-rintik. Lebih mengagetkan lagi, mendadak banyak buaya bermunculan ditempat itu! Keempat orang pemuda terpaksa bertempur dengan gerombolan buaya dan akhirnya berhasil menaklukkan mereka. Arya Bahureksa, pemimpin para buaya menjamu mereka di Istana Buaya selama tiga hari tiga malam : Damar Shashangka)

Dari Arya Bahureksa, Jaka Tingkir mendapatkan bantuan pasukan gerilyawan. Arya Bahureksa juga menyarankan kepada Jaka Tingkir untuk menemui Kebo Andanu, seorang pemimpin gerilyawan yang bermukim disekitar Pegunungan Prawata.

Jaka Tingkir sangat-sangat berterima kasih atas semua bantuan Arya Bahureksa.

Setelah tiga hari tiga malam tinggal dipusat pemukiman para gerilyawan, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil-pun melanjutkan perjalanannya ke Pegunungan Prawata.

Kini perjalanan mereka diiringi oleh sebagian gerombolan gerilyawan yang hendak membantu. Dalam Babad Tanah Jawa, iring-iringan rakit rombongan Jaka Tingkir ini digambarkan dalam tembang Megatruh sebagai berikut :


Sigra milir, Sang Gethek sinangga bajul,
Kawan dasa kang njageni,
Ing ngarsa miwah ing pungkur,
Tanampi ing kanan kering,
Sang Gethek lampahnya alon.


(Segeralah berjalan, Sang Rakit dengan disangga para buaya,
Empat puluh buaya pilihan yang menjaga,
Berada didepan dan dibelakang,
Begitu juga berada di kanan dan kiri,
Sang Rakit-pun berjalan pelan.)


(Megatruh adalah tembang yang menyiratkan situasi genting. Megat berarti : Pegat, Ruh berarti Nyawa/Atma. Megatruh berarti situasi yang mampu memisahkan Ruh dan Jasad. Perjalanan Jaka Tingkir ke Pegunungan Prawata dituangkan dalam tembang Megatruh menyiratkan bahwa perjalanan ini adalah perjalanan menujui situasi genting yang bisa memisahkan Ruh dan Jasad : Damar Shashangka)


Empat puluh prajurid pilihan, ditambah para prajurid yang lain, mengiringi Jaka Tingkir.

Perjalanan mereka-pun akhirnya terhenti manakala senja telah menjelang. Jaka Tingkir beserta para lasykar gerilyawan Majapahit ini akhirnya menepi untuk mencari tempat bermalam.




Wahyu Keprabhon berpindah.


Tepat waktu itu, mereka berhenti di wilayah pedukuhan Butuh, dimana Ki Ageng Butuh adalah pemimpin padukuhan dengan pangkat Bekel.

(Ingatkah anda dengan Ki Ageng Butuh? Ki Ageng Butuh adalah sahabat karib Ki Ageng Pengging. Beliau bersama Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Tingkir sempat berguru kepada Syeh Lemah Abang. Baca catatan saya KI AGENG PENGGING : Damar Shashangka ).

Malam itu Ki Ageng Butuh tidak dapat tidur. Beliau duduk di Pendhopo rumah. Tepat menjelang tengah malam, diatas langit nampak seberkas cahaya kebiru-biruan meluncur dari arah utara. Cahaya itu melintasi langit Butuh!

Ki Ageng Butuh terkesiap. Cahaya ini adalah Wahyu Keprabhon. Yaitu Wahyu seorang Raja. Berasal dari utara, tak lain dari Demak Bintara. Dan wahyu ini tengah berpindah tempat! Dimana wahyu ini jatuh, maka disanalah orang pilihan tersebut dapat dipastikan akan tampil menjadi seorang Raja!

Sontak Ki Ageng Butuh menghambur menuju Gedhogan ( Kandang Kuda ) dan menyambar seekor kuda. Ditengah malam buta, Ki Ageng Butuh memacu kudanya mengikuti gerak cahaya kebiru-biruan yang nampak melintas di atas langit menuju ke pinggir pedukuhan, jauh ke pinggir sungai!

Ki Ageng Butuh terus mengikuti pergerakan cahaya tersebut.

Dan tepat dipinggiran sungai, cahaya itu meluncur ke bawah dan raib! Ki Ageng terus memacu kudanya.

Dan kudanya terhenti nyalang manakala beberapa orang bersenjata tengah menghadangnya tiba-tiba!

Ki Ageng memincingkan matanya melihat ada sekitar lima orang bersenjata terhunus tengah menghalangi laju kudanya. Sejenak Ki Ageng ditanya siapakah beliau. Ki Ageng-pun memperkenalkan dirinya sebagai penguasa wilayah tersebut. Dan giliran Ki Ageng yang balik bertanya siapakah mereka.

Para penghadang Ki Ageng Butuh tak lain adalah para gerilyawan yang mengiringi Jaka Tingkir. Mereka tengah mendapat giliran jaga malam. Mendengar nama Jaka Tingkir disebut-sebut, Ki Ageng Butuh terkejut. Cepat dia meminta kepada kelima orang tersebut untuk menunjukkan dimana Jaka Tingkir kini tengah berada. Kelima orang itu nampak enggan dan curiga. Namun manakala mendengar penuturan Ki Ageng bahwa beliau melihat wahyu keprabhon jatuh ditempat itu, sontak mereka segera mengantarkan Ki Ageng Butuh ketempat dimana Jaka Tingkir tengah beristirahat.

Disaksikan kelima orang gerilyawan berikut Ki Ageng Butuh, disana sebuah kejadian yang memukau mata tengah terjadi!

Diatas kepala seorang pemuda yang tengah tertidur, nampak seberkas cahaya tengah mengambang, berwarna biru cerah. Keenam orang yang menyaksikan hal itu tercengang. Wajah sang pemuda nampak jelas terlihat tersinari cahaya tersebut.

Ki Ageng Butuh tidak sangsi lagi dengan Mas Karebet, putra sahabatnya Ki Ageng Pengging! Pemuda yang kini tengah tertidur dengan cahaya mengambang diatas kepalanya itu adalah Mas Karebet, karena wajahnya mirip dengan Ki Ageng Pengging!

Dan Jaka Tingkir mendadak terjaga dari tidurnya! Bersamaan dengan itu, cahaya kebiru-biruan yang terang diatas kepalanya lenyap!

Jaka Tingkir terjaga karena dalam tidurnya dia mendengar suara-suara aneh tengah memanggil-manggil namanya berulang-ulang!

Begitu dia sadar, dia nampak kebingungan manakala tak jauh dari tempatnya tidur, ada enam orang tengah memperhatikannya dengan tatapan takjub!




(9 Pebruari 2010, by Damar Shashangka)

Sumber :

1. Babad Tanah Jawi
2. Babad Tanah Jawi Demakan
3. Serat Kandha
4. Kronik Tionghoa Klenteng Sam Po Kong- Semarang
5. Cerita tutur masyarakat Jawa
6. Baboning Kitab Primbon, terbitan Sadu Budi, Solo


1 komentar: